Narasi

Puasa; Dari Nalar Konsumtif ke Keadilan Distributif

Allah menganugerahkan bulan Ramadan bagi umat Islam sebagai waktu untuk mengambil jeda dari rutinitas kehidupan yang berorientasi pada keduniaan. Coba bayangkan, jika tidak ada bulan Ramadan, barangkali satu tahun penuh kita akan habiskan untuk bekerja, bekerja dan bekerja. Islam memang menganjurkan umatnya untuk bertebaran di muka bumi (fantashiru fil ardhi) dalam rangka mencari rejeki. Namun, Islam juga mengenal konsep keseimbangan. Maka, ada hadist yang menyebutkan bahwa “bekerja keraslah seolah kita akan hidup selamanya dan beribadahlah secara khusyuk seolah kita akan mati besok”.

Sayangnya, puasa yang diperuntukkan untuk mengambil jeda dari rutinitas keduniaan belakangan justru terkontaminasi oleh nalar konsumtif. Saban bulan Ramadan menjelang, umat Islam justru sibuk merayakan dan menyambutnya dengan euforia yang sifatnya simbolik dan formalistik. Lihat saja, dua hari menjelang puasa, jalanan, tempat wisata, dan tempat perbelanjaan penuh sesak oleh kendaraan dan orang-orang yang ingin menikmati hari-hari terakhir menjelang puasa.

Di satu sisi hal itu positif, karena mendongkrak perekonomian warga. Namun, di titik tertentu harus diakui bahwa hal itu terkesan artifisial dan berlebihan. Terlebih saat ini kita masih ada dalam situasi pandemi yang mengharuskan kita menghindari kerumunan. Nalar konsumtif yang demikian ini ironisnya masih berlanjut saat umat Islam menjalani bulan Ramadan. Di bulan Ramadan, sebagian umat akan disibukkan dengan persoalan-persoalan klise seperti menu sahur, acara buka bersama dan hal-hal sejenisnya. Esensi bulan Ramadan sendiri justru kerap dialpakan.

Euforia umat menyambut bulan Ramadan kiranya bisa dikelola dengan efektif agar tidak hanya berhenti di budaya konsumtif sesaat, namun mampu mewujudkan keadilan distributif. Keadilan distributif ialah konsep keadilan dimana semua orang (kelompok) dimungkinkan untuk menimati kesejahteraan secara merata. Tujuan keadilan distributif ialah memastikan bahwa tidak ada satu kelompok pun yang merasa terdiskriminasi atau termarjinalisasi dalam menikmati kemakmuran.

Dalam konteks bulan Ramadan ini, keadilan distributif sangat penting untuk memastikan semua umat Islam dari segala lapisan bisa menikmati bulan puasa tanpa terganggu oleh persoalan finansial atau ekonomi. Di masa pandemi seperti saat ini tentu banyak umat Islam yang menjalani puasa di tengah himpitan persoalan ekonomi. Jangankan Ramadan, bagi mereka yang tengah kesulitan ekonomi, puasa barangkali sudah menjadi kebiasaan yang dilakukan karena keterpaksaan.

Maka, bulan Ramadan kiranya merupakan momentum untuk melakukan moratorium atas hasrat konsumtif kita yang tidak bisa dikendalikan. Hasrat konsumsi pribadi itu akan lebih bermanfaat kiranya jika disalurkan untuk membantu sesama yang tengah mengalami kesulitan. Jangan sampai, ada sebagian muslim yang di bulan Ramadan ini terganggu kekhidmatannya dalam beribadah lantaran didera persoalan ekonomi. Maka, alih-alih kita menghabiskan uang kita untuk sekadar memenuhi hasrat konsumsi pribadi kita, alangkah lebih baiknya jika kita mengulurkan sebagian rezeki kita kepada yang membutuhkan.

Esens puasa bukanlah sekadar menahan makan, minum dan hawa nafsu. Puasa bukanlah sekadar ibadah transendental-vertikal. Lebih dari itu, puasa ialah mekanisme terap penyucian jiwa (tazkiyatun nafs) dan pendidikan moral (tarbiyatul akhlak) agar menjadi pribadi yang memiliki kesalehan sosial, yakni sikap simpati dan empati terhadap penderitaan orang lain. Bagi kalangan berpunya, puasa ialah sarana untuk merasakan penderitaan kaum papa. Dengan merasakan penderitaan kaum papa itulah diharapkan muncul kesadaran untuk mewujudkan keadilan distributif.

Subtansi puasa bukanlah semata menjalani ritual tahunan nirmakna. Puasa ialah sarana menempa spiritualitas sehingga diharapkan menemukan kesadaran baru. Dalam pandangan al Ghazali puasa ialah upaya menjinakkan nafsu kebinatangan yang akan merevolusi jiwa manusia menuju kesadaran bahwa keimanan, kesetaraan dan solidaritas kemanusiaan ialah bagian tak terpisahkan dari bangunan iman.

Sejalan dengan al Ghazali, Ibn ‘Arabi berpendapat bahwa puasa Ramadan ialah praktik penyucian nurani. Jika nurani bersih, maka cahaya Tuhan akan terpantul di permukannya dan mewujud ke dalam laku kehidupan sosial-keberagamaan. Pantulan cahaya ilahi itu akan tampak dalam perilaku yang berkomitmen pada keadilan dan jauh dari sifat-sifat yang mengarah pada ketidakpedulian. Arkian, kiranya Ramadan 1442 H ini menjadi momentum bagi umat untuk lebih meredam nafsu konsumsi pribadinya dan membangun paradigma keadilan distributif.  

This post was last modified on 14 April 2021 10:28 AM

Desi Ratriyanti

Recent Posts

Revitalisasi Sumpah Pemuda dalam Ketahanan Digital

Di tengah gelombang perubahan global yang tak terelakkan, yang dihadirkan oleh revolusi industri 4.0 dan…

15 jam ago

Digitalisasi Sumpah Pemuda; Menjadikan TikTok Sebagai Aparatus Ideologi

Jika ditanya, apa media sosial paling populer bagi gen Z dan gen Alpha, maka jawabannya…

15 jam ago

Ketika Eks Napi Teroris Membumikan Semangat Sumpah Pemuda

  Bagi para eks napi teroris di Republik ini, Sumpah Pemuda bukanlah ikrar pertama mereka.…

15 jam ago

Era Disrupsi, Radikalisme, dan Kasunyatan

Terdapat sebuah kearifan lokal, dalam hal ini kejawen, tentang sebentuk dasar epistemologis yang disebut sebagai…

1 hari ago

Ketika Sumpah Pemuda Diuji di Dunia Digital

“Persatuan hari ini tidak lagi diuji di medan perang, melainkan di ruang digital, tempat algoritma…

1 hari ago

Generasi Scroll Culture; Meng-Endorse Sumpah Pemuda di Jagat Maya

Hari ini, Sumpah Pemuda itu tinggal sejarah. Tertulis di banyak buku tapi jarang dijamah. Tergambar…

1 hari ago