Peristiwa kekerasan di SMAN 72 sudah pasti menyisakan trauma psikologis bagi para korban. Kejadian itu tidak pelak juga menjadi alarm merah bagi para orang tua, guru, dan masyarakat pada umumnya. Apa yang terjadi sebenarnya dan apa langkah yang harus segera diambil pasca kejadian ini?
Kekerasan adalah fenomena sosiologis yang dapat dibaca dari kerangka pikir filsafat. Michel Foucoult, filosof postmodern Perancis misalnya beranggapan bahwa kekerasan adalah manifestasi dari ketimpangan relasi kuasa. Kekerasan tidak hanya dilakukan oleh pihak yang berkuasa. Sebaliknya, pihak yang tertindas dan terpinggirkan pun berpotensi melakukan tindakan serupa.
Kejadian di SMAN 72 mengkonfirmasi validitas teori Foucoult tentang ketimpangan relasi kuasa tersebut. Pelaku kekerasan di SMAN 72 bukan sosok yang dominan alias pemegang kekuasaan. Sebaliknya, pelaku adalah sosok yang selama ini terpinggirkan. Ia korban bullying di sekolah. Di rumah, ia menjadi korban kekerasan simbolik dalam rumah tangga.
Sebagai makhluk sosiologis, manusia memiliki fitrah untuk meniru perbuatan orang lain. Inilah yang disebut oleh Rene Girard sebagai hasrat mimetik (memetic desire). Dalam leksikon sosiologi, hasrat mimetik dipahami sebagai dorongan alamiah manusia untuk meniru tindakan orang lain tanpa pertimbangan rasional. Alias hanya didasarkan pada naluri tanpa pertimbangan moral dan etika. Dengan tindakan mimetik itu sebenarnya bukan tindakan yang otentik.
Meniru sebagai hasrat alami manusia ini sebenarnya wajar belaka, jika konotasinya positif. Namun, hasrat mimetik menjadi problem ketika mengarah pada hal destruktif, seperti kekerasan.
Di era media sosial, dorongan hasrat mimetik trutama di kalangan anak muda kian tidak terbendung. Logika dasar media sosial adalah peniruan alias mimetik. Apa yang menjadi tren akan diikuti dan dilakukan oleh banyak orang. Mulai dari tren pakaian, tarian atau joget, gaya bicara, sampai perilaku menyimpang.
Dalam konteks tren kekerasan, faktornya tentu jauh lebih kompleks dari itu. Dalam kasus kekerasan mimetik seperti terjadi di SMAN 72, ada variabel lain yang turut andil memicu terjadinya tragedi tersebut. Variabel itu adalah mekanisme kambing hitam (spacegoat machanism). Individu atau kelompok yang merasa tertindas atau terpinggirkan pasti mencari kambing hitam atas kondisi yang mereka alami. Mekanisme kambing hitam ini lantas memunculkan target kekerasan.
Dalam kasus terorisme berlatar agama misalnya, targetnya selalu sama; simbol Barat, aparat pemerintah, dan minoritas agama. Target ini dipilih bukan tanpa alasan. Target itu dipilih karena mereka dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab terhadap situasi ketimpangan yang dirasakan oleh kelompok ekstrem.
Mekanisme kambing hitam juga dipakai oleh kelompok ekstremis non agama di Barat. Meraka menyerang kelompok imigran dan non kulit putih karena dianggap sebagai penyebab krisis ekonomi atau sulitnya mencari pekerjaan.
Banyak pihak telah membaca fenomena kekerasan di SMAN 72 dari berbagai sudut pandang. Lantas, apa yang harus kita lakukan setelah ini? Langkah pertama, tentu memulihkan kondisi para korban terutama dari sisi psikologis. Luka fisik boleh jadi sudah hilang, namun ada trauma yang masih tersisa. Trauma ini dikhawatirkan akan menjadi celah munculnya hasrat untuk melakukan tindakan serupa. Entah balas dendam atau sekedar peniruan.
Langkah kedua adalah kita, yakni orang tua, guru, dan masyarakat perlu mengintensifkan kembali ruang-ruang perjumpaan fisik yang tergusur akibat dominasi media sosial. Kini, hampir tidak ada ruang perjumpaan fisik yang memungkinan anak dan remaja berinteraksi secara langsung, tatap muka, dan saling merasakan kehadiran masing-masing. Anak dan remaja lebih banyak berinteraksi di ruang maya. Jarang lagi main bola di lapangan bersama karena anak-anak sibuk mabar alias main game online bareng teman virtualnya.
Sejarawan Yuval Noah Harari menyebut bahwa yang paling berbahaya dari media sosial adalah hilangnya kemampuan manusia untuk berinteraksi secara langsung, bahkan hilangnya kemampuan manusia untuk berempati. Memperbanyak kembali ruang perjumpaan fisik adalah upaya mencegah hilangnya kemampuan kita dalam memahami perasaan orang lain.
Terakhir, tidak kalah pentingnya adalah menanamkan kultur dialogisme ke anak dan remaja. Dialogisme sebagaimana diperkenalkan oleh filosof Michael Bakhtin adalah gagasan bahwa makna itu tidak bersifat tunggal, melainkan diciptakan melalui interaksi, dialog antarberbagai teks dan konteks sosial budaya.
Dialogisme ala Bakhtin urgen dan relevan dihadirkan di tengah euforia kira menghadapi dunia digital atau kecerdasan buatan. Kita terlalu optimistis bahwa era digital dan kecerdasan buatan akan membawa lompatan kemajuan bagi manusia. Padahal di balik euforia dan optimisme itu tersembunyi bahaya mengintai.
Generasi Z dan gen Alpha barangkali merupakan kelompok paling melek teknologi digital. Meraka hidup dengan berbagai aplikasi daring. Mereka piawai menggunakan teknologi untuk mempermudah hidup dan menyelesaikan masalah. Namun, di balik kecakapan digital itu, tanpa sadar mereka kehilangan keterampilan paling dasar yang harus dikuasai oleh manusia, yakni kemampuan berempati terhadap posisi orang lain dan kemampuan memahami realitas sosial.
Ketidakmampuan berempati akan melahirkan perilaku arogan, destruktif, bahkan ekstrem. Sedangkan ketidakmampuan memahami realitas sosial akan mendorong munculnya problem mental psikogis; kesepian, kecemasan, keterasingan, rendah diri, tidak terampil bersosialisasi, dan gejala sejenis. Puncak dari segala sengkarut mental itu tersalurkan ke dua pilihan tindakan; bunuh diri atau balas dendam. Semuanya bukan pilihan yang rasional.
Kasus ledakan di sekolah Jakarta beberapa waktu lalu menunjukkan bahwa radikalisasi di kalangan pelajar kini…
Jika kita diminta membayangkan seorang ‘pahlawan’, citra yang muncul seringkali adalah gambaran monolitik sosok gagah…
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), beberapa tahun terakhir aktif menyelenggarakan program “Sekolah Damai” di berbagai daerah. Meski…
Kekerasan dan bullying di lingkungan sekolah telah menjadi masalah yang semakin mendapat perhatian dalam beberapa…
Tragedi ledakan yang terjadi di SMAN 72 Jakut, Jumat lalu (7/11/2025), menyisakan kepedihan mendalam bagi…
Kasus peledakan di SMAN 72 Jakarta telah mengguncang kesadaran publik sekaligus membuka kewaspadaan dari lahirnya…