Narasi

Membangun Sekolah yang Steril dari Infiltrasi Radikalisme, Sebuah Keniscayaan!

Di tengah gempuran propaganda ekstremisme yang semakin terdesentralisasi, ruang aman bagi anak-anak kita kian menyempit. Tidak ada lagi benteng yang benar-benar kebal dari infiltrasi ideologi berbahaya: tidak di sekolah, tidak di rumah, bahkan tidak di ruang digital yang seharusnya menjadi sarana kreativitas juga telah tercemari oleh narasi radikal.

Narasi ekstrem saat ini menyelinap melalui konten-konten yang tampak biasa—video hiburan, meme satir, hingga gamifikasi yang mengglorifikasi kekerasan. Survei Pusat Media Damai terhadap Sekolah Damai 2024 mengungkap fakta yang memprihatinkan: banyak pelajar justru tertarik pada konten kekerasan di media sosial, dari aksi tawuran hingga provokasi.

Temuan itu tentu bukan sekadar fenomena tren digital; ini sinyal kerentanan serius yang mengancam fondasi karakter generasi muda kita; generasi penerus bangsa. Yang lebih mencemaskan, ekstremisme kini tidak selalu bercorak agama. Ia berganti wajah menjadi xenofobia, chauvinisme, dan polarisasi identitas yang menebar kecurigaan dan kebencian.

Oleh sebab itu, mewujudkan ruang sekolah yang steril dari infiltrasi radikalisme kini bukanlah sekadar opsi—tetapi sebuah keniscayaan. Sekolah harus menjadi ekosistem pendidikan yang berbudaya luhur, ramah, dan bertanggung jawab, yang justru memperkuat imunitas anak-anak terhadap propaganda transnasional yang merajalela di dunia digital.

Tantangan ini menuntut pendekatan baru: bukan hanya reaktif ketika masalah muncul, tetapi proaktif membangun nilai-nilai, memperkuat kultur, dan menanamkan kebijaksanaan sejak dini. Tujuan pendidikan Indonesia harus melampaui capaian akademik; ia harus melahirkan generasi yang berakar kuat sekaligus kritis, welas asih, dan bijak di dunia maya.

Pertama, kita perlu mewujudkan sekolah rukun dan ramah anak sebagai titik awal membangun fondasi ketahanan ideologis. Sekolah rukun tidak hanya bebas dari kekerasan fisik, tetapi juga bebas dari kekerasan simbolik, seperti stigmatisasi, perundungan, atau ujaran kebencian yang sering kali menjadi pintu masuk narasi radikal di kalangan remaja.

Lingkungan yang ramah anak memberi ruang bagi perbedaan, mengapresiasi keberagaman, dan menanamkan nilai toleransi yang hidup, bukan sekadar slogan di dinding kelas. Dengan demikian, siswa merasa dihargai, diterima, dan memiliki sense of belonging, faktor penting yang mencegah mereka mencari identitas di ruang-ruang ekstremis.

Kedua, implementasi nilai anti-bullying, anti-SARA, dan anti-terorisme harus dikemas dengan adab ketimuran yang menjadi ciri khas Indonesia. Prinsip saling asah, asih, dan asuh bukan hanya filosofi lokal, tetapi instrumen strategis untuk menghadapi krisis moral era digital. Asah akan membiasakan siswa berpikir kritis dan cerdas dalam memilah informasi; asih menumbuhkan empati sehingga anak tidak mudah terprovokasi kebencian; sedangkan asuh menciptakan budaya pendampingan yang mencegah anak terjerumus dalam narasi Radikal.

Ketiga, sekolah harus aktif mendidik anak menjadi pribadi yang bertanggung jawab di dunia digital. Generasi muda saat ini “bernapas dengan teknologi,” tetapi tanpa bimbingan yang tepat, mereka rentan terseret arus informasi yang menyesatkan. Literasi digital bukan lagi sebatas kemampuan menggunakan gawai, melainkan kecakapan menilai kredibilitas informasi, memahami motif di balik konten provokatif, serta menyadari jebakan algoritma.

Di tengah dunia digital yang tak lagi mengenal batas, inilah pertahanan terbaik yang bisa kita bangun—agar generasi muda tidak hanya selamat dari infiltrasi radikal, tetapi juga mampu menjadi pembawa damai bagi Indonesia dan dunia.

Helliyatul Hasanah

Recent Posts

Dari Darkweb ke Internet Sehat; Menyelamatkan Anak dari Konten Kekerasan di Ruang Digital

Salah satu fakta yang terungkap dari penyelidikan aksi kekerasan di SMAN 72 adalah bahwa pelaku…

4 menit ago

Falsafah Ki Hadjar; Adaptasi Konsep Pamong dan Among di Tengah Transnasionalisme Digital

Kits mengenal tiga dosa dalam dunia pendidikan nasional. Yakni intoleransi agama, kekerasan seksual, dan perundungan…

6 menit ago

Ciri-Ciri Awal Paparan Ideologi Sayap Kanan pada Anak dan Remaja

Kasus ledakan di sekolah Jakarta beberapa waktu lalu menunjukkan bahwa radikalisasi di kalangan pelajar kini…

3 hari ago

Hasrat Mimetik dan Mekanisme Kambing Hitam; Apa yang Harus Dilakukan Pasca Tragedi SMAN 72?

Peristiwa kekerasan di SMAN 72 sudah pasti menyisakan trauma psikologis bagi para korban. Kejadian itu…

3 hari ago

Pahlawan Harmoni: Meneladani Sahabat, Membumikan Pancasila

Jika kita diminta membayangkan seorang ‘pahlawan’, citra yang muncul seringkali adalah gambaran monolitik sosok gagah…

3 hari ago

Urgensi Sekolah Damai: Benteng Terakhir di Tengah Gelombang Intoleransi, Perundungan dan Kekerasan Pelajar

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), beberapa tahun terakhir aktif menyelenggarakan program “Sekolah Damai” di berbagai daerah. Meski…

4 hari ago