Bullying alias perundungan merupakan salah satu problem sosial di linkungan anak-anak yang sampai hari ini belum terselesaikan. Kesadaran untuk mencegah bullying memang kian tinggi, baik di kalangan orang tua, pendidik, dan masyarakat umum. Meski demikian, perundungan masih saja terjadi, dan mirip seperti fenomena gunung es.
Di lapangan, perundungan bisa diklasifikasikan ke dalam banyak macam. Mulai dari perundungan karena bentuk tubuh (body shaming), perundungan karena warna kulit, sampai perundungan karena identitas agama (religious bullying). Fenomena religious bullying ini merupakan momok yang kerap menghantui relasi antar-agama di kalangan anak.
Di lapangan, religious bullying mewujud dalam banyak praktik. Mulai dari humor verbal yang menyiggung identitas agama, labelisasi negatif terhadap penganut agama tertentu, sampai yang lebih parah adalah eksklusi alias pengucilan sosial terhadap anak yang berlatar belakang agama minoritas. Korban paling banyak dari fenomena religious bullying ini tentunya adalah kelompok non-muslim sebagai minoritas.
Namun, tidak jarang anak beragama Islam pun tidak luput dari sasaran perundungan. Misalnya, anak perempuan muslim yang tidak mengenakan jilbab kerap dirundung teman-temannya dan dikucilkan dari pergaulan karena dianggap bukan Islam. Kasus yang demikian ini sangat sering terjadi di lingkungan sekolah maupun lingkungan tempat tinggal.
Ironisnya, masyarakat kerap kali menormalisasi tindakan perundungan tersebut. Dalih yang kerap dipakai adalah bahwa mereka masih anak-anak dan itu hanyalah bentuk candaan semata. Sikap menormalisasi perundungan ini tentu membuat kasus bullying kian marak dan membentuk lingkaran setan yang sukar diputus.
Lebih spesifik dalam konteks keagamaan, perundungan berlatar agama akan berdampak pada kedua belah pihak. Baik pelaku maupun korban. Pelaku perundungan akan merasa diri superior dan jemawa. Praktik bullying yang ia lakukan akan menumbuhkan embrio intoleransi, bahkan radikalisme. Pendek kata, anak pelaku bullying berpotensi terjebak dalam paham radikal ketika dewasa.
Sedangkan korban religious bullying akan mengalami trauma psikis dan berpotensi kehilangan kebanggaan terhadap identitas agamanya. Krisis keberagamaan ini juga rawan mendorong korban bullying untuk membalas dendam ketika ia memiliki kesempatan dan kekuatan. Sejarah telah mencatat bahwa para kebanyakan diktator bertangan besi itu memiliki masa lalu sebagai korban bullying di masa anak-anak.
Ini artinya, baik pelaku maupun korban religious bullying, keduanya berpotensi untuk terjerumus dalam radikalisme agama di kemudian hari. Maka, mencegah religious bullying pada dasarnya adalah menutup pintu masuk radikalisme sejak dini. Lantas, bagaimana langkah untuk mencegah perundungan berlatar identitas agama ini?
Langkah pertama, dalam lingkup yang paling kecil yakni keluarga, anak-anak harus ditanamkan sejak dini tentang sikap menghargai orang lain. Cak Nun pernah mengatakan dalam ceramahnya bahwa kita boleh longgar dalam hal akademik terhadap anak, namun tidak untuk sikap menghargai orang lain. Dalam poin ini, Cak Nun mengatakan bahwa kita tidak boleh menoleransi sedikit pun jika anak menunjukkan gejala mudah merendahkan orang lain.
Petuah Cak Nun ini relevan dengan realitas kekinian dimana sebagian besar orang tua cenderung ambisius dalam hal capaian akademik anak. Orang tua rela mengeluarkan uang banyak untuk membayar sekolah mahal dan les-les lainnya, dengan harapan secara akademik anak memiliki prestasi yang membanggakan. Ironisnya, orang tua kerap abai untuk berinvestasi pada pembentukan pola pikir anak agar moderat dan inklusif.
Orang tua sibuk membangun kemampuan kognitif anak, namun abai pada dimensi psikomotorik. Sederhananya, orang tua hanya berorientasi pada kecerdasan intelektual, namun acap lupa bahwa kecerdasan sosial dan emosional anak itu tidak kalah pentingnya.
Langkah kedua, dalam lingkup sekolah, penting kiranya membangun habitus toleransi di kalangan guru dan siswa. Pelajaran terkait toleransi idealnya tidak hanya diajarkan sebatas pada teori, namun lebih efektif melalui praktik secara langsung. Kunjungan ke tempat ibadah agama lain dan berdialog dengan pemeluk agama lain akan jauh memberikan pengalaman keragaman pada anak ketimbang jejalan teori di dalam kelas.
Kita patut mengapresiasi sejumlah sekolah yang memiliki program outing class dengan mengunjungi tempat ibadah agama lain. Bahkan, ada sekolah yang memiliki progam live in, dimana anak didik menginap di rumah orang yang berbeda agama. Praktik pendidikan semacam ini akan memberikan pengalaman yang tidak akan terlupakan bagi anak didik.
Pegiat pluralisme asal Afrika, Uskup Desmond Tutu dalam pidato penghargaan Nobel Perdamaian tahun 1984 menyebutkan bahwa sikap empati terhadap kelompok lemah dan tertindas itu hadir melalui pengalaman langsung. Pengalaman menjadi minoritas dan mendapat perlakuan diskriminatif menumbuhkan kesadaran dalam dirinya untuk melawan segala bentuk ketidakadilan.
Langkah ketiga, dalam konteks yang lebih luas, yakni masyarakat penting kiranya membangun kesadaran untuk tidak menormalisasi perundungan, terutama yang berlatar agama. Mendidik anak memang tanggung jawab orang tua. Namun, masyarakat tentu punya tanggung jawab untuk membangun ekosistem sosial yang inklusif. Tanpa ekosistem sosial yang inklusif, apa yang orang tua ajarkan di rumah dan guru ajarkan di sekolah tidak akan berarti banyak.
“Allah,” ucap seorang anak di sela-sela keasyikannya berlari dan berbicara sebagai sebentuk aktifitas kemanusiaan yang…
Di era digital, anak-anak tumbuh di tengah derasnya arus informasi, media sosial, dan interaksi virtual…
Di tengah perkembangan zaman yang serba digital, kita tidak bisa lagi menutup mata terhadap ancaman…
Perkembangan digital telah mengubah banyak aspek kehidupan manusia, terutama pada masa remaja. Fase ini kerap…
Didiklah anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka tidak hidup di zamanmu. Kutipan masyhur dari Sayyidina…
Di era digital yang terus berkembang, anak-anak semakin terpapar pada berbagai informasi, termasuk yang bersifat…