Narasi

Menjadi Bayi: Puasa dan Transformasi Diri

Ada satu rumus yang menyatakan bahwa semakin lemah fisik manusia, maka akan semakin menguat sisi batiniyahnya. Dari berbagai kebudayaan yang ada, sepertinya rumus inilah yang melatari pula perjalanan agama atau khususnya para pemukanya. Tak kurang dari Siddharta, yang meninggalkan segala statusnya di dunia, Yesus, yang konon terang-terangan mengutamakan jiwa dengan titik-berat etika “emas”-nya, hingga Muhammad yang konon selalu memilih jalan tengah dalam setiap persoalan yang dihadapi.

Dalam banyak tradisi spiritual dominasi sisi batiniyah manusia itu dipersonifikasikan sebagai bayi. Tak hanya dipercayai bahwa bayi itu suci, namun untuk melihat bahwa ketika yang non-fisik itu benar-benar hadir, maka bayi adalah sebuah misal yang tepat. Kelemahan fisik seorang bayi akan membuat siapa pun tak akan menggunakan kekerasan untuk menyikapinya. Justru, sang bayi akan segera mendapatkan penyikapan “emas” seperti kasih-sayang dan kenyamanan tak peduli semerepotkan apapun ia.

Rumus inilah yang saya kira mendasari tradisi dan ritual-ritual keagamaan yang selama ini orang lakoni. Dan bukankah dalam banyak tilaran kebudayaan selama ini seolah berlaku adanya kederajatan dari yang kasar menuju yang halus, dari yang kurang baik menuju kebaikan, dari yang berbentuk menuju yang tak berbentuk, dari yang fisik menuju yang non-fisik?

Saya tak akan menyimpulkan bahwa ini semua adalah sebentuk Platonisme yang percaya bahwa yang tampak atau yang terindera hanyalah tiruan semata dari yang tak tampak (eidos). Justru, bagi saya, pengutamaan jiwa atau hal-hal yang non-fisik itu adalah sarana penggandaan kekuatan pada yang fisik.

Hal ini kentara pada praktik puasa Ramadhan yang dilakoni oleh sebagian orang. Dari perspektif moralitas tuan dan budak yang pernah didedahkan oleh Nietzsche, tentu saja puasa adalah sebentuk kekalahan seseorang atas kehidupan sehingga memerlukan sebentuk pelarian yang bernama akhirat atau hasil yang akan dituai kelak. Bagi Nietzschean jelas, logikanya, kalau kenikmatan itu dapat dipenuhi di sini dan kini kenapa harus menunggu kelak di akhirat?

Dalam hal ini, yang dilupakan oleh Nietzsche, saya kira, adalah ketika seseorang berpuasa dan pada saat nantinya berbuka kenikmatan inderawi ternyata dapat berlipatganda, yang otomatis prinsip “Ja sagen” atau afirmasi kehidupan Nietzschean justru dapat nyata terasakan. Bukankah selama ini nyaris tak ada orang yang tak merindukan Ramadhan, dimana konon orang berharap hari-hari itu akan kembali berulang?

Nietzsche tentu saja tak pernah berpuasa Ramadhan sehingga fakta puasa semacam itu luput dari permenungannya perihal agama dan kehidupan keagamaan. Dalam Thus Spake Zarathustra, secara ironis Nietzsche pernah menggambarkan tiga bentuk kedirian manusia dimana yang tertinggi adalah kedirian bayi. Tapi Nietzsche tak teringat perumpamaan bayi itu dalam melihat agama dan kehidupan keagamaan yang menyebabkan pandangannya atas agama terkesan dangkal. Kualitas bayi, dimana yang spiritual atau yang ruhani lebih mendominasi daripada yang material atau jasmani itulah yang saya kira rumus keberhasilan kehidupan yang pernah disajikan oleh agama. Ternyata, seorang yang seolah menampik dunia atau mengundurkan dunia, sebagaimana yang tampak dalam kehidupan orang beragama atau orang berspiritualitas lainnya, justru adalah sebentuk pelipatgandaan keduniawian. Jadi, saya kira, terbantahkanlah Platonisme yang selama ini menjadi momok bagi kehidupan empirik modern.

This post was last modified on 24 Maret 2023 2:33 PM

Heru harjo hutomo

Recent Posts

Kompleksitas Isu Sudan; Bahaya Jihad FOMO Berkedok Ukhuwah Global

Isu Suriah sudah lewat. Gaza sudah berangsur normal. Isu lain seperti Uyghur, Rohingya, dan sebagainya…

4 jam ago

Ilusi Persatuan Global; Meneguhkan Nasionalisme di Tengah Dunia Multipolar

Kelompok ekstremis terutama ISIS tampaknya tidak pernah kehabisan materi propaganda kekerasan. Setelah revolusi Suriah berakhir…

4 jam ago

Menakar Ukhuwah Global dan Kompromi Pancasila Sebagai Benteng Persatuan Dunia

Dalam beberapa dekade terakhir, istilah ukhuwah global sering digaungkan sebagai cita-cita luhur umat manusia—sebuah gagasan…

4 jam ago

Zaman Disrupsi dan Bagaimana Pemuda Memaknai Sumpahnya?

Zaman disrupsi telah menjadi babak baru dalam perjalanan umat manusia. Dunia berubah dengan sangat cepat,…

3 hari ago

Resep Pemuda di Era Rasulullah Membangun Persatuan Madinah

Setiap 28 Oktober, bangsa Indonesia mengenang kembali ikrar agung para pemuda dari berbagai penjuru Nusantara…

3 hari ago

Menghayati Elan Kepemudaan, Dari Generasi Pendiam Hingga Generasi Z dan Alfa

Pernah pada suatu masa, mobilitas dan militansi orang tak pernah ditentukan oleh otoritas-otoritas agung, nama-nama…

3 hari ago