Narasi

Mencari Sang “Leader” Perdamaian Islam

“Indonesia bukan negara agama tetapi negara yang bergama”, itulah salah satu slogan NU yang disampaikan oleh KH. Said Aqil Siraj dalam pidato pembukaan International Summit of the Moderate Islamic Leaders disingkat ISOMIL (Konfrensi Internasional para Pemimpin Moderat Islam) yang diadakan di Jakarta 9-11 Mei 2016. Artinya, Indonesia tidak menjadikan dasar negara dan kostitusinya pada satu agama tertentu, tetapi Indonesia mensyaratkan warganya memeluk salah satu dari enam agama yang diakui negara dan menjamin kebebasan pemeluk agama.

Tak tanggung-tanggung, konferensi yang dihelat oleh PBNU ini menghadirkan tokoh-tokoh pemimpin Islam dari lebih empat puluh negara, baik sebagai pembicara maupun sebagai peserta. Pada kesempatan ini, Wakil Presiden Republik Indonesia Jusuf Kalla, atau yang akrab dipanggil JK berkesempatan membuka konfrensi dan menyampaikan pidatonya. Salah satu hal yang menarik dikatakan oleh JK adalah, “Orang melakukan bom bunuh diri, tidak mencari apa-apa selain syurga…”. Artinya, dimensi agama memiliki andil besar atas terjadinya konflik dan aksi-aksi terorisme.

Bagi penulis, konfrensi ini hendaknya tidak hanya sekedar pertemuan seremonial belaka, tetapi harus memberikan makna dan pesan-pesan terhadap perdamaian dunia Islam. Selain itu, dibutuhkan sebuah konsensus dari para pemimpin moderat Islam yang berdiskusi untuk menyudahi konflik yang ada.

Pesan Nasionalisme dan Islam

Kira-kira sumbangsih apa yang bisa diberikan Indonesia terhadap dunia Islam dalam menghadapi konflik yang berkepanjangan? Pertanyaan inilah yang akan mencoba dianalisa di sini sebagai sebuah pesan damai untuk dunia, khususnya dunia Islam. Salah satu dari pesan tersebut berkaitan dengan model hubungan antara nasionalisme dan Islam yang berhasil dikonstruksi oleh para pendiri bangsa Indonesia.

Pasca kolonialisme di Timur Tengah, dikotomi antara nasionalisme dan Islam sangatlah kental. Setelah runtuhnya kerajaan Turki Usmani dilanjutkan penjajahan negara-negara Barat terhadap sebagian besar wilayah Islam, kaum intelektual di Timur Tengah terpecah menjadi dua mainstream, yaitu kaum nasionalis dan kaum Isamis. Kaum nasionalis sangat keras dengan pandangan nasionalismenya sehingga dikenal dengan kelompok “nasionalis murni”, begitupula kelompok Islamis juga sangat keras dalam memperjuangkan pandangan Islamismenya, yaitu ingin meng-institusionalisasikan Islam dalam sebuah negara.

Kaum nasionalis murni mendominasi kekuasaan di semua negara Arab dan Timur Tengah pada waktu itu. Sebut saja misalnya Gamal Abdul Naser dan Anwar Sadar di Mesir, Saddam Husain di Irak dan Muammar Kaddafi di Libya. Mereka bukanlah dari kalangan ulama atau cendekiawan Islam, melainkan kelompok sekuler yang mayoritas berlatar-belakang militer. Mereka menolak Ideologi negara Islam. Berbagai cara dilakukan untuk melanggengkan kekuasaannya termasuk mengeksekusi ulama-ulama Islam yang mengkritisi kekuasaannya. Sehingga yang dianggap paling mengancam eksistensi kekuasaan yang dimiliki adalah pemahaman dan gerakan kelompok-kelompok Islamis.

Sebaliknya, kaum Islamis adalah orang-orang yang menganut ideologi yang bertentangan dengan kaum nasionalis. Yang paling populer dari mereka adalah, Hasan al-Banna, Maududi dan Sayyid Qutb.  Cita-cita mereka adalah negara Islam dan sama sekali tidak menginginkan negara bangsa (Nation State). Mereka adalah para ulama yang mengusung seruan kembali kepada negara Islam yang menjadikan konstitusi Islam sebagai sarana untuk mengimplementasikan ajaran Islam. Idealisme mereka bukanlah negara bangsa yang menganut demokrasi, melainkan daulah Islamiah yang menganut sistem khilafah.

Di Indonesia, hubungan nasionalisme dan Islam sangat jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Timur Tengah. Sejak berdirinya negara ini, hubungan antara nasionalisme dan Islam telah berjalan dengan bagik. Itu bisa terjadi karena para pendiri bangsa terdiri dari para ulama yang sangat nasionalis. Berbeda dengan Timur Tengah yang selalu menghadap-hadapkan antara nasionalisme dan Islam. Tokoh-tokoh seperti Hos Cokro Minoto, KH. Agus Salim, Natsir dan lainnya merupan ulama yang nasionalis, mampu menggagas nasionalisme Indonesia tanpa menggugurkan peran agama. Maka lahirlah Pancasila sebagai pengejewantahan gagasan tersebut.

Di samping itu, tak bisa dipungkiri bahwa peran santri juga sangat besar dalam menguatkan ideologi Pancasila. Sebelum merdeka, pendiri Nahdatul Ulama (NU) KH. Hasyim Asy’ari telah mampu membakar semangat nasionalisme rakyat Indonesia dalam melawan kolonialisme dengan slogal Hubbul Watan min al-Iman (cinta tanah air sebagian dari Iman). Kalimat ini bukanlah Hadist Nabi ataupun perkataan Sahabat Nabi, melainkan murni berasal KH. Hasyim Asy’ari. Oleh karena itu, sampai saat ini, ormas-ormas Islam seperti NU dan Muhammadiah mampu menjaga bangsa dari konflik antara ulama dengan penguasa atau antara kelompok Islamis dengan sekuler seperti yang terjadi di Timur Tengah, dan menyebabkan konflik berkepanjangan sampai saat ini. Kita tahu, betapa banyak ulama yang sangat mumpuni keilmuannya di Timur Tengah seperti Wahbah Zuhaili, Yusuf Qardawi, Ahmad Thayyib dan yang lainnya, tetapi buktinya mereka tidak mampu menjadi pereda konflik karena mereka gagal dalam membangun nasionalisme bangsanya.

Bandingkan dengan ulama-ulama kontemporer di Indosia seperti Said Aqil Siraj, Din Syamsuddin, Qurais Syihab dan lainnya, mereka mampu memberikan kesejukan bagi umat beragama di Indonesia karena tidak hanya berperan sebagai ulama tetapi juga sebagai tokoh nasionalis. Mereka senantiasa mendorong Islam menghargai setiap warga negara terlepas dari latar belakang suku dan agama yang berbeda.

Dalam pemahaman tokoh NU, sebagaimana dalam pandangan Said Aqil Siraj, dalam konteks nasionalisme Indonesia, negara dulu baru agama. Bagaimana mungkin membangun peradaban Islam di Indonesia, membangun Masjid, kampus Islam, ekonomi Islam yang kuat kalau negara rapuh bahkan dalam keadaan konflik. Salah satu faktor penyebab negara menjadi rapuh adalah karena masyarakat tidak mencintai negaranya. Dalam kondisi konflik, seperti yang terjadi di Suriah dan Yaman, bagaimana bisa umat Islam membangun peradaban yang kuat. Malah yang terjadi, peradaban yang sudah dibangun sebelumnya bisa hancur karena konflik. Kita ketahui bahwa Damaskus dan Irak pernah menjadi pusat peradaban Islam bahkan dunia pada masa khilafah Umayyah dan Abbasiah. Namun, jejak-jejak kejayaan tersebut perlahan-lahan dihancurkan oleh kelompok-kelompo radikal.

Sudah saatnya konsep yang digagas oleh para ulama pendiri bangsa dari dulu sampai sekarang, yaitu “ukhuwwah wataniyyah” dan “ukhuwwah Islamiyyah”, diadopsi negara-negara Timur Tengah yang sedang berkonflik. Persaudaraan Nasional (Ukhuwwah Wataniyyah) menegaskan bahwa semua warga negara dari berbagai latar belakang etnis, budaya dan agama berhak hidup dan dilindungi oleh negara. Sedangkan persaudaraan Islam (ukhuwwah Islamiyyah) mengajarkan bahwa semua umat Islam dari berbagai latar belakang mazhab adalah bersaudara, berlomba-lomba dalam kebaikan bukan saling menyesatkan, mengkafirkan dan saling menyerang. Dengan konsep ini, kita akan menemukan negara-negara Islam, baik di Indonesia maupun Timur Tengah tanpa adanya korban kekerasan, senjata, bom, rudal dan sebagainya.

Pesan Damai dari Indonesia

Teroris, apakah Islam atau bukan? Pertanyaan ini kerap memicu perdebatan di kalangan pengamat terorisme, intelektual Islam dan para pemimpin bangsa dan negara. Dalam pandangan Hamidin, salah seorang pejabat Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) Republik Indonesia, berdasarkan pengalaman empiriknya ia mengatakan bahwa teroris bukanlah Islam. Ia menceritakan ketika melakukan penangkapan terhadap salah seorang anggota teroris jaringan Santoso di Poso, ia menemukan teroris tersebut menggunakan tato dan memiliki pemahaman keagamaan yang sangat dangkal. Sehingga menurutnya, teroris tersebut tidaklah memperjuangkan Islam karena di samping performanya tidak Islami, pemahamannya terhadap Islam pun tidak memadai.

Terlepas dari keabasahan pandangan tersebut, bagi penulis, tidak bisa dipungkiri adanya unsur Islam yang menginspirasi gerakan-gerakan terorisme dalam dunia Islam. Seperti yang diungkap oleh Valarie Thomson, seorang peneliti kelompok-kelompok radikal internasional dari Norwich University Inggris, bahwa proses orang menjadi radikal dimuai dari proses indoktrinasi, adopsi atau transfer ideologi radikal. Selanjutnya, dari ideologi itu melahirkan pembolehan terhadap kekerasan. Sumber doktrin kelompok radikal pada umumnya berasal dari ajaran agama, meskipun tidak bisa juga dipungkiri adanya sumber lain seperti ideologi politik.

Terbukti, orang-orang yang bergabung dalam kelompok-kelompok radikal seperti ISIS karena terbujuk seruan-seruan agama seperti, negara Islam, jihad, qital (perang), darul Islam, syahid dan sebagainya. Mereka sangat militan karena adanya dorongan doktriner yang bertalian erat dengan ajaran agama. Simbol-simbol yang digunakan pun, seperti bendera dan pakaian, tidak bisa membantah bahwa di sana ada unsur dogmatis yang memotivasi gerakan-gerakan radikal.

Kelompok-kelompok radikal juga sangat hebat dalam mempropagandakan pandangan keislamannya. Seperti yang dipaparkan oleh Yahya Cholil Staquf dalam penelitiannya -pembicara dalam International Summit of the Moderate Islamic Leader oleh NU- tentang propaganda teroris di Internet, ISIS saja, dalam waktu hanya empat bulan telah menyediakan 3,5 Juta akun Twitter, dan mampu membuat sediktinya 3,5 Juta tweet tentang propaganda mereka. Mereka bahkan mempunyai ribuan website. Argumentasi yang mereka gunakan dalam propaganda di media sosial tersebut merujuk pada doktrin dan literatur Islam yang otoritatif.

Dalam menyikapi propaganda radikal yang begitu massif ini, tentunya dibutuhkan langkah yang massif pula untuk menangkalnya. Kita tidak hanya membutuhkan hard power atau pendekatan kekerasan untuk mengatasi terorisme seperti yang dilakukan oleh Densus 88, tetapi juga diperlukan pendekatan persuasif soft power yang melibatkan tokoh agama dan masyarakat (ormas) untuk mencegah doktrin radikalisme. Sampai saat ini, kita melihat tidak ada lembaga Islam, terutama dari kalangan Islam moderat yang konsen menangkal propaganda ini. Boleh dikata, strategi mereka tanpa ada lawan. Malah banyak yang di antara kelompok moderat yang mengingkari fakta ini. Pada kondisi inilah ormas Islam moderat seperti NU diharapkan bisa merumuskan mekanisme dalam menangkal paham-paham radikal, setidaknya dengan mengampanyekan paham Islam moderat.

Seruan doktriner seperti jihad, syahid, qital dan pendirian negara Islam tentunya merupakan wacana yang mendominasi pemikiran kaum radikal. Lagi-lagi, pandangan yang sangat emosional ini bertolak belakang dengan pemahaman Islam moderat seperti yang dianut oleh ormas-ormas Islam Indonesia seperti NU dan Muhammadiah. Pada titik ini pula, dalam pandangan penulis, pemahaman NU yang moderat kembali dibutuhkan dalam konteks counter pemahaman Islam radikal di dunia Islam.

NU yang mengusung pemahaman mu’tadil dan wasati (moderat), berbeda dengan pandangan ekstrim kanan yang mengedepankan kekerasan dan juga berbeda dengan arus Islam kiri yang cenderung memahami ajaran agama terlalu bebas. Ketika pemahaman arus kanan dan kiri bisa menyatu dalam arus tengah yang moderat, tidak radikal dan tidak terlalu bebas, maka kehidupan umat Islam akan jauh dari konflik. Pendekatan budaya dan tradisi yang digunakan NU dalam memahami dan mengembangkan ajaran Islam selama ini terbukti mampu menciptakan toleransi kehidupan umat beragama di Indonesia. Itulah model Islam nusantara yang layak diadopsi oleh Timur Tengah untuk mengakhiri konflik.

Bagi penulis, Indonesia harus mengatakan kepada dunia bahwa kampanye pemahaman moderat adalah demi kepentingan semua orang. Kita harus sadar bahwa kita semua merupakan target kelompok-kelompok ekstrimis. Ormas Islam moderat seperti NU dan Muhammadiyah berupaya melawan pemahaman ekstrimis bukan karena kepentingan sektariannya masing-masing, melainkan karena kepentingan semua umat manusia yang menghuni alam semesta. Ini adalah momentum negara-negara Islam khususnya di Timur Tengah mengimpor ideologi model pemahaman moderat dari Indonesia untuk menyudahi konflik yang sudah menelan banyak korban jiwa. Dengan begitu, Indonesia layak menjadi sang leader dalam perdamaian dunia Islam.

 

 

Artikel ini juga telah dimuat di website Pusat Studi Arab dan Timur Tengah (23/05/2016)

Mulawarman Hannase

Dosen Pasca Sarjana IPTIQ (Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran) jakarta

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

2 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

2 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

2 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

3 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

3 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

3 hari ago