Narasi

Menjernihkan Pidato Presiden Prabowo di KTT PBB yang Disalahpahami

Pidato Presiden Prabowo Subianto di Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) baru-baru ini mengundang berbagai respon di dalam negeri. Sorotan paling besar datang dari pernyataannya bahwa Indonesia bersedia mengakui Israel jika syarat utama, yaitu kemerdekaan Palestina dalam kerangka solusi dua negara, benar-benar terwujud.

Statemen tersebut seketika memancing perdebatan di ruang publik, sebagian menafsirkannya sebagai tanda memudarnya keberpihakan Indonesia terhadap Palestina, sebagian lagi melihatnya sebagai langkah baru diplomasi Indonesia. Namun, yang harus digarisbawahi ialah pidato tersebut bukan sekadar gagasan personal, melainkan cerminan dari doktrin politik luar negeri Indonesia yang sejak awal berpegang pada doktrin bebas-aktif.

Sikap Indonesia terhadap Palestina sejatinya sama sekali tidak berubah. Konstitusi kita, UUD 1945, jelas menyatakan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan. Amanat ini bukan slogan kosong, melainkan pedoman normatif yang telah menuntun arah diplomasi Indonesia selama tujuh puluh delapan tahun terakhir. Dukungan bagi Palestina merupakan konsistensi dari semangat tersebut.

Namun dalam kerangka diplomasi modern, keberpihakan tidak boleh dipahami sebagai kebencian abadi terhadap bangsa lain, termasuk Israel. Justru, ketika Palestina meraih kemerdekaannya dan dunia internasional mengakui dua bangsa yang berdampingan, Indonesia terikat oleh amanat UUD 1945 untuk menghormati keduanya secara setara.

Dalam konteks itulah pernyataan Presiden Prabowo harusnya ditempatkan. Ia bukanlah bentuk “melemahkan” dukungan Indonesia terhadap Palestina, juga bukan bentuk keberpihakan atas penjajahan yang dilakukan Israel atas Palestina, melainkan sebuah usaha menegaskan posisi bebas-aktif Indonesia dalam menciptakan perdamaian dunia.

Indonesia tidak boleh terjebak dalam dikotomi hitam-putih, apalagi hanya menuruti arus emosi publik yang masih dipengaruhi sejarah panjang penderitaan Palestina. Diplomasi bukanlah ruang amarah, melainkan arena konstruksi masa depan yang lebih damai.

Sejarah menunjukkan bahwa prinsip bebas-aktif bukan hanya jargon. Pada masa awal kemerdekaan, Indonesia menolak bergabung dalam blok politik manapun di tengah Perang Dingin. Indonesia juga berperan aktif dalam melahirkan Konferensi Asia-Afrika pada 1955 yang menegaskan solidaritas bersama di antara negara-negara terjajah dan tertindas. Sikap yang sama tercermin ketika Indonesia menjadi motor Gerakan Non-Blok. Artinya, politik luar negeri Indonesia selalu berdiri di atas nilai keadilan universal untuk semua bangsa.

 

Karena itu, kita perlu ingat, dukungan bagi Palestina tidak hanya dapat diwujudkan melalui retorika permusuhan. Justru, diplomasi cerdas menuntut kita untuk memikirkan solusi yang berorientasi ke depan. Keadilan prospektif mengajarkan bahwa yang lebih penting daripada mengulang-ulang luka masa lalu adalah memastikan anak-anak Palestina kelak bisa tumbuh dalam damai, tanpa suara bom dan genderang perang. Jika perdamaian itu hanya dapat diwujudkan dengan mengakui keberadaan dua negara, maka langkah itu harus ditempuh.

Resolusi PBB berulang kali menekankan pentingnya pembentukan negara Palestina yang merdeka dan hidup berdampingan dengan Israel. Indonesia, sebagai anggota masyarakat internasional, tentu tidak bisa menutup mata terhadap realitas ini. Apalagi, konstitusi kita sendiri mendorong bangsa untuk aktif menciptakan perdamaian dunia. Artinya, pidato Presiden Prabowo bukan keluar dari rel konstitusi, justru meneguhkannya dalam kerangka diplomasi.

Sentimen publik yang keras terhadap Israel dapat dipahami. Sejarah panjang penjajahan, perampasan tanah, dan kekerasan militer yang dialami rakyat Palestina telah menorehkan luka mendalam. Namun diplomasi negara tidak bisa hanya dikelola dengan emosi kolektif. Pemerintah harus tetap mengedepankan rasionalitas, kalkulasi jangka panjang, dan visi global. Inilah bedanya politik luar negeri dengan opini massa yang bersifat bebas.

Indonesia tetap berdiri tegak membela Palestina, namun tidak menutup jalan bagi terciptanya perdamaian yang diakui dunia. Politik bebas-aktif menuntut kita untuk tidak berpihak secara membabi buta, melainkan berpihak pada keadilan universal. Di situlah letak kekuatan sejati diplomasi Indonesia: bebas menentukan sikap, aktif membangun perdamaian.

This post was last modified on 29 September 2025 12:11 PM

Helliyatul Hasanah

Recent Posts

Melampaui Anti-Semitisme; Menunaikan Amanah Konstitusi Tentang Kemerdekaan Semua Bangsa

Sejarah peradaban manusia dari era klasik, pertengahan, modern, hingga kontemporer tidak pernah lepas dari konflik…

1 jam ago

Polemik Solusi Dua Negara; Benarkah Presiden Prabowo Membela Israel?

Pidato Presiden Prabowo di Konferensi Tingkat Tinggi Persatuan Bangsa-Bangsa menuai respon beragam dari publik. Dalam…

3 jam ago

Di Balik Sowan Abu Bakar Ba’asyir ke Rumah Joko Widodo

Setelah bebas pada Januari 2021, Abu Bakar Baasyir kembali ke Pondok Al-Mukmin Ngruki dan berkumpul…

3 jam ago

Siklus Kekerasan Baru, Diplomasi Internasional dan Kemerdekaan Palestina

Konflik Palestina dan Israel telah berlangsung lebih dari tujuh dekade dan menjadi salah satu konflik…

23 jam ago

Pidato Presiden Prabowo di PBB; Mampukah Diplomasi Pancasila Mewujudkan Perdamaian dan Kesetaraan Dunia?

Presiden Prabowo berpidato di hadapan Sidang Umum PBB, 23 September lalu. Pidato Presiden Prabowo ini…

1 hari ago

Dari Ilusi ke Radikalisasi : Bedah Narasi Khilafah dalam Gerakan Terorisme – Jurnal Jalan Damai Vol. 1. No. 7 September 2025

Salam Damai, Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas terbitnya Jurnal Jalan…

4 hari ago