Narasi

Membedakan Demokrasi Gagal dan Cacat; Tantangan Kaum Radikal Memahami Politik Kontemporer

Dalam satu dekade belakangan, kondisi demokrasi global mengalami penurunan kualitas secara signifikan. Hasil riset IEU (The Economist Intellegence Unit) mencatat, pandemi covid 19 mendorong keliatan oligarki semakin kuat di banyak negara. Hal itu berdampak pada menurunnya kualitas demokrasi. Efek paling nyata adalah kian suburnya tren politik ultra konservatisme kanan yang menjadikan sentimen identitas agama dan etnisitas sebagai komoditasnya.

Penurunan kualitas demokrasi itu juga terjadi di Indonesia. Lembaga IEU bahkan menempatkan posisi demokrasi Indonesia selama 10 tahun terakhir ini dalam kategori flawed democracy alias demokrasi cacat. Indikator kecacatan demokrasi ini dilihat antara lain dari maraknya politik identitas, masifnya ujaran kebencian dan hoaks di media sosial, serta menguatnya intoleransi dan lunturnya pluralisme.

Fenomena demokrasi cacat ini melahirkan dua sikap yang berbeda di kalangan umat Islam. Sebagai kelompok mayoritas, umat Islam ikut andil menentukan arah bangsa ke depan. Termasuk dalam hal cara mereka menyikapi kecacatan demokrasi ini. Bagi kalangan moderat, kecacatan demokrasi tidak berarti bahwa demokrasi sepenuhnya buruk.

Sebagai sebuah sistem, demokrasi cenderung ideal diterapkan dalam konteks kehidupan Indonesia yang majemuk. Demokrasi menjadi sistem yang paling memungkinkan bagi terwujudnya kesetaraan antar golongan. Demokrasi juga memungkinkan setiap entitas diperlakukan secara adil di muka hukum.

Kelompok moderat percaya bahwa krisis yang terjadi saat ini bukan dilatari oleh kegagalan demokrasi. Melainkan lebih Karana faktor kebobrokan moral sejumlah oknum penyelengga negara. Fenomena korupsi dan penyelewengan kekuasaan bukan disebabkan oleh sistem demokrasi, namun disebakan oleh rendahnya integritas para pejabat dan politisi.

Kalangan moderat ini berkeyakinan bahwa kecacatan demokrasi bisa dibenahi dengan melakukan restorasi moral. Yakni gerakan pembenahan moral yang dilakukan secara kolektif dari atas ke bawah. Para pemimpin harus menjadi contoh ideal bagi tegaknya nilai moral dan etika.

Restorasi moral dan etika ini penting untuk membangun kultur good governance di lingkungan instansi pemerintah. Tersebab, salah satu prasyarat keberhasilan demokrasi adalah terwujudnya tata kelola pemerintahan yang bersih, transparan, dan profesional. Tanpa good governance, demokrasi hanya akan menjadi ajang pesta pora bagi para penumpang gelap, termasuk koruptor.

Namun, di sisi lain ada sekelompok kecil umat Islam yang menganggap kecacatan demokrasi adalah wujud dari kegagalan demokrasi secara keseluruhan. Kelompok konservatif ini cenderung menganggap kecacatan demokrasi sebagai validasi atas opini bahwa sistem demokrasi merupakan produk pemikiran kafir yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Berbeda dengan kelompok moderat yang menyerukan restorasi moral untuk membenahi kecacatan demokrasi, kaum konservatif cenderung menawarkan solusi radikal, yakni mengganti ideologi dan sistem bernegara. Cacat demokrasi ini dijadikan alibi kelompok radikal untuk merombak sistem bernegara ke arah pemerintahan Islam berdasar syariah.

Di titik ini, tampak jelas bahwa kaum radikal rancu dalam memahami perbedaan antara demokrasi cacat dan demokrasi gagal. Situasi flawed democracy disamakan dengan kondisi failed democracy.

Padahal, keduanya berbeda jauh. Failed democracy adalah kondisi ketika demokrasi ditelikung oleh pemerintahan yang otoriter dan memberangus kebebasan berpendapat dan berekspresi masyarakat di ruang publik. Demokrasi dinyatakan gagal ketika individu warganegara dibungkam suara kritisnya oleh otoritarianisme.

Hal itu tidak terjadi di Indonesia. Fenomena demonstrasi massa di sejumlah wilayah tempo hari justru menunjukkan bahwa demokrasi kita masih sehat. Ruang publik untuk menyampaikan aspirasi masih terbuka lebar. Media massa dan media sosial masih memegang kedaulatannya sebagai penyampai aspirasi publik dan ruang diskusi kolektif. Itu artinya, demokrasi kita tidak gagal.

Mengutip Max Weber, demokrasi itu mirip seperti proses mengebor kayu atau papan. Keberhasilannya sangat ditentukan oleh tebal kayu atau papan dan ketajaman mata bor dan tentunya juga keahlian tukang bor itu sendiri.

Demikian pula dalam menerapkan demokrasi. Keberhasilan demokrasi sangat ditentukan oleh berbagai fakror. Tatakelola pemerintahan yang bersih (clean government) adalah syarat utama. Ditambah institusi politik (eksekutif, yudikatif, legislatif) yang profesional dan berintegritas. Termasuk keberadaan masyarakat sipil yang rasional dan independen. Dalam artian tidak mudah dimobilisasi apalagi diprovokasi oleh kaum radikal ekstrem.

Kondisi cacat demokrasi secara otomatis akan melahirkan patologi (penyakit) politik. Dalam konteks Indonesia, patologi politik itu mewujud pada perilaku korupsi, nepotisme, dan penyalahgunaan wewenang lainnya. Patologi politik rawan menimbulkan kekecewaan publik yang berujung pada terbukanya celah infiltrasi radikalisme.

Dengan kata lain, radikalisme acapkali hanyalah pelarian alias eskapisme masyarakat atas kekecewaan pada sistem demokrasi yang belum sempurna. Eskapisme dapat diklasifikasikan ke dalam empat tingkat. Pertama, avoiding yang melarikan diri dari persoalan. Kedua, passive escapism yakni melakukan kegiatan ringan untuk melupakan masalah, seperti mendengar musik, menonton film, atau hiburan lainnya.

Ketiga, active escapism yakni melakukan kegiatan yang menjadi pelarian dari rutinitas. Seperti melakukan hobi dan semacamnya. Keempat, extreme escapism yakni pelarian masalah dengan cara ekstrem alias berlebihan. Misalnya, mengonsumsi alkohol atau narkoba, melukai diri sendiri, bahkan bunuh diri.

Fenomena amuk massa tempo hari bisa dikatakan sebagai bentuk extreme escapism alias eskapisme yang berlebihan. Tindakan merusak, membakar, menjarah, adalah wujud pelarian ekstrem masyarakat dari problem sosial politik. Padahal, setiap persoalan seharusnya diselesaikan dengan mekanisme dialog dan nirkekerasan.

Sivana Khamdi Syukria

Recent Posts

Menyingkap Simpati Semu dalam Narasi Radikal

Dalam beberapa minggu terakhir, Indonesia diguncang oleh serangkaian demonstrasi besar yang melibatkan berbagai elemen masyarakat,…

5 jam ago

Demokrasi Spiritual: Sebuah Tawaran dari Penghayat Kepercayaan

Jalanan sudah kembali bersih. Aktivitas warga berangsur normal, dan suara bising unjuk rasa telah digantikan…

5 jam ago

Menjaga Kedaulatan Rakyat dengan Tanggung Jawab : Belajar dari Konstitusi Madinah

Piagam Madinah merupakan sebuah dokumen penting dalam sejarah Islam yang digagas dan disusun oleh Nabi…

1 hari ago

Menyelamatkan Emosi Demokrasi dari Para Pembenci

Demonstrasi adalah salah satu jalan sah dalam demokrasi. Ia membuka ruang bagi rakyat untuk menyuarakan…

1 hari ago

Mengatasi Turbulensi Demokrasi; Benarkah Khilafah Adalah Solusi Tunggal?

Demokrasi sebagai sebuah sistem politik tentu bukan ideal alias tanpa cacat. Demokrasi memiliki banyak potensi…

1 hari ago

Memitigasi Kekecewaan Rakyat agar Tidak Dieksploitasi Kelompok Kepentingan

Kekecawaan rakyat adalah sebuah bara, jika dibiarkan saja, bisa saja bisa membakar keutuhan sebuah bangsa.…

2 hari ago