Narasi

Lima Kunci Pendidikan Akhlak Menurut Ibn Miskawaih

Ibn Miskawaih merupakan salah seorang filsuf pendidikan akhlak. Pemikirannya dalam bidang etika atau akhlak, dirasa mempunyai nilai guna dan signifikan bagi kehidupan masyarakat modern. Menurut Ibn Miskawaih (1997) akhlak adalah suatu keadaan jiwa yang menyebabkan jiwa bertindak tanpa dipikir atau dipertimbangkan secara mendalam.

Namun meskipun demikian, Ibn Miskawaih membagi asal keadaan jiwa ini menjadi dua jenis, yaitu alamiah (bertolak dari watak) dan tercipta melalui kebiasaan atau latihan. Itu artinya, akhlak itu alami sifatnya, namun akhlak pun dapat berubah cepat atau lambat melalui disiplin serta nasihat baik. Mulanya, keadaan ini terjadi karena dipertimbangkan (dipikirkan). Namun kemudian, melalui praktik terus menerus akan menjadi akhlak.

Setidaknya ada lima kunci berkaitan dengan pendidikan akhlak dalam pandangan Ibn Miskawaih. Pertama, tujuan pendidikan. Dalam Kitab As-Saadah Ibn Miskawaih berpendapat bahwa tujuan dari pendidikan yang diinginkan yaitu terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontanitas untuk melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik, sehingga tercapai kesempurnaan dan as-saadah (kebahagiaan sejati). Assa’adah ini merupakan masalah mendasar bagi manusia karena konsep ini mengandung unsur-unsur menyeluruh meliputi kebahagiaan, kemakmuran, keberhasilan, sukses, kesempurnaan, kesenangan, dan keindahan. Oleh karenanya tujuan pendidikan yang diharapkan Ibnu Miskawaih adalah bersifat menyeluruh, yaitu kebahagian hidup manusia (Mahfudhi, 2016).

Kedua, materi pembelajaran. Untuk mencapai tujuan pendidikan, tentunya perlu dirumuskan beberapa hal yang perlu dipelajari, diajarkan, dan dipraktikkan. Menurut Ibnu Miskawaih ada hal pokok mengenai materi pembelajaran di antaranya, hal-hal yang wajib kebutuhan manusia; hal-hal yang berhungan dengan jiwa manusia; dan hal-hal yang behubungan dengan sesama manusia. Ketiganya menurut Ibnu Miskawaih bisa diperoleh dari ilmu-ilmu yang berkaitan dengan pemikiran (al-ulum alfikriyah) dan yang berhubungan dengan indera (al-ulum al-hissiyah). Tetapi dalam hal ini, Ibnu Miskawaih tidak membeda-bedakan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu non-agama. Lebih jauh lagi, Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa hendaknya materi pembelajaran itu tidak hanya baik bagi siswa dan guru semata, akan tetapi lebih jauh yaitu fid-dunya hasanah wa fil akhirati hasanah.

Ketiga, pendidik (guru) dan peserta didik (murid). Dalam hal ini Ibn Miskawaih menjelaskan bahwa yang disebut guru atau ustadz adalah yang memegang peranan penting dalam pendidikan. Sementara itu, peserta didik atau murid adalah sasaran kegiatan pengajaran. Keduanya mendapatkan porsi peranan masing-masing. Menurutnya guru itu mempunyai syarat yaitu, dapat dipercaya, pandai, dan dicintai.

Keempat, lingkungan yang merupakan faktor penting dalam proses pendidikan. Mengingat secara fitrah manusia diciptakan untuk berhungan dengan yang lainnya. Makanya, lingkungan menjadi bagian yang penting dalam pendidikan. Dalam hal ini lingkungan meliputi keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ketiga lingkungan tersebut hendaknya diupayakan sekondusif benar agar tercipta lingkungan yang baik dan mendukung pembelajaran.

Kelima, metode yang diartikan sebagai cara-cara dalam melakukan pendidikan. Oleh karena pendidikan berorientasi pada akhlak, maka cara yang digunakan juga dalam rangka menjadikan akhlak manusia menjadi baik. Ibnu Miskawih dalam Tahdzib al-Akhlak menyebutkan bahwa metode yang digunakan, meliputi pertama, kemauan yang sungguh-sungguh untuk berlatih terus-menerus dan juga menahan diri (al’adat wa al-jihad) untuk memperoleh kesopanan yang sebenarnya sesuai dengan keutamaan jiwa. Kedua, dengan menjadikan semua ilmu yang dimilikinya sebagai cerminan bagi dirinya. Dengan demikian, manusia bisa sadar diri. Manusia hendaknya mengukur segala sesuatu dari dirinya lebih dahulu sebelum menilai orang lain, sehingga bisa mawas diri dan tidak sombong.

Lima kunci pendidikan akhlak menurut Ibn Miskawaih itulah paling tidak bisa menjadi cermin untuk mendesain konsep pendidikan agama atau akhlak. Termasuk dalam kaitannya dengan upaya menangkal radikalisme baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat.

This post was last modified on 19 Maret 2021 1:40 PM

Suwanto

Penulis merupakan Peneliti Multiple-Representation Learning di PPs Pend.Kimia UNY, Interdisciplinary Islamic Studies di Fak. Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga, dan Culture Studies di UGM

Recent Posts

Kultur yang Intoleran Didorong oleh Intoleransi Struktural

Dalam minggu terakhir saja, dua kasus intoleransi mencuat seperti yang terjadi di Pamulang dan di…

2 hari ago

Moderasi Beragama adalah Khittah Beragama dan Jalan Damai Berbangsa

Agama tidak bisa dipisahkan dari nilai kemanusiaan karena ia hadir untuk menunjukkan kepada manusia suatu…

2 hari ago

Melacak Fakta Teologis dan Historis Keberpihakan Islam pada Kaum Minoritas

Serangkaian kasus intoleransi dan persekusi yang dilakukan oknum umat Islam terhadap komunitas agama lain adalah…

2 hari ago

Mitos Kerukunan dan Pentingnya Pendekatan Kolaboratif dalam Mencegah Intoleransi

Menurut laporan Wahid Foundation tahun 2022, terdapat 190 insiden intoleransi yang dilaporkan, yang mencakup pelarangan…

2 hari ago

Jaminan Hukum Kebebasan Beragama bisa Menjamin Toleransi?

Indonesia, dengan kekayaan budaya, agama, dan kepercayaan yang beragam, seharusnya menjadi contoh harmoni antar umat…

3 hari ago

Mencegah Persekusi terhadap Kelompok Minoritas Terulang Lagi

Realitas kekayaan budaya, agama, dan kepercayaan di Indonesia seharusnya menjadi fondasi untuk memperkaya keberagaman, namun…

3 hari ago