Narasi

Maaf-Maafan di Hari Fitri adalah Bukti Islam Kita Cinta Damai

Kalau kita amati, perayaan Idul Fitri ini sejatinya merepresentasikan bahwa Islam kita itu cinta damai. Mengapa? Cobalah kita renungkan, pada saat shalat Idul Fitri usai, kita di Indonesia memiliki tradisi saling maaf-maafan satu-sama lain.

Artinya apa? Tolak-ukur kesucian diri dalam prinsip agama itu sejatinya harus terhindar dari konflik. Dari sini kita bisa menyadari, bahwa Islam itu bukan agama kekejian. Melainkan agama kasih-sayang yang sangat menjunjung tinggi perdamaian tanpa konflik.

Di hari raya Idul Fitri, maaf-maafan dilakukan. Semata, antara pihak bisa memiliki kesadaran “merasa bersalah”. Kesadaran ini sangatlah berharga, karena banyak orang yang masih tinggi egonya lalu merasa paling benar dan tak mau disalahkan.

Sehingga, kesadaran saling merasa benar ini tidak akan membuat sebuah konflik/permusuhan menjadi damai. Maka, di situlah dibentuk dengan prinsip saling meminta maaf. Entah siapa yang bersalah atau meskipun tidak memiliki salah. Saling meminta maaf adalah jalan utama bahwa Islam adalah solusi perdamaian di tengah macam konflik.

Kita saling menurunkan ego masing-masing untuk minta maaf atas kesalahan satu-sama lain. Maka, di situlah perdamaian bisa terbangun. Kita dituntut untuk benar-benar terlahir kembali. Bersih dari segala amarah, kebencian dan intoleransi.

Apakah Fungsi Maaf-Maafan Itu Hanya Berlaku Sesama Muslim?

Secara subtansial, apakah maaf-maafan itu hanya berlaku terhadap sesama muslim? Lalu, segala bentuk kebencian dan rasa dengki atas non-muslim masih kita biarkan membebal dalam diri.

Kalau kita mengacu terhadap substansi Idul Fitri yang berarti (kembali ke asal fitrah diri yang suci). Niscaya, kesucian diri tentu tidak ada batasan karena beda agama. Sebab, inisiatif diri kita terbangun kesadaran untuk menghilangkan kebencian dan intoleransi.

Saling maaf-maafan di hari raya Idul Fitri pada dasarnya tak terbatas hanya sesama muslim. Sebab, perilaku kebencian dan intoleransi atas non-muslim merupakan perilaku yang tidak dibenarkan. Kita seharusnya memanfaatkan momentum saling maaf-maafan di hari raya Idul Fitri untuk merangkai hubungan yang harmonis dengan non-muslim.

Ini adalah berkah serta rahmat datangnya Idul Fitri di tengah bangsa yang plural. Dengan menjadikan tradisi saling maaf-maafan sebagai upaya untuk menyambung ikatan persaudaraan dan persatuan kebangsaan kita. Agar tidak berpecah-belah.

Mari turunkan ego kita masing-masing. Utamanya dalam kehidupan sosial-kebangsaan yang plural. Agar terbentuk iktikad untuk saling meminta maaf dan mari turunkan ego merasa paling benar di antara kita masing-masing di hari fitri.

This post was last modified on 19 April 2023 3:17 PM

Nur Samsi

Recent Posts

Soft Terrorism; Metamorfosa Ekstremisme Keagamaan di Abad Algoritma

Noor Huda Ismail, pakar kajian terorisme menulis kolom opini di harian Kompas. Judul opini itu…

18 jam ago

Jangan Terjebak Euforia Semu “Nihil Teror”

Hiruk pikuk lini masa media sosial kerap menyajikan kita pemandangan yang serba cepat berubah. Satu…

20 jam ago

Rejuvenasi Pancasila di Tengah Fenomena Zero Terrorist Attack

Tanggal 1 Juni diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila. Peringatan itu merujuk pada pidato Bung Karno…

20 jam ago

Menjernihkan Makna “Zero Terrorist Attack” : Dari Penanggulangan Aksi Menuju Perang Narasi

Dalam dua tahun terakhir, Indonesia patut bersyukur karena terbebas dari aksi teror nyata di ruang…

20 jam ago

Sesat Pikir Pengkafiran terhadap Negara

Di tengah dinamika sosial dan politik umat Islam, muncul kecenderungan sebagian kelompok yang mudah melabeli…

6 hari ago

Dekonstruksi Syariah; Relevansi Ayat-Ayat Makkiyah di Tengah Multikulturalisme

Isu penerapan syariah menjadi bahan perdebatan klasik yang seolah tidak ada ujungnya. Kaum radikal bersikeras…

6 hari ago