Narasi

Membaca Solusi Khilafah: Antara Romantisme Sejarah, Ideologisasi dan Realitas Kontemporer

Khilafah sering kali digembar-gembor oleh sebagian kecil kelompok sebagai solusi pamungkas bagi segala permasalahan umat Islam. Ia selalu dihadirkan sebagai sebuah sistem politik ideal yang diyakini mampu mengembalikan kejayaan masa lalu. Namun, narasi yang penuh romantisme ini kerap kali mengaburkan realitas bahwa khilafah, dalam lintasan sejarahnya, bukanlah entitas tunggal yang statis yang selalu sama dan tak ada perkembangan. Sebaliknya, ia adalah konsep yang terus-menerus mengalami rekonfigurasi, konflik serta menjadi medan perebutan tafsir yang sarat muatan politik.

Salah satu kekeliruan fundamental dalam memahami khilafah adalah menganggapnya sebagai sebuah sistem baku yang telah sempurna sejak awal. Realitas historis membuktikan sebaliknya. Dari model Khulafaa al-Rasyidin yang bersifat musyawarah, kita melihat pergeseran ke sistem dinasti pada masa Daulah Umayyah dan Abbasiyah. Pola suksesi, struktur pemerintahan, dan relasi antara khalifah dan rakyat terus berubah, menyesuaikan dengan dinamika sosial-politik yang ada.

Bahkan, pada masa Daulah Utsmaniyah, posisi khalifah lebih berfungsi sebagai simbol spiritual dan pemersatu umat di tengah-tengah kekuasaan sultan yang bersifat sekularistik. Ini menunjukkan bahwa khilafah bukanlah cetak biru yang kaku, melainkan sebuah respons adaptif terhadap tantangan zaman. Ia bukanlah sebuah paket final dan adalah produk adaptasi sejarah.

Dengan demikian, mengklaim satu model khilafah sebagai yang paling “Islami” atau “autentik” adalah bentuk pengabaian terhadap sejarah dan dinamikanya. Ini adalah upaya membakukan keragaman menjadi satu doktrin tunggal, yang secara inheren bertentangan dengan kekayaan tradisi Islam itu sendiri.

Tafsir yang tunggal dan dogmatis ini kemudian sering digunakan sebagai alat mobilisasi politik, menyederhanakan kompleksitas masalah umat menjadi narasi biner: “khilafah vs. non-khilafah” atau “Islam vs. sekuler”. Narasi yang menyala-nyala ini memang efektif untuk menggerakkan massa, tetapi pada saat yang sama, ia menutup ruang dialog dan ijtihad yang sesungguhnya vital bagi kemajuan peradaban ke depannya. Menutup ruang dialog dan ijtihad adalah upaya pengkerdilan masyarakat dan memundurkan peradaban.

Dampak paling berbahaya dari dominasi tafsir tunggal terhadap khilafah adalah potensinya menciptakan polarisasi sosial dan konflik di tengah masyarakat. Ketika satu kelompok mengklaim bahwa khilafah adalah satu-satunya sistem politik yang sah secara syariat, mereka secara langsung mendelegitimasi sistem politik yang berlaku di negara-bangsa modern. Di Indonesia, misalnya, tafsir ini berpotensi membenturkan gagasan khilafah dengan fondasi konstitusional Pancasila.

Narasi yang menyebut Pancasila sebagai “thaghut” atau “produk sekuler” adalah bentuk pemahaman yang dangkal, yang mengabaikan sejarah panjang ijtihad politik para pendiri bangsa. Banyak dari mereka adalah ulama besar yang dengan sadar dan cerdas merumuskan Pancasila sebagai jalan tengah yang mampu mengakomodasi keberagaman bangsa dalam bentuk bahasa, adat, kebudayaan maupun agama tanpa mengorbankan nilai-nilai ketuhanan dan keadilan.

Pancasila bukanlah musuh Islam, melainkan sebuah kontrak atau perjanjian luhur yang telah menjaga harmoni Indonesia selama puluhan tahun. Memaksakan khilafah sebagai penggantinya bukan hanya tidak realistis, tetapi juga berisiko menghancurkan fondasi persatuan yang telah dibangun dengan susah payah.

Secara praktis, pertentangan ini melahirkan konflik horizontal antar-umat yang berbeda pandangan dan konflik vertikal dengan negara. Dalam konteks Indonesia, di mana Islam berkembang dengan tradisi Nusantara yang fleksibel yang telah ditunjukkan oleh berbagai Kesultanan pra-kemerdekaan yang tidak mengadopsi model khilafah tunggal, upaya memaksakan satu bentuk politik justru merupakan bentuk pemiskinan terhadap kekayaan tradisi politik Islam di Nusantara itu sendiri.

Tantangan globalisasi, krisis lingkungan, dan disrupsi teknologi menuntut umat Islam untuk menghadirkan gagasan politik yang relevan dan adaptif. Berpegang teguh pada romantisme khilafah sebagai solusi tunggal hanyalah bentuk pelarian dari kenyataan. Yang dibutuhkan saat ini bukanlah dogma kaku yang terikat pada romantisme masa lalu, melainkan dialog terbuka dan ijtihad kontemporer. Para ulama, intelektual, dan aktivis perlu duduk bersama untuk merumuskan ulang bagaimana prinsip-prinsip politik Islam, seperti keadilan, musyawarah, dan kesejahteraan, dapat diimplementasikan dalam konteks negara-bangsa modern.

Khilafah, oleh karenanya, harus diposisikan sebagai wacana ijtihad yang terbuka, bukan dogma yang menutup ruang keberagaman. Membicarakan khilafah bukan berarti harus menyetujuinya sebagai sistem yang wajib, melainkan sebagai kesempatan untuk memperkaya diskursus politik Islam.

Dengan sikap terbuka dan dialogis, umat Islam dapat menjaga khazanah intelektualnya, merumuskan solusi yang relevan, dan yang terpenting, menghindari jebakan tafsir tunggal yang hanya akan melahirkan perpecahan dan konflik. Bisa jadi setelah kita sama-sama berfikir keras, Pancasila adalah sistem khilafah yang ingin dituju bangsa-bangsa yang lain. Siapa yang tahu? Mari tetap berfikir dengan kritis dan bersikap dengan santun.

Syukron

Recent Posts

Algoritma Kemarahan; Bagaimana Kegaduhan Medsos Berperan Mendelegitimasi Pemerintah?

Akhir Agustus, ketika sejumlah kota di Indonesia dilanda demonstrasi massa, media sosial pun ikut bergejolak.…

10 menit ago

Membaca Kerentanan Anak Muda dalam Jejaring Kekerasan Demonstrasi

Demonstrasi yang terjadi di Indonesia pada tanggal 25-28 Agustus telah memberikan peringatan keras bagi para…

12 menit ago

Menyingkap Simpati Semu dalam Narasi Radikal

Dalam beberapa minggu terakhir, Indonesia diguncang oleh serangkaian demonstrasi besar yang melibatkan berbagai elemen masyarakat,…

1 hari ago

Demokrasi Spiritual: Sebuah Tawaran dari Penghayat Kepercayaan

Jalanan sudah kembali bersih. Aktivitas warga berangsur normal, dan suara bising unjuk rasa telah digantikan…

1 hari ago

Membedakan Demokrasi Gagal dan Cacat; Tantangan Kaum Radikal Memahami Politik Kontemporer

Dalam satu dekade belakangan, kondisi demokrasi global mengalami penurunan kualitas secara signifikan. Hasil riset IEU…

1 hari ago

Menjaga Kedaulatan Rakyat dengan Tanggung Jawab : Belajar dari Konstitusi Madinah

Piagam Madinah merupakan sebuah dokumen penting dalam sejarah Islam yang digagas dan disusun oleh Nabi…

2 hari ago