Narasi

Mengapa Anak-Anak Sangat Menyukai Konten Provokatif? Ini Penyebabnya!

Minat anak dan remaja terhadap konten provokatif kini semakin terlihat jelas. Video tawuran yang dianggap seru, prank yang merendahkan orang lain, komentar ejekan terhadap kelompok tertentu, hingga unggahan yang memancing pertengkaran, tidak lagi dianggap masalah. Banyak yang menganggapnya lucu, menghibur, bahkan trendi. Namun di balik tawa itu, ada pola yang perlu diperhatikan secara serius.

Penelitian dari Aprika Hariyanti (2020) dengan judul “Pengaruh Kebiasaan Mengakses Konten Kekerasan di Media Sosial terhadap Perilaku Agresif (Studi Siswa Kelas VIII MTs Muhammadiyah Curup Timur)” menemukan bahwa lebih dari setengah pelajar, tepatnya 59,45 persen, memiliki kebiasaan tinggi mengakses konten kekerasan di media sosial. Penelitian itu membuktikan adanya pengaruh nyata antara kebiasaan tersebut dengan meningkatnya perilaku agresif pada siswa. Jadi apa yang awalnya hanya dianggap hiburan ternyata dapat membentuk cara berpikir dan bertindak.

Ruang digital yang sering kita bayangkan sebagai tempat aman untuk belajar, bermain, atau mencari informasi, rupanya tidak bebas dari pengaruh buruk. Normalisasi provokasi tidak datang dengan bentuk langsung, melainkan lewat konten yang memancing emosi. Misalnya meme yang mengolok-olok kelompok tertentu, potongan video perundungan yang dikemas seperti komedi, atau aksi saling menghina dalam game online. Tanpa disadari, anak terbiasa menertawakan kekerasan dan ejekan, sehingga akhirnya terlihat normal.

Di titik ini, algoritma memiliki peran besar. Begitu seorang anak menonton satu konten provokatif, platform akan merekomendasikan lebih banyak konten yang serupa. Bukan karena konten itu mendidik, tetapi karena memancing respons emosional. Semakin besar reaksi, semakin sering konten tersebut ditampilkan. Ditambah lagi, ketika konten provokatif mendapatkan banyak like dan komentar, anak merasa mendapat perhatian. Sensasi diterima inilah yang sering membuat mereka ketagihan.

Pada masa pencarian jati diri, anak dan remaja memang sedang membutuhkan pengakuan. Mereka ingin dianggap lucu, berani, menarik, dan berbeda. Konten provokatif memberikan cara cepat untuk meraih perhatian. Tidak perlu berprestasi, cukup merekam aksi mengejek atau memamerkan kemarahan. Dalam kondisi tertentu, pola ini bisa berkembang menjadi kebiasaan. Anak tidak mengejar kekerasan, tetapi validasi sosial.

Masalah ini semakin rumit ketika kebutuhan emosional anak tidak terpenuhi di lingkungan terdekatnya. Anak yang mengalami bullying, kurang mendapatkan perhatian di rumah, atau tidak percaya diri, mungkin merasa lebih diterima di ruang digital. Ketika ruang itu diisi oleh komunitas yang gemar memprovokasi, anak dengan mudah ikut mengadopsi perilaku yang sama. Di sinilah agresivitas tidak hanya ditonton, tetapi diperankan.

Maka persoalan ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan melarang anak menggunakan media sosial atau menyalahkan platform digital. Kita harus melihat akar masalahnya. Ekosistem pertama yang perlu diperkuat adalah keluarga. Orang tua bukan hanya perlu memantau nilai akademik anak, tetapi harus memahami kehidupan digital yang mereka jalani setiap hari. Mengajak anak bercerita tentang konten yang ia tonton, siapa yang ia ikuti, apa yang membuatnya tertarik, akan lebih efektif dibandingkan hanya memberi aturan.

Peran berikutnya ada pada sekolah. Guru dapat menjadi pihak yang lebih peka dalam mendeteksi perubahan sikap siswa. Anak yang mulai senang mengolok-olok temannya, tiba-tiba gemar membahas kekerasan, atau suka meniru gaya bicara dari konten provokatif, patut diperhatikan. Sekolah perlu memberikan pelatihan bagi guru mengenai karakter manipulasi digital dan cara kerja provokasi online. Jika sekolah mampu menciptakan lingkungan yang inklusif dan bebas dari bullying, anak tidak lagi mencari penerimaan di ruang digital yang berisiko.

Strategi terakhir adalah memperkuat literasi digital anak dengan bahasa yang relevan dengan keseharian mereka. Literasi digital tidak cukup mengajarkan cara menggunakan aplikasi, tetapi harus membuat anak mengerti bagaimana informasi bekerja, bagaimana konten dirancang untuk mempengaruhi emosi, dan bagaimana seseorang dapat dimanipulasi tanpa disadari. Pembelajaran dapat menggunakan contoh nyata dari platform yang mereka konsumsi, mulai dari TikTok, YouTube, hingga chat di game online.

Ketiga strategi ini memang tidak langsung menghilangkan konten provokatif, tetapi membangun dasar yang kuat agar anak mampu menghadapinya dengan bijak. Anak tidak mungkin dipisahkan dari internet, karena dunia itu adalah bagian dari hidup mereka. Tugas kita adalah memastikan bahwa mereka memiliki karakter, kepekaan, dan ketangguhan saat berada di dalamnya.

Nur Faizi

Recent Posts

Mengapa Anak Rentan Terpapar Paham Kekerasan?

Fenomena terpaparnya 110 anak usia 10–18 tahun oleh paham radikal-terorisme, sebagaimana ditemukan Densus 88 melalui…

11 menit ago

True Crime Community; Bagaimana Telegram Menjadi Paltform Penyebar Kekerasan Mimetik?

Kepala BNPT Komjen Edy Hartanto menyebut bahwa pelaku pemboman di SMAN 72 Jakarta mengakses konten…

16 menit ago

Teror Tak Kasat Mata: Menghadapi Virus Ideologi yang Menginfeksi Nalar Siswa

Kita sedang berada di fase sejarah di mana "ruang aman" adalah sebuah kemewahan yang nyaris…

22 jam ago

Dari Layar ke Liyan; Anak dalam Jeratan Metamorfosis Radikalisme Digital

Di zaman ketika jari lebih cepat dari nalar, bangsa ini menghadapi ujian yang lebih berbahaya…

22 jam ago

Guru Tidak Lagi Hanya Soal Transmisi Ilmu, tetapi juga Transmisi Makna

Kita sedang menghadapi sebuah paradoks besar dalam dunia pendidikan. Generasi muda kita kini memiliki akses…

22 jam ago

Membangun Pendidikan Berbasis Kebangsaan di Era Digital

Di tengah pesatnya perkembangan teknologi informasi, dunia pendidikan menghadapi tantangan besar yang semakin kompleks. Salah…

2 hari ago