Narasi

True Crime Community; Bagaimana Telegram Menjadi Paltform Penyebar Kekerasan Mimetik?

Kepala BNPT Komjen Edy Hartanto menyebut bahwa pelaku pemboman di SMAN 72 Jakarta mengakses konten kekerasan dari grup telegram True Crime Community. Di dalam grup itu, konten kekerasan dan sadisme dipertontonkan secara vulgar dan bebas diakses siapa saja.

Grup-grup yang mengumbar konten sadisme dan kekerasan ini menjadi semacam inkubator dimana individu menduplikasi perilaku yang sama. Artinya, melalui grup tersebut, terjadi semacam transfer kesadaran untuk melakukan tindakan kekerasan.

Dalam leksikon sosiologi, fenomena itu lazim disebut sebagai mimetic violence alias kekerasan mimetik. Yakni praktik kekerasan yang terjadi karena dorongan untuk meniru tindakan serupa yang dilakukan orang lain. Fenomena kekerasan mimetik menjadi wabah yang tidak terbendung di era digital. Media sosial menjadi etalase konten kekerasan yang nyaris tanpa sensor.

Pada tahun 2022, Amnesty Internssionak menyebut bahwa platform media sosial Facebook ikut andil dalam genosida etnis Rohingnya di Myanmar. Facebook dianggap mempromosikan kekerasan terhadap etnis minpritas Rohingya melalui algoritmanya.

Facebook tidak men-takedown video kekerasan terhadap etnis Rohingya yang diunggah oleh penggunanya. Masifnya unggahan video kekerasan terhadap warga Rohingnya itu disinyalir sebagai salah satu faktor pendukung terjadinya genosida pada kelompok minoritas di Myanmar tersebut.

Apa yang terjadi di Myanmar adalah gambaran paling nyata bagaimana kekerasan mimetik itu bekerja melalui media sosial. Rekaman video kekerasan terhadap etnis Rohingnya dilihat oleh jutaan mata warga Myanmar. Padahal, kobaran kebencian terhadap etnis Rohingnya memang sudah membara di kepala sebagian warga Myanmar. Video kekerasan itu lantas menjadi semacam bahan bakar minyak yang disiram ke dalam api yang tengah berkobar.

Kekerasan mimetik selalu berangkat dari persepsi. Persepsi bahwa kekerasan yang dilakukan orang lain itu mulia dan heroik, sehingga yang melihat muncul hasrat untuk menirunya. Kini, telegram menjadi platform favorit untuk menyebar konten kekerasan dan sadisme. Fitur kerahasiaan data dan enkripsi pesan yang menjadi unggulan Telegram menarik bagi jaringan ekstremis untuk menggunakan platform ini sebagai media propaganda mereka.

Media BBC News pernah merilis artikel berjudul Telegram; The Darkweb in Your Pocket. Artikel ini menjelaskan bagaimana Telegram sebagai aplikasi media sosial lebih mirip seperti darkweb, atau situs tersembunyi di internet yang menyimpan banyak hal terlarang.

Telegram benar-benar mirip darkweb, apa saja aja dan bisa diakses siapa saja. Mulai dari bisnis narkoba, perdagangan manusia, penipuan keuangan, jual beli senjata ilegal, jasa pembunuh bayaran, sampai konten kekerasan seksual pada anak semua tersedia. Belakangan, Telegram juga menjadi platform favorit ekstrmis untuk mempropagandakan ideologinya.

Harus diakui bahwa tidak ada media sosial yang benar-benar steril dari ekstrmisme. Dan harus diakui pula bahwa tidak ada satu pun medsos yang benar-benar aman untuk anak atau remaja. Media sosial memang didesain untuk menimbulkan efek adiktif pada penggunanya. Namun, Telegram bisa dikatakan sebagai platform paling berbahaya dari semua media sosial.

Telegram terlalu bebas, tanpa sensor, tanpa pengawasan, dan terbuka bagi siapa saja. Di Instagram, konten paling menonjol adalJ flexing alias pamer. Di TikTok, konten receh menjadi favorit di kalangan penggunanya. Di X, orang berdebat tentang apa saja. Di YouTube, video panjang bincang-bincang tengah jadi tren.

Di semesta Telegram, mayoritas kontennya  serba gelap. Termasuk kanal-kanal yang dibuat khusus untuk menyebarkan konten kekerasan dan sadisme. Kanal itu menjadi medium yang mendorong timbulnya kekerasan mimetik. Kekerasan yang dilakukan atas dasar motif peniruan. Lantas, apakah kita masih akan tetap permisif pada penggunaan Telegram apalgi di kalangan anak atau remaja?

Pembatasan akses anak pada media sosial terutama Telegram yang menjadi sarang kekerasan dan ekstrmisme adalah keniscayaan. Itu langkah awal dan jangka pendek yang dapat diambil untuk meredam gelombang ekstremisasi digital di kalangan anak dan remaja.

Langkah jangka panjang tentunya adalah edukasi komprehensif ke anak dan remaja akan bahaya propaganda ekstremisme. Anak dan remaja harus memiliki kesadaran bahwa ekstrmisme dan kekerasan itu menyalahi kodrat manusia.

Kekerasan bukan alat meraih keadilan dan kehormatan. Kekerasan justru akan menjadi akar dari penderitaan umat manusia. Kesadaran itu harus terus dibangun melalui beragam pendekatan. Mulai dari aktifitas pembelajaran di kelas, kegiatan ekstrakurikuler, atau diskusi ringan di rumah tangga.

Desi Ratriyanti

Recent Posts

Mengapa Anak Rentan Terpapar Paham Kekerasan?

Fenomena terpaparnya 110 anak usia 10–18 tahun oleh paham radikal-terorisme, sebagaimana ditemukan Densus 88 melalui…

10 menit ago

Mengapa Anak-Anak Sangat Menyukai Konten Provokatif? Ini Penyebabnya!

Minat anak dan remaja terhadap konten provokatif kini semakin terlihat jelas. Video tawuran yang dianggap…

13 menit ago

Teror Tak Kasat Mata: Menghadapi Virus Ideologi yang Menginfeksi Nalar Siswa

Kita sedang berada di fase sejarah di mana "ruang aman" adalah sebuah kemewahan yang nyaris…

22 jam ago

Dari Layar ke Liyan; Anak dalam Jeratan Metamorfosis Radikalisme Digital

Di zaman ketika jari lebih cepat dari nalar, bangsa ini menghadapi ujian yang lebih berbahaya…

22 jam ago

Guru Tidak Lagi Hanya Soal Transmisi Ilmu, tetapi juga Transmisi Makna

Kita sedang menghadapi sebuah paradoks besar dalam dunia pendidikan. Generasi muda kita kini memiliki akses…

22 jam ago

Membangun Pendidikan Berbasis Kebangsaan di Era Digital

Di tengah pesatnya perkembangan teknologi informasi, dunia pendidikan menghadapi tantangan besar yang semakin kompleks. Salah…

2 hari ago