Narasi

Kemenangan Taliban dan Refleksi Ancaman Krisis Nasionalisme

Taliban menjadi topik utama berbagai media setelah 15 Agustus lalu untuk kedua kalinya berhasil menguasai Afghanistan. Kemenangan pertama terjadi pada tahun 1966. Taliban Afghanistan didirikan sejak 1964. Adalah Muhammad Omar yang menginisiasinya, seorang Mullah dari suku Pashtun di Kandahar. Ia pernah menjadi komandan Mujahidin di saat perang melawan Uni Soviet tahun 1979-1989.

Pada tahun 1996 Taliban berhasil menaklukkan Kandahar kemudian Kabul, ibu kota Afghanistan. Sejak saat itu, Taliban menjadi penguasa di Afghanistan. Mereka membentuk sistem Pemerintahan Emirat Islam Afghanistan. Pasca tragedi 11 September 2001, Taliban diserang oleh Amerika karena disinyalir memberi suaka kepada Osama bin Laden yang diduga sebagai otak serangan menara kembar 11 September 2001 di Amerika. Taliban berhasil disingkirkan dan kekuasaannya di Afghanistan berakhir.

Hari ini, sejak 15 Agustus 2021, Taliban kembali berkuasa dan kabarnya akan menerapkan sistem pemerintahan yang sama seperti dulu dengan sedikit polesan lebih moderat dan inklusif. Satu di antara program pemerintahan yang terdengar santer adalah akan menghormati hak-hak perempuan, termasuk hak yang sama dalam pendidikan.

Tapi, ini hanya kabar media. Benar atau tidak, tinggal menunggu episode jalannya pemerintahan yang dipimpinan Taliban. Satu yang pasti, Taliban menganut Ideologi keagamaan radikal yang akut atau ideologi Islam transnasional dengan corak gerakan keislaman berbasiskan kekerasan. Di Indonesia, Taliban mirip dengan JI, JAD (Jamaah Ansharut Daulah) dan MIT (Mujahidin Indonesia Timur) yang bertujuan mendirikan negara Islam.

Kita semua mengetahui, ideologi transnasional selalu menuntut berlakunya undang-undang di bawah panji-panji aturan agama yang dipahami secara sangat formalistik. Seperti kewajiban wanita yang harus memakai burqu’. Bila tidak, harus dipaksa. Model mereka ini yang di Indonesia tidak menerima Pancasila sebagai ideologi negara karena dianggap bertentangan dengan al Qur’an dan hadis.

Model ideologi yang diusung Taliban ini menjadi sangat berbahaya. Terutama apabila bicara dalam konteks Indonesia yang bhinneka. Ada banyak agama yang dianut, multi suku dan etnis. Akan ada banjir darah besar-besaran apabila Ideologi transnasional dipaksakan untuk Indonesia. Dan, tentunya keutuhan NKRI akan koyak dan nasibnya akan sama dengan beberapa negara Timur Tengah.

Pudarnya Nasionalisme

Sejatinya, kemenangan Taliban di Afghanistan lebih disebabkan oleh pudarnya rasa nasionalisme pada masyarakat Afghanistan. Ada fakta menarik di balik kekalahan Afghanistan oleh Taliban. Masyarakat Afghanistan, juga Syiria, Iraq, dan beberapa negara Timur Tengah yang telah luluh lantak, lebih loyal kepada suku dan klan, bukan kepada negara. Rasa Nasionalisme yang pupus tersebut sebenarnya yang menjadi faktor utama kekalahan Afghanistan terhadap Taliban. Bukan karena kekuatan Taliban dengan ideologi transnasionalnya.

Karena seandainya rasa Nasionalisme masyarakat Afghanistan tidak melemah, yakin Taliban tidak akan semudah itu menguasai Afghanistan. Bersatunya tentara dan dukungan dari masyarakat adalah kekutana utama untuk mempertahankan keutuhan suatu negara. Kalau identitas nasional masyarakat Afghanistan kuat, maka mempertahankan negara adalah harga mati.

Karenanya, ini menjadi pelajaran sangat berharga bagi kita masyarakat Indonesia. Identitas nasional atau sikap patriotisme harus selalu mendarah daging dan menelusup jauh ke relung-relung sanubari supaya kedamaian dan keutuhan Republik Indonesia tetap terpelihara dengan baik.

Berikutnya, kita harus sama-sama menekan dan melawan penetrasi ideologi transnasional supaya tidak berkembang di Indonesia. Jangan pernah memberi ruang gerak kepada mereka untuk berkembang di Indonesia. Sebab, disamping memang bertentangan dengan nilai-nilai agama Islam sebagai agama yang membawa misi rahmat bagi semesta, ideologi transnasional juga bertentangan dengan hukum alam yang meniscayakan adanya perbedaan.

Indonesia dengan Pancasila sebagai ideologi bangsa telah mencerminkan terwujudnya nilai-nilai ajaran Islam. Ingatlah, para pendiri bangsa yang menggagas Pancasila sebagai asas tunggal negara Indonesia adalah para ulama dan tokoh-tokoh terkemuka dari beberapa agama. Sulit melampaui keilmuan mereka untuk generasi saat ini. Maka, kalau ada yang mengatakan Pancasila bertentangan dengan nilai-nilai agama, tentu karena kebodohan mereka. Kalau tidak, pasti karena satu tujuan, yakni supaya Indonesia hancur.

This post was last modified on 25 Agustus 2021 1:06 PM

Faizatul Ummah

Recent Posts

Pesantren, Moderasi, dan Sindikat Pembunuhan Jati Diri

Dalam sejarah panjang bangsa Indonesia, pesantren bukan hanya lembaga pendidikan, tetapi juga penjaga moralitas dan peradaban. Dari masa perjuangan…

1 hari ago

Dari Khilafah ke Psywar; Pergeseran Propaganda ISIS yang Harus Diwaspadai

Gelombang propaganda kelompok teror ISIS tampaknya belum benar-benar surut. Meski kekuasaan teritorial mereka di Suriah…

1 hari ago

Framing Jahat Media terhdap Pesantren : Upaya Adu Domba dan Melemahkan Karakter Islam Nusantara

Islam di Indonesia, yang sering kali disebut sebagai Islam Nusantara, memiliki ciri khas yang sangat…

1 hari ago

Dari Ilusi ke Radikalisasi : Bedah Narasi Khilafah dalam Gerakan Terorisme – Jurnal Jalan Damai Vol. 1. No. 7 September 2025

Salam Damai, Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas terbitnya Jurnal Jalan…

3 minggu ago

Islam di Ruang Publik: Syariat Formal atau Kebebasan Beragama?

Perdebatan mengenai posisi agama dalam kehidupan bernegara selalu menjadi isu yang tak pernah habis di…

3 minggu ago

Hierarki Nilai Al-Qur’an: Upaya Menjaga Marwah Teks dan Urgensi Konteks

Dalih bahwa teks adalah landasan moral agama yang dibawakan tradisi keagamaan puritan tidak sepenuhnya salah.…

3 minggu ago