Narasi

Mengkritik Khilafah sama dengan Islamofobia?

Sejak tragedi September (9/11), Islam mendapat sorotan tajam, khususnya, dari kalangan Barat. Mereka menganggap segala teror adalah bagian dari ajaran Islam. Tak heran, Muslim yang bermukim di Barat seringkali mendapat tekanan akibat stigmatisasi teroris itu. Hingga saat ini, meskipun sudah jauh berkurang, label “Islam agama teror” atau “Islam agama kekerasan” menjadi wacana yang lumrah ditemukan di Amerika Serikat merujuk, utamanya, pada konteks tragedi 9/11. Realitas inilah yang kemudian dianggap sebagai musabab menguatnya fenomena islamofobia di seluruh dunia sejak istilah itu mengemuka pada 1980-an.

Pada rentang waktu yang sama. Indonesia memasuki era Reformasi. Era di mana semua kutub pikiran bebas bersirkulasi. Era yang menandai kampanye-kampanye politik agama di ruang publik. Khilafah adalah salah satunya. Hanya, obsesi politik ini dilakukan secara radikal, tidak demokratis, dan berbasis kekerasan. Celakanya lagi, mereka melabeli pihak yang meng-counter gagasan mereka sebagai islamofobia. Bahkan jika yang mencekalnya adalah orang Muslim sendiri.

Salah satu kampanyenya mengatakan,

“Berbagai gejala Islamofobia yang diperlihatkan rezim, mengarah pada ide khilafah. Setelah mencabut HTI, ormas pengusung dakwah khilafah, rezim gencar melakukan persekusi pada ustaz-ustaz yang dicurigai berafiliasi dan mendukung perjuangan HTI. Ustaz Abdul Somad, Felix Siauw, Bachtiar Nasir, Gus Nur, dan seterusnya. Bahkan bendera tauhid ditakuti rezim karena dianggap identik dengan bendera HTI.”

Secara umum, gagasan islamofobia merujuk pada praktik berupa pembunuhan, serangan psikologis dan fisik, ujaran kebencian dan diskriminasi yang menargetkan umat Muslim atas dasar kebencian atau ketakutan karena “mereka Muslim”. Kasus-kasus gagasan islamofobia yang terkenal, misalnya penyerangan Masjid di Australia yang menewaskan puluhan jamaah Muslim, pelecehan terhadap seorang perempuan berhijab di Amerika karena hijab identik dengan teroris, hingga pembakaran al-Qur’an di Swedia beberapa bulan lalu.

Dalam masyarakat demokrasi modern di mana kebebasan berekspresi adalah hak yang tidak dapat dicabut dan tidak dapat dinegosiasikan, melarang kritik secara absolut bisa dianggap sebagai pelanggaran kemanusiaan. Pertanyaannya, apakah tuduhan islamofobia itu benar? Apakah memang segala bentuk narasi yang “menyelisihi” nilai Islam berarti islamofobia bahkan jika itu datang dari kalangan Muslim sendiri?

Sebetulnya, bukan mengkritik khilafahnya, tetapi berselisih paham dengan mereka yang menjadi poin pembahasan. Toh, mereka akan linglung jika ditanya nas Al-Qur’an dan hadis eksplisit yang menuntut pendirian khilafah. Selalu yang dirujuk adalah Turki Utsmani atau khilafah ala minhaj an-nubuwwah ala Khulafaur Rasyidin. Padahal, keduanya jelas-jelas memiliki mekanisme pemerintahan yang berbeda.

Islamofobia memang sudah menjadi realitas tak terpisahkan dalam kehidupan multi-identitas di era negara bangsa. Namun, menganggap semua narasi kritis terhadap Islam sebagai bentuk islamofobia adalah hal yang keliru. Ada kalanya cara beragama Muslim yang terlalu berlebihan mengganggu kenyamanan bahkan keamanan pemeluk agama lain, dan itu seringkali tidak disadari oleh kalangan Muslim itu sendiri. Kasus toa masjid Meiliana, misalnya. Menganggapnya mempunyai gejala islamofobia karena mengkritisi suara adzan adalah sikap yang sangat naif. Bagaimana bisa kenyamanan seseorang yang terganggu bisa dikaitkan dengan sikap kebencian terhadap Islam.

Soal khilafah. Tentu umat Islam tidak mencekal diskursus khilafah dalam ajaran Islam. Jelas-jelas terdapat frase khulafaur rasyidin dalam sejarah peradaban Islam yang luhur untuk merujuk sistem pemerintahan yang dijalankan empat khalifah awal Islam. Khilafah yang menjadi “sengketa” dimaksud adalah model politik yang didasarkan pada supremasi Islam di dunia. Tak jarang, obsesi realisasi “khilafah” ini sampai menggaggu hak hidup orang lain dan norma-norma yang sudah disepakati bersama.

Karenanya, kritik terhadap “politik khilafah” ini bukan semata karena anti terhadap ajaran Islam, tetapi hanya meneruskan pesan Nabi Muhammad untuk berislam secara kaffah, yakni secara holistis, kontekstual, dan komprehensif. Bukan parsial, eksklusif, dan tekstual.

Ada setidaknya dua aspek yang mendasari mengapa para radikal terorisme ini terus menarasikan islamofobia secara berlebihan; yaitu aspek doktrinal dan aspek politis. Aspek doktrinal menjelaskan sisi konservatisme dalam memahami agamanya. Mereka mudah diidentifikasi karena memang tidak mau menerima masukan, menolak perkembangan zaman, dan mengabaikan perubahan konteks sosial.

Sedangkan aspek politis menjelaskan gerak mereka menyebarkan paham-paham puritanisme ke seluruh dunia. Kelompok Wahabi, misalnya, secara sistematis dan masif mempropagandakan ajarannya ke seluruh dunia, yang juga sudah masuk ke Indonesia. Dengan membungkam kritik ajaran mereka lewat narasi islamofobia, mereka mempertegas doktrin, dan semakin melancarkan proksi-proksi mereka dalam melakukan propaganda.

Sampai sini, titik poinnya justru bukan di islamofobia-nya, melainkan segala cara untuk meneguhkan posisi mereka dan menafikan yang lain, termasuk melalui narasi islamofobia. Mereka tau, umat Islam sangat sentimen jika mendengar islamofobia. Sentimen ini dimanfaatkan oleh kelompok radikal terorisme dengan cara mengacaukan gagasan islamofobia. Ekspektasinya, umat Muslim akan menutup mata dan telinga terhadap segala bentuk masukan atau kritik yang dialamatkan kepada mereka karena dianggap sebagai anti-Islam.

Hal ini jelas sangat berbahaya karena salah satu faktor hancurnya peradaban Islam adalah sikap eksklusif dan menutup diri. Sekali lagi, islamofobia memang ada. Namun umat Muslim juga harus kritis membedakan mana narasi berbasis kebencian, mana narasi berisi catatan kritis. Kepekaan ini dapat membantu umat Muslim memperbaiki wajah Islam keras yang rupanya masih sedikit melekat dalam benak Barat. Jika sikap kritis itu terus dibudayakan, bukan tidak mungkin ia justru menghapus islamofobia itu sendiri.

Fenomena islamofobia sering dimanifestasikan dalam berbagai bentuk, mulai dari retorika kebencian hingga tindakan kekerasan berbasis pada stereotip negatif dan ketakutan yang tidak beralasan terhadap Islam. Dalam kasus ini, prinsip Islam sahih li kulli zaman wa makan dan Islam rahmatan lil alamin harus dirawat. Salah satunya adalah dengan membebaskan Islam dari narasi eksklusif dan sektarian.

Islam telah menjadi bagian integral dari sejarah dan budaya Indonesia. Sejak masuknya agama Islam ke Nusantara, umat Islam di Indonesia telah menunjukkan wajah Islam yang toleran, inklusif, dan menghargai keragaman. Karena itu, dalam rangka menguatkan nasionalisme sekaligus menjaga citra Islam sebagai agama damai, narasi-narasi eksklusif dan sektarian yang mencoba mempersempit makna Islam harus senantiasa ditanggulangi.

Gilang Ramadhan

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

21 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

21 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

21 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

21 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago