Narasi

Memahami Dakwah Keislaman Gus Baha’ yang Santun dan Santai

Dalam banyak teks wahyu (Al-Qur’an), dijelaskan bahwa, selain sebagai penyempurna atas agama-agama sebelumnya, Islam hadir ke muka bumi adalah untuk menebar rahmat, kasih sayang dan perdamaian bagi semesta alam. Dan, berbagai teks wahyu yang menjelaskan tengtang ‘rahmat’ sebagai misi Islam pun disambut hangat oleh Rasulullah Saw. dengan berbagai tindakan dan sikapnya yang mencerminkan misi Islam tersebut.

Sebagaimana dikisahkan bahwa, semenjak Islam didakwahkan oleh Rasulullah Saw. berbagai macam cobaan, cacian dan penghinaan silih berganti datang menghampiri Rasulullah. Bahkan, ada pula yang menagatakan bahwa nabi Muhammad tak lebih dari seorang penyihir. Namun, menghadapi persoalan yang demikian, sebagai pembawa Islam yang penuh cinta kasih, Rasulullah Saw. tetap tabah, sabar dan tak sedikit pun membalas mereka dengan cacian-cacian atau apa pun yang semakna dengannya.

Pun Rasulullah Saw. hijrah ke Madina, Rasulullah tetap melakukan hal yang sama. Bahkan, sebagaimana dicatat oleh sejarah, di Madinah, Rasulullah Saw. sempat membuat kesepakatan dengan orang-orang non-muslim untuk hidup berdampingan, menjalin komunikasi yang baik dan lainnya yang bersifat ibadah muamalah. Semua itu dilakukan oleh nabi Muhammad tak lain adalah untuk menunjukkan kepada umat bahwa Islam datang untuk perdamaian dan kemaslahatan umat manusia.

Jika kita sebagai umat muslim pada khususnya dan umat manusia pada umumnya memahami beberapa rentetan sejarah di atas. Maka seyogianya, itulah cara berislam Gus Baha’ yang sedang diamalkan dan dikampanyekan dalam berbagai kesempatan, yakni Islam yang penuh dengan semangat menghargai, mengasihi dan menyayangi sesama.

Disaat banyak ulama atau tokoh-tokoh agama yang menyerukan agar umat Islam menjalankan syari’at secara sempurna, dan dicap melenceng bagi yang tidak melakukannya. pada waktu berbarengan  Gus Baha’ hadir menjadi penengah dengan membawa cara-cara berislam yang lebih lentur, mudah dan menyejukkan. Namun tetap tidak keluar dari semangat dan lingkaran keislaman dan keimanan.

Sebab, seharusnya Islam itu memudahkan, bukan menjadi sumber masalah atas kehidupan manusia. Islam tidak membebani para pemeluknya dengan keharusan-keharusan yang memang umat manusia tidak sanggup untuk melakukannya. Menjadi kiai, ustadz atau ulama sekalipun, tugasnya adalah menyampaikan. Tidak usah memaksa umat manusia harus begini dan begitu. Karena tidak ada paksaan dalam beragama.

Bahkan, di lain sisi menurut Gus Baha’, seyogianya menjadi ulama adalah juga menjadi sosok dan pribadi yang humoris. Hal ini dikarenakan setiap umat yang dihadapi tidak mungkin semuanya sama dan seragam. Pun iya masyarakat yang dihadapi seragam, tidak mungkin juga dalam setiap keadaan kita harus melontarkan dalil-dalil agama yang kaku. Jelas hal itu akan membuat jenuh umat  dalam melakukan aktivitas keagamaan seperti halnya dakwah.

Dalam hal ini, Gus Baha’ mengutip salah satu ulama yang suka berhumor, tal lain adalah Abu Nawas. Menurut Gus Baha’, suatu ketika Abu Nawas membuat teka-teki, kata Abu Nawas, barang siapa yang bisa menjawab teka-teki ini, maka akan dikasi hadiah, dan jika tidak ada yang bisa maka Abu Nawaslah yang harus dikasi hadiah.

“Menurut kalian, Allah itu kan Maha Kaya. Namun, maski begitu lebih kaya saya. Apa artinya? tanya Abu Nawas. Orang-orang tidak ada yang bisa menjawab. Bahkan Raja Harun juga tidak bisa menjawab”. Setelah sang raja juga tak bisa menjawab, Abu Nawas berkata, “Sekaya-kayanya Allah, Dia tidak punya anak, tidak punya istri, dan juga tak punya utang. Lah, saya ini punya anak, istri dan juga punya utang.” (Rusydie Anwar, 2019)

Jika dipahami secara mendalam, sesungguhnya apa yang dilakukan oleh Abu Nawas semata bukan hanya untuk menghibur hati umat. Tetapi dibalik itu ada pesan ketauhidan dan keislaman yang hendak disampaikan pada umat. Jadi, seperti itulah seharusnya ulama masa kini. Menghibur, namun tetap ada pesan moral yang disampaikan. Sehingga dalam berislam, umat lebih riang dan gembira menjalaninya.

Secara garis besar, cara berislam yang sedang dikampanyekan oleh Gus Baha’ ini tidak jauh berbeda dengan cara-cara berislam ala Gus Dur dan Gus Miek, yang cara beisrlamnya diorientasikan pada kemanusian dan kemaslahatan umat secara umum. Sebab, menurut cara berislam yang demikian, menegakkan kemaslahatan umat merupakan salah salah satu bagian dari ibadah muamalah.

Sedangkan jika ditinjau dari sisi historisnya, cara beirislam yang ditawarkan oleh Gus Baha’ merupakan kelanjutan  dari cara berislam yang dirintis oleh para Wali Sanga, yakni cara berislam yang moderat dan penuh dengan kedaimaian. Menawarkan nilai-nilai toleransi. Tidak memaksakan kehendak dan ego keislaman dalam beragama. Dan selalu berusaha menjadi yang terbaik bagi kehidupan umat manusia.

This post was last modified on 17 Desember 2020 4:32 PM

Farisi Aris

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

3 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

3 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

3 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

4 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

4 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

4 hari ago