Narasi

Ormas-Ormas Radikal yang Tak Kunjung Wirang dan Potensi Terorismenya

Akhir tahun 2020 adalah seperti berakhirnya pula trend terorisme yang mengambil gaya purbanya: premanisme (Mereka yang Terjaga: Menggagas Pendidikan Antiradikalisme dan Anti terorisme Sejak Dini, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.net). Setelah IS kembali khalayak Indonesia dikejutkan oleh bangkitnya salah satu organisasi radikal: Jamaah Islamiyah (JI). Di Semarang kepolisian berhasil membongkar dan membekuk jaringan JI yang telah menyiapkan perang. Target dan rekrutmen mereka seperti tak lagi semurah organisasi-organisasi radikal yang berafiliasi ke IS. Seandainya IS karib dengan segala kebodohan agama, hedonisme dan melankolia, JI lebih menarget orang-orang yang terbukti cerdas dalam pengetahuan keagamaan sebagai anggotanya (Hikayat Binatang Beragama, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.net).

Bela diri, pemakaian senjata, dan perakitan bom seakan menjadi kurikulum wajibnya. Seperti halnya para pendahulu mereka yang terkenal cerdas-cerdas, Noordin M. Top dan Dr. Azahari, yang lihai menyembunyikan diri berkat jaringan perempuan yang menjadi inangnya, JI secara ideologis kentara lebih menghunjam. Dengan target dan rekrutmen yang seperti itu jelas bahwa para anggotanya dapat mengaji dan hafal berbagai dalil. Dengan kata lain, para anggotanya saya kira memiliki gaya kehidupan yang lebih steril daripada anggota dan simpatisan IS—minimal mereka tak merokok.

Bagi saya pribadi, rokok sangatlah penting untuk mengungkap hakikat terorisme dengan ideologisasi yang kuat semacam JI. Di samping bahwa para anggota dan simpatisannya tak merokok, nalar keagamaan mereka yang radikal dapat terkuak pada nalar yang anti terhadap rokok (Melongok Dari yang Tak Pokok, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.net). Dari nalar keagamaan mereka jelas bahwa mereka sangatlah anti terhadap keberagaman—dan dari berbagai kasus yang ada, anti pula terhadap kearifan-kearifan lokal yang kerap mereka rendahkan sebagai sebentuk TBC (takhayul, bid’ah, dan churafat). Pada titik ini, nalar mereka adalah nalar “masturbasif” murni tanpa kemunafikan dan hedonisme laiknya IS yang cenderung berani malu (wis wani wirang) karena kehidupan mereka sungguh jauh dari citra diri yang dihadirkan: kebodohan ilmu agama, kompensasi seks, alkohol, dan narkoba (Serigala Berbulu Domba: Narkoba dan Dunia Fantasi Terorisme, Heru Harjo Hutomo dan Ajeng Dewanthi, https://www.berdikarionline.com).

Nalar “masturbasif” selama ini memang menjadi milik orang-orang ataupun organisasi-organisasi yang cenderung radikal dan sangat berpotensi merusak ruang publik. Atas nama agama, yang tentunya telah dimanipulasi sedemikian rupa, mereka tak akan membiarkan sedikit ruang pun bagi orang-orang yang tak sepaham dengan mereka untuk berada. Bagi mereka, seandainya ingin hidup mestilah minggat. Oposisi biner selalu menjadi pola pikir yang mereka kembangkan di ruang publik: Islam-non-Islam, beriman-kafir, suci-kotor, dst (Nalar Publik, Pandemi Corona, dan Kehidupan Masyarakat Sipil Indonesia, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id). Dan untuk selanjutnya selalu saja yang bagi mereka non-Islam, kafir, dan kotor berhak untuk menjadi warganegara kelas dua, orang-orang tundukan yang berhak dianiaya dan dirugikan, atau bahkan halal ditumpahkan darahnya.

Seandainya ditelisik dari mindset semacam itu jelas pada hakikatnya baik organisasi-organisasi radikal yang berafiliasi ke IS maupun JI sama saja dan hanya berbeda pada derajat ke-“putih”-annya. Di sinilah JI lebih “putih” daripada IS, seperti halnya—dengan konteks berbeda—membandingkan antara Abu Bakar Baasyir dengan Rizieq Shihab yang pernah tersandung kasus pornografi.

Tapi, saya kira, dapat pula “kelebihan” yang dicitrakan oleh JI tersebut hanyalah penghalusan dari apa yang selama ini disingkapkan oleh IS. Seandainya IS itu seolah-olah “putih” atau puritan, maka JI adalah lebih “putih.” Seandainya IS karib dengan kemaksiatan, maka JI lebih karib dengan kemaksiatan. Taruhlah Noordin M. Top yang terkenal memiliki perempuan yang banyak yang menjadi pelepas lelah dalam pelarian sekaligus inang bagi perjuangan ideologisnya, mereka terikat oleh “ikatan” ala paham mereka yang melazimkan pula praktik tukar pasangan. Namun demikian, mereka cenderung untuk tak berani malu.

This post was last modified on 4 Januari 2021 4:33 PM

Heru harjo hutomo

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

8 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

8 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

8 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago