Harus diakui, era digital melahirkan paradoks. Kita dibanjiri informasi, namun sering kali pikiran kita justru terkotak-kotak. Kita terhubung secara global, tetapi semakin terkurung dalam gelembung-gelembung keyakinan yang sempit.
Dalam realitas yang kontradiktif inilah, pemikiran Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan kita, bukan lagi sekadar warisan sejarah, melainkan sebuah seruan mendesak yang bersifat kritis bagi siapa saja.
Gagasannya soal “kemerdekaan” jiwa manusia, yang ditopang oleh pilar-pilar zelfstandig (berdiri sendiri), onafhankelijk (tidak tergantung pada orang lain), dan vrijheid atau zelfbeschikking (mengatur diri sendiri), kini menjadi antitesis paling kuat untuk melawan penjara pikiran yang melahirkan kekakuan dan dapat mengantar pada paham ekstremisme.
Tantangan terbesar kita hari ini bukanlah kurangnya pengetahuan, melainkan ilusi kemandirian. Algoritma media sosial secara halus membentuk selera dan opini kita, menciptakan sebuah hegemoni pemikiran yang nyaman karena terus divalidasi oleh gema dalam ruang digital kita.
Dalam ekosistem ini, kemerdekaan berpikir terkikis secara perlahan. Kemampuan untuk onafhankelijk (berpikir secara independen) menjadi sebuah perjuangan berat ketika setiap pandangan yang berbeda berisiko memicu isolasi sosial.
Kita diajari untuk bersuara, tetapi sering kali yang kita suarakan hanyalah repetisi dari narasi dominan yang telah kita serap tanpa sadar. Inilah bentuk ketergantungan baru yang lebih berbahaya, karena ia subtil dan terasa membebaskan.
Ketergantungan pada validasi eksternal ini secara langsung merusak fondasi zelfstandig, kemampuan untuk berdiri di atas kaki sendiri. Alih-alih membangun keyakinan dari dalam, kita diajari untuk mengukurnya dari jumlah “suka” dan persetujuan orang lain.
Di sinilah relevansi mendalam dari filosofi Ki Hajar Dewantara tampil sebagai sebuah tindakan perlawanan. Membangun semangat zelfstandig bukanlah sekadar soal menguasai keterampilan bertahan hidup, melainkan tentang membangun ketangguhan intelektual dan emosional untuk menavigasi realitas paradoks tadi.
Proses penempaan zelfstandig ini, pada hakikatnya, adalah tentang membangun sebuah ruang aman di dalam diri. Setiap kali seorang individu berhasil mengatasi sebuah tantangan—baik itu kegagalan dalam karier, kritik tajam, atau keraguan personal—ia tidak hanya mendapatkan pengalaman baru, tetapi juga menabung keyakinan bahwa “kegagalan saat mencoba itu tidak apa-apa” dan “pikiran serta usahaku sendiri ternyata berharga”.
Modal psikologis berupa rasa aman untuk bereksplorasi dan berbuat salah inilah yang menjadi fondasi paling krusial. Tanpa rasa aman internal ini, setiap potensi rasa ingin tahu akan selalu dibayangi oleh ketakutan untuk dinilai atau dianggap keliru, sehingga membungkamnya bahkan sebelum ia sempat terucap.
Dari fondasi ketangguhan inilah, kemerdekaan intelektual yang sejati, atau onafhankelijk, dapat tumbuh. Ini adalah tahap di mana seorang individu mulai berani mengajukan pertanyaan-pertanyaan “subversif”, “Mengapa harus begini? Bagaimana jika berbeda? Apa kata sumber yang lain?”
Mendorong sikap ini sering kali terasa tidak nyaman karena menantang otoritas atau narasi mapan di masyarakat. Namun, dialektika inilah yang menempa seorang pemikir kritis. Tanpa keberanian untuk mempertanyakan dan menganalisis secara mandiri, seseorang hanya akan menjadi bejana kosong yang siap diisi oleh ideologi apa pun yang datang dengan paling lantang dan meyakinkan. Kekakuan paham ekstremisme tidak akan pernah berakar pada pikiran yang terbiasa menimbang berbagai sudut pandang.
Puncak dari proses ini adalah vrijheid atau zelfbeschikking, kemampuan mengatur diri sendiri. Ini adalah pemahaman matang bahwa kebebasan sejati bukanlah kebebasan untuk melakukan apa saja, melainkan kekuatan untuk memilih apa yang benar dan bertanggung jawab atas pilihan itu.
Inilah yang membedakan individu merdeka dari seorang pengikut buta. Paham ekstremis sering kali menawarkan pembebasan dari beban tanggung jawab moral dengan cara menyerahkannya sepenuhnya kepada otoritas doktrin atau pemimpin.
Sebaliknya, individu yang ditempa dengan semangat zelfbeschikking memiliki kompas moral internal. Ia tidak memerlukan ancaman eksternal atau iming-iming hadiah untuk berbuat baik, karena ia memahami bahwa tindakan etis adalah wujud tertinggi dari kemerdekaannya sebagai manusia.
Secara kritis, kita harus mengakui bahwa sering kali sistem sosial modern kita secara tidak sadar justru menyabotase ketiga pilar ini. Sebuah kultur yang terlalu membenci risiko dan anti-kegagalan, dengan niat baik menjaga setiap orang dari kekecewaan, pada hakikatnya merampas kesempatan untuk menjadi zelfstandig.
Begitu pula sistem-sistem, baik formal maupun informal, yang hanya menghargai jawaban tunggal yang benar dan menghukum proses eksplorasi. Kita terobsesi menciptakan individu-individu yang “berhasil” dalam kerangka yang sempit, namun mungkin kita lalai dalam membentuk manusia yang utuh dan merdeka jiwanya.
Maka dari itu, membangun kemerdekaan berpikir bukanlah sekadar program pengembangan diri. Ia adalah sebuah pergeseran paradigma fundamental tentang bagaimana kita menjalani hidup.
Mendidik jiwa merdeka adalah sebuah tuntutan moral di zaman yang penuh ketidakpastian. Ini adalah tugas tersulit sekaligus termulia bagi kita bersama: menemani setiap insan dalam perjalanannya menemukan, mempercayai, dan pada akhirnya membebaskan pikirannya sendiri. Itulah satu-satunya benteng pertahanan yang tak akan lekang oleh waktu dalam melawan segala bentuk dogma berbahaya.
Peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia (RI) dengan tema “Bersatu, Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia…
Kolonialisme sebagai sebuah praktik penjajahan satu bangsa atau negara terhadap bangsa atau negara lain terus…
Jika diibaratkan manusia, usia 80 tahun tentu telah menjalani berbagai fase kehidupan. Demikian juga perjalanan…
Peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia setiap 17 Agustus selalu menjadi momen special bagi seluruh masyarakat Indonesia.…
Menjelang perayaan HUT RI ke-80, media sosial sempat diramaikan oleh fenomena pengibaran bendera bajak laut…
Di tengah gejolak global yang ditandai oleh polarisasi ideologis dan sentimen sektarian yang semakin keras,…