Narasi

Mengkontekstualkan Fikih Pandemi

Pada dasarnya, fikih adalah realitas ibadah yang fleksibel dan bersifat terbuka. Jauh-jauh hari, hal semacam itu telah dirumuskan oleh jumhur ulama salaf, sehingga menciptakan beragam kaidah fikih yang sampai detik ini, masih dijadikan patokan umat Islam dalam menghadapi segala macam perubahan dan tantangan zaman, termasuk pandemi Covid-19.

Salah satu kaidahnya seperti “la dharar wa la dhirar”—yang dengan tegas mengatakan bahwa ibadah tidak boleh berbahaya bagi dirinya atau membahayakan orang lain. Apa pun yang melanggar pakem ini, mesti diatur lagi sedemikian rupa. Jika tidak mampu berdiri, seorang Muslim dapat menjalankan shalat dengan duduk, berbaring dan seterusnya. Ataupun terkait ibadah haji, salah satu syaratnya adalah perjalanan yang dijamin aman. Oleh karenanya, haji ditiadakan untuk sementara waktu di masa wabah ini, karena berpotensi membahayakan nyawa.

Wabah Covid-19 adalah musibah yang mengglobal. Ia akan menyerang siapa saja, tanpa pertimbangan umur, jabatan, gender, agama ataupun aliran. Covid-19 bukanlah “tentara Allah SWT” yang tidak berani untuk menyerang hamba-Nya yang saleh. Kesalehan bukan jaminan terhindar dari virus mematikan ini. Tentang hal itu, Allah SWT telah memperingatkan umat Islam, yang tertera dalam QS. al-Anfal ayat 25.

“Dan peliharalah dirimu dari siksa yang sekali-kali tidak hanya menimpa secara khusus orang-orang yang zalim di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah SWT sangat keras pembalasan-Nya”.

Covid-19 akan menginfeksi siapa saja yang tidak menjaga kesehatan, tidak memiliki daya tahan tubuh yang kuat, serta tidak mematuhi protokol kesehatan. Virus ini dapat dengan mudah menyebar melalui kerumunan orang. Mutasinya sangat cepat. Serta dapat berpindah dan mencari inang baru dalam tubuh manusia melalui droplet yang keluar dari mulut dan hidung orang yang terjangkiti. Setelah keluar, ia dapat bertahan hidup hingga beberapa jam di media singgahnya seperti gagang pintu, rel tangga, baju, mukena, sajadah, lantai, kulit manusia, dan sebagainya.

Di masa pandemi, sholat berjamaah dan segala acara keagamaan yang menghadirkan kerumunan, dapat menjadi potensi besar bagi merebaknya virus mematikan ini. Oleh sebab itu, anjuran dari para ulama dan pemerintah agar melakukan seremonial keagamaan di rumah masing-masing sudah sangat tepat. Anjuran tersebut, secara fikih, sama sekali tidak bertentangan dengan kaidahnya serta tidak menggugurkan pahala dari beribadah secara berjamaah. Bahkan, hal itu akan mendatangkan pahala yang lebih karena turut aktif menghindarkan orang lain dari bahaya dan telah menaati perintah umara dan ulama.

Dalam pembahasan yang lebih lanjut, jika semua Fikih yang “new normal” ini dikomparasikan dengan keadaannya masing-masing, maka akan menghasilkan fikih baru yang bersifat sholih likulli zaman wa makan. Yakni Fiqh al-Aqalliyah untuk minoritas Muslim, Fiqh al-Awlawiyah untuk menetapkan skala prioritas dan kebutuhan pokok, serta Fiqh al-Maqashid untuk mencari tujuan dari adanya hukum fikih tersebut.

Salah satu contoh dari penerapan fikih “new normal”, misalnya dalam aspek kebersihan. Islam menamakannya dengan istilah thaharah. Imbauan dari ahli kesehatan untuk sering mencuci tangan merupakan ikhtiar dalam memutus rantai Covid-19. Hal ini sangat sesuai dengan prinsip thaharah dalam Islam. Bahkan, Islam sendiri mengidentikkan thaharah sebagai bagian dari iman. Seturut hal itu, semua kitab-kitab Fikih yang dikarang oleh para ulama, juga diawali dengan bab thaharah. Demikian ini sebagai bukti bahwa kebersihan menjadi dasar yang penting bagi tiap Muslim.

Rasulullah SAW juga mengajarkan pola hidup bersih. Sebagai contoh, setelah bangun tidur, umat Islam diminta untuk selalu mencuci tangan tiga kali. Karena disamarkan ketika tidur, posisi tangan menyentuh kotoran. Ada pula anjuran untuk selalu bersiwak (membersihkan gigi), bahkan seandainya tidak memberatkan, maka Rasulullah SAW memerintahkan umatnya untuk bersiwak setiap hendak melaksanakan shalat.

Selian itu, Nabi Muhammad SAW juga menyunahkan bagi umatnya, untuk isbaghal­wudhu’, yaitu melaksanakan wudhu sesempurna mungkin. Sedangkan, anggota tubuh yang wajib dibersihkan ketika wudhu adalah bagian tubuh yang sering digunakan dalam aktivitas manusia. Sehingga sangat nyata dalam kaitannya untuk mencegah rantai penyebaran Covid-19. Bahkan, para ulama telah menganjurkan untuk selalu dawam atau menjaga wudhu, walaupun sekadar mau beraktivitas keseharian. Berwudhu ini, telah menjadi ritual Islam yang preventif terhadap tertularnya penyakit dan virus.

This post was last modified on 30 Juni 2021 12:20 PM

Slamet Makhsun

Recent Posts

Membentuk Gen Z yang Tidak Hanya Cerdas dan Kritis, Tetapi Juga Cinta Perdamaian

Fenomena beberapa bulan terakhir menunjukkan betapa Gen Z memiliki energi sosial yang luar biasa. Di…

1 jam ago

Dilema Aktivisme Gen-Z; Antara Empati Ketidakadilan dan Narasi Kekerasan

Aksi demonstrasi yang terjadi di Indonesia di akhir Agustus lalu menginspirasi lahirnya gerakan serupa di…

1 jam ago

Menyelamatkan Gerakan Sosial Gen Z dari Eksploitasi Kaum Radikal

Gen Z, yang dikenal sebagai generasi digital native, kini menjadi sorotan dunia. Bukan hanya karena…

1 jam ago

Mengapa Tidak Ada Trias Politica pada Zaman Nabi?

Di tengah perdebatan tentang sistem pemerintahan yang ideal, seringkali pandangan kita tertuju pada model-model masa…

3 hari ago

Kejawen dan Demokrasi Substantif

Dalam kebudayaan Jawa, demokrasi sebagai substansi sebenarnya sudah dikenal sejak lama, bahkan sebelum istilah “demokrasi”…

3 hari ago

Rekonsiliasi dan Konsolidasi Pasca Demo; Mengeliminasi Penumpang Gelap Demokrasi

Apa yang tersisa pasca demonstrasi berujung kerusuhan di penghujung Agustus lalu? Tidak lain adalah kerugian…

3 hari ago