Narasi

Pasang Surut Relasi Komitmen Kebangsaan dan Keagamaan

Perdebatan mengenai relasi antara komitmen kebangsaan dan keagamaan telah menjadi inti perdebatan yang berkelanjutan dalam sejarah peradaban modern. Di Indonesia, permasalahan ini telah menjadi fokus utama sejak awal kemerdekaan, memunculkan debat yang sering kali memanas seputar peran agama dalam politik kebangsaan dan sebaliknya.

Sejak awal kemerdekaan Indonesia, isu mengenai peran agama dalam politik kebangsaan telah menjadi sorotan utama. Para pendiri bangsa, dengan visi dan misi yang beragam, berdebat mengenai sejauh mana agama harus menjadi landasan bagi pembangunan negara.

Di satu sisi, ada yang menekankan pentingnya keislaman dalam merumuskan identitas nasional, sementara di sisi lain, ada yang mengusung pandangan sekularisme yang memisahkan urusan agama dari negara. Polemik ini mencapai puncaknya dalam proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara, yang menjadi kompromi antara beragam pandangan politik, agama, dan budaya di Indonesia.

Namun, apakah kesepakatan antara Pancasila sebagai dasar negara telah usai? Masih ada kelompok khususnya aliran keagamaan yang mencoba mengkontestasikan antara ajaran agama dan Pancasila. Lebih luas, lagi dikotomi antara komitmen kebangsaan dan keagamaan seakan dihadapkan secara diametral.

Namun, upaya penyelesaian polemik ini berhasil melalui pengakuan bersama atas Pancasila sebagai landasan negara, yang secara resmi disahkan dalam Muktamar Nahdlatul Ulama ke-27 tahun 1984. Artinya, absah perdebatan klasik antara agama dan negara, ideologi bangsa dan ajaran agama telah tuntas.

Salah satu argumen yang mendukung konsensus Pancasila sebagai solusi untuk konflik antara komitmen kebangsaan dan keagamaan adalah bahwa Pancasila mampu menyatukan keberagaman Indonesia di bawah satu payung ideologi yang inklusif. Pancasila pada satu sisi bukan menggantikan agama, tetapi ia juga tidak bertentangan dengan agama.

Dengan mengakomodasi nilai-nilai universal seperti keadilan sosial, demokrasi, persatuan, dan ketuhanan yang maha esa, Pancasila memberikan dasar yang kuat untuk membangun negara yang berdaulat dan adil yang menjamin pula kebebasan umat beragama.  Hal inilah yang menjadi dasar dari kesepakatan bersama di Muktamar NU ke-27 tahun 1984, di mana organisasi Islam terbesar di Indonesia secara resmi mengakui Pancasila sebagai dasar negara yang sah yang tidak bertentangan dan tidak boleh dipertentangkan dengan agama.

Namun, sejarah juga mengajarkan bahwa penyelesaian konflik antara kebangsaan dan keagamaan tidak selalu mudah. Gerakan politik agama (baca:Islam) yang telah lama ada di Indonesia, bertemu dengan kepentingan transnasional. Era reformasi pertemuan ini berada dalam ruang kebebasan politik yang mengafirmasi kelompok mana pun untuk bersuara.

Pada akhirnya, kelompok ini terus mengkampanyekan dan mencoba untuk menggerus kesepakatan dan komitmen politik lama. Generasi muda diajak kembali mendiskusikan relasi agama dan negara. Pada akhirnya, mereka mendoktrin bahwa Pancasila bukan dasar yang tepat untuk sebuah negara, dengan kata lain, bertentangan dengan ajaran agama.

Kontestasi kelompok kelompok garis keras dan kelompok moderat kembali mengemuka dalam mendiskusikan relasi agama dan politik. Keinginan penerapan hukum syariah di beberapa daerah terus menjadi topik dan polemik.

Karena itulah, meremajakan kembali diskursus ini menjadi penting di hadapan generasi saat ini. Mereka harus dikenalkan dengan gagasan dan sejarah dari pembentukan bangsa ini disertai argument yang kuat dari sebuah pilihan kebangsaan dan keagamaan.

Tantangan nyata dalam membangun generasi yang kokoh ke depan adalah mengenalkan kembali generasi muda terhadap komitmen kebangsaan dalam sejarah agar mereka tidak mudah dieksploitasi pemikiran dan ideologi.

Relasi antara komitmen kebangsaan dan keagamaan merupakan basis dan modal yang tidak perlu dipertentangkan. Melalui pembelajaran dari sejarah Indonesia dan pengalaman politik yang di miliki, bangs aini dapat membangun landasan yang kokoh untuk memastikan bahwa agama tidak dijadikan alat untuk kepentingan politik sempit, namun tetap menjadi sumber inspirasi untuk membangun masyarakat yang adil, inklusif, dan beradab.

Septi Lutfiana

Recent Posts

Kultur yang Intoleran Didorong oleh Intoleransi Struktural

Dalam minggu terakhir saja, dua kasus intoleransi mencuat seperti yang terjadi di Pamulang dan di…

3 hari ago

Moderasi Beragama adalah Khittah Beragama dan Jalan Damai Berbangsa

Agama tidak bisa dipisahkan dari nilai kemanusiaan karena ia hadir untuk menunjukkan kepada manusia suatu…

3 hari ago

Melacak Fakta Teologis dan Historis Keberpihakan Islam pada Kaum Minoritas

Serangkaian kasus intoleransi dan persekusi yang dilakukan oknum umat Islam terhadap komunitas agama lain adalah…

3 hari ago

Mitos Kerukunan dan Pentingnya Pendekatan Kolaboratif dalam Mencegah Intoleransi

Menurut laporan Wahid Foundation tahun 2022, terdapat 190 insiden intoleransi yang dilaporkan, yang mencakup pelarangan…

3 hari ago

Jaminan Hukum Kebebasan Beragama bisa Menjamin Toleransi?

Indonesia, dengan kekayaan budaya, agama, dan kepercayaan yang beragam, seharusnya menjadi contoh harmoni antar umat…

4 hari ago

Mencegah Persekusi terhadap Kelompok Minoritas Terulang Lagi

Realitas kekayaan budaya, agama, dan kepercayaan di Indonesia seharusnya menjadi fondasi untuk memperkaya keberagaman, namun…

4 hari ago