Belum genap sepekan kasus pemboman di SMAN 72, muncul seorang siswa yang melakukan cosplay alias bermain peran sebagai pelaku penembakan tersebut, lengkap dengan senjata mainan yang ditulis sejumlah tokoh ultra konservatif. Kostum itu ia kenakan di acara Car Free Day dan fotonya diunggah di media sosial. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan, mengapa pelaku kekerasan justru diidolakan?
Riset Pusat Media Damai (PMB) Badan Nasional Penanggulangan Terorisme menemukan fakta bahwa anak dan remaja cenderung menyukai konten kekerasan. Satu hal yang tidak atau belum terungkap dari temuan riset itu adalah mengapa anak dan remaja begitu menggemari konten kekerasan di dunia maya? Atau dengan kalimat lain, mengapa anak dan remaja menjadi akrab dengan kultur atau budaya agresi di ranah virtual?
Faktor pertama, secara psikologis konten kekerasan itu menghadirkan semacam tantangan adrenalin. Ada perasaan berdebar ketika menonton konten kekerasan yang membawa sensasi kenikmatan psikologis.
Dari sisi usia, anak dan remaja memang tengah bergejolak adrenalinnya. Mereka menyukai tantangan baru, termasuk menikmati adegan kekerasan dan sadisme. Artinya, segata fisiologis menonton konten kekerasan dapat memicu timbulnya reaksi kimiawi dalam tubuh yang membuat perasaan menjadi tertantang.
Faktor kedua, secara sosiologis sisi antagonis dalam cerita itu selalu memiliki sisi gelap yang menarik bagi anak muda dan remaja. Di kalangan orang dewasa atau orang tua, pelaku penembakan massal tentu akan dianggap sebagai penjahat kemanusiaan. Namun, belum tentu bagi remaja atau anak muda. Bagi mereka, pelaku penembakan bisa saja dianggap sebagai sosok pahlawan hebat.
Misalnya, di banyak kota hari ini muncul komunitas cosplay seragam tenyata Nazi Jerman pada Perang Dunia 2. Anak muda dan remaja ramai-ramai berkumpul dengan memakai seragam ala tentara Nazi.
Mereka menganggap seragam Nazi itu melambangkan maskulinisme dan heroisme. Tanpa sadar bahwa Nazi berada di balik tragedi kemanusiaan yang menimpa komunitas Yahudi Eropa. Inilah contoh bagaimana sisi gelap tokoh antagonis itu selalu menarik bagi remaja atau anak muda.
Desakralisasi Pelaku Teror dan Kekerasan
Terkahir, dari sisi ekosistem media sosial, konten kekerasan dapat menimbulkan efek ruang gema alias echo chamber. Sekali kita mengakses konten kekerasan apalagi meninggalkan jejak berupa suka atau komentar, maka linimasa media sosial kita akan didominasi dengan suguhan konten kekerasan. Itulah efek ruang gema dimana algoritma media sosial didesain untuk menyuguhkan konten secara personal alias sesuai dengan kebiasaan seseorang di media sosial. Efek ruang gema lantas menjadi semacam penjara tidak terlihat yang mengekang nalar berpikir individu. Seseorang merasa telah mengakses banyak informasi, padahal sebenarnya hanya itu-itu saja.
Itulah yang disebut kultur agresi di ruang virtual. Yakni budaya kekerasan (agression) yang tumbuh subur di dunia virtual. Kekerasan tidak hanya dinormalisasi, namun diglorikasi. Seragam tentara Nazi dikagumi dengan dalih gagah. Sosok pelaku teror diidolakan sebagai pahlawan. Kultur agresi di ruang virtual pada akhirnya akan menyuburkan budaya kekerasan itu sendiri. Lantas, apa yang bisa dan harus kita lakukan.
Langkah pertama adalah membangun kesadaran di kalangan anak dan remaja bahwa pelaku kekerasan tidak pantas diidolakan dan dipahlawankan. Perlu ada upaya mendesakralisasi pelaku teror dan kekerasan agar tidak dipuja oleh remaja dan anak muda.
Desakralisasi pelaku teror dapat dilakukan salah satunya dengan tidak memberikan porsi yang besar bagi pelaku dalam pemberitaan terkait teror dan kekerasan. Pemberitaan yang masif tentang sosok pelaku teror nyatanya justru membuatnya bertambah populer dan diidolakan oleh banyak anak muda dan remaja.
Di sini, peran media massa dan netizen sangat penting dalam membangun narasi pemberitaan kasus teror dan kekerasan secara etis dan tidak bertendensi mengglorifikasi pelaku. Di satu sisi, masyarakat memang punya hak atas informasi sebuah peristiwa termasuk kejadian teror dan kekerasan. Namun, di sisi lain ada kewajiban bagi media untuk memberitakan peristiwa teror tanpa terjebak pada normalisasi apalagi glorifikasi.
Perbincangan dan pemberitaan terkait terorisme dan kekerasan idealnya diarahkan pada kepentingan edukasi dan mitigasi. Pemberitaan tentang teror dan kekerasan idelanya dibingkai ke dalam kepentingan untuk membangun kesadaran terkait bahaya ekstremisme dan mengajak masyarakat bersama-sama mencegahnya.
Arkian, ruang virtual sebagai rumah kedua bagi anak dan remaja idealnya steril dari kultur agresi. Budaya permisif bahkan memuja kekerasan sudah sepatutnya diakhiri. Kekerasan bukan simbol kejantanan, apalagi merepresentasikan kepahlawanan. Sebaliknya, kekerasan adalah bentuk kepengecutan, sekaligus wujud dari kegagalan manusia mengoptimalkan akal sehat.
Ketika sebuah kelompok mengkritik Program Duta Damai BNPT sebagai duta sekularisme dan liberalisme, pertanyaan yang…
Kerentanan anak-anak terhadap paham ekstrem termasuk xenofobia dan chauvinism menjadi perhatian serius dalam dinamika sosial…
“Pendidikan bukanlah persiapan untuk hidup; pendidikan adalah kehidupan itu sendiri.” – John Dewey Pernyataan filosof…
Di tengah gempuran propaganda ekstremisme yang semakin terdesentralisasi, ruang aman bagi anak-anak kita kian menyempit.…
Salah satu fakta yang terungkap dari penyelidikan aksi kekerasan di SMAN 72 adalah bahwa pelaku…
Kits mengenal tiga dosa dalam dunia pendidikan nasional. Yakni intoleransi agama, kekerasan seksual, dan perundungan…