Editorial

Waspada “Post-Organizational Terrorism” : Memahami Varian Baru Kekerasan dari Tragedi SMAN 72 Jakarta

Kasus peledakan di SMAN 72 Jakarta telah mengguncang kesadaran publik sekaligus membuka kewaspadaan dari lahirnya varian baru kekerasan di Indonesia. Lebih dari sekadar insiden tragis, peristiwa ini seolah menandai lembar baru dalam evolusi ancaman terorisme di Indonesia.

Densus 88 memang telah  menegaskan kasus peledakan di SMAN 72 bukan merupakan tindakan terorisme, tetapi kasus kriminal murni yang dilakukan oleh seorang Anak Berkonflik Hukum (ABH) berinisial F. Parameternya cukup jelas karena tidak kaitan dengan jaringan dan doktrin yang berafiliasi dengan organisasi terorisme.

Meskipun demikian, mantan Kapolri Jenderal (Purn) Dai Bachtiar menyebut kasus ini lebih berbahaya dibandingkan terorisme konvensional (Kompas, 12/11). Pandangan ini tentu bukan tanpa alasan mengingat aksi tersebut memperlihatkan wajah baru kekerasan yang menggunakan teror yang lahir bukan dari ideologi keagamaan, melainkan dari doktrin ideologis longgar yang tersebar di ruang digital dengan pandangan semisal ultra-konservatisme, supremasi rasial, dan glorifikasi kekerasan.

Terorisme konvensional selama dua dekade terakhir dikenal memiliki struktur yang relatif teratur. Ia memiliki doktrin, jaringan, rekrutmen sistematis, hingga tujuan politik yang jelas. Dari Al-Qaeda hingga ISIS, terorisme berbasis agama memanfaatkan interpretasi ekstrem terhadap teks suci untuk memobilisasi aksi kekerasan.

Namun, kasus di SMAN 72 menunjukkan bentuk ancaman yang berbeda. Pelaku diduga tidak tergabung dalam jaringan mana pun, tidak memiliki afiliasi ideologis formal, dan tidak mengusung tuntutan politik tertentu. Ia lebih menyerupai lone actor—pelaku tunggal yang terinspirasi oleh simbol-simbol ekstremis global melalui media digital. Keterangan aparat bahwa pelaku sering mengakses dark web berisi tontonan dan ideologi kekerasan mengonfirmasi hipotesis ini.

Di dunia Barat, tentu saja, fenomena ini bukan hal baru. Kasus Brenton Tarrant, pelaku penembakan masjid di Christchurch, Selandia Baru (2019), maupun Alexandre Bissonnette di Kanada (2017), menunjukkan pola serupa: pelaku muda, aktif di dunia maya, dan terpapar ideologi kebencian melalui platform daring. Mereka menyerap narasi kekerasan tanpa keterlibatan organisasi formal, namun tetap memproduksi tindakan yang sangat destruktif.

Inilah yang oleh para peneliti keamanan disebut sebagai post-organizational terrorism — violent extremism ; suatu bentuk teror yang tak lagi bergantung pada struktur hierarkis, melainkan tumbuh di ruang ideologis cair, tersebar, dan anonim di yang difasilitasi internet.

Dalam konteks Indonesia, fenomena ini menjadi tantangan baru. Negara selama ini fokus pada deradikalisasi berbasis jaringan keagamaan dan pengawasan terhadap organisasi terlarang. Pendekatan tersebut efektif menekan aksi kelompok ekstremis tradisional, tetapi tidak cukup menghadapi varian baru yang lebih sulit dideteksi.

Anak muda yang terpapar ideologi ekstrem di dunia digital tidak selalu menunjukkan gejala ekstrem secara sosial. Ia bisa berasal dari keluarga biasa, berprestasi di sekolah, dan tampak normal di lingkungan sosialnya. Namun, di ruang virtualnya, ia mungkin larut dalam komunitas yang mengagungkan kekerasan, memainkan first-person shooter games yang mendramatisasi pembunuhan, atau menonton konten propaganda supremasi kulit putih yang tersebar bebas di media sosial.

Dalam perspektif psikologi sosial, misalnya Bandura, perilaku manusia banyak dipelajari melalui observasi dan imitasi terhadap model yang dianggap “keren”, “kuat”, atau “heroik.” Ketika anak atau remaja terus-menerus menyerap konten kekerasan, mereka dapat mengalami “desensitisasi moral atau penurunan empati terhadap penderitaan orang lain dan peningkatan penerimaan terhadap kekerasan sebagai bentuk ekspresi diri.

Dalam ruang digital yang tanpa batas, batas antara realitas dan fantasi menjadi kabur. Kekerasan dalam game atau video ekstrem bisa berubah menjadi imajinasi nyata tentang “kepahlawanan” yang salah arah. Jika pelaku di SMAN 72 membawa senjata mainan seolah ia sedang bermain game peperangan dengan nuansa heroik.

Di sinilah pentingnya kewaspadaan baru kita tentang varian baru kekerasan dengan metode teror ini walaupun secara hukum belum dikategorikan sebagai tindakan pidana terorisme. Kekerasan  seperti ini, yang dalam kacamata akademis disebut dengan “Post-Organizational Terrorism”  dalam konteks Indonesia, tak lagi bisa dilawan hanya dengan pendekatan aparat keamanan. Ia menuntut kesadaran kolektif lintas sektor: terutama pendidikan keluarga, satuan pendidikan formal, masyarakat sipil, dan platform digital.

Keluarga harus menjadi tempat yang hangat, sementara sekolah harus berperan sebagai ruang literasi kritis yang membekali pelajar dengan kemampuan memilah informasi dan memahami bahaya ideologi ekstrem. Ini kuncinya : orang tua harus aktif bertanya dan berdialog tentang aktivitas daring anak-anaknya, terutama terkait konten game dan media sosial yang diakses.

Dalam skala nasional, pemerintah, nampaknya, perlu kembali menghidupkan kembali narasi kepahlawanan yang konstruktif. Kepahlanawan bangsa ini sudah mulai rapuh sehingga digantikan oleh heroisme destruktif yang memukau anak-anak muda saat ini. Kepahlawanan tidak melulu masalah perang kemerdekaan. Kepahlawan bisa diperluas tentang nilai kemanusiaan, empati, dan solidaritas sosial.

Terakhir, Indonesia memiliki pengalaman panjang menghadapi terorisme, dari Bom Bali hingga serangan di rumah ibadah, perkantoran, pusat perbelanjaan dan fasilitas publik lainnya. Namun, ancaman yang kini muncul lebih halus dan tersembunyi. Ia tidak membutuhkan bahan peledak besar, cukup dengan ide yang salah arah dan dunia digital tanpa kontrol.

Tantangan terbesarnya adalah terorisme masa depan mungkin tidak lagi meledakkan bom di tempat umum, tetapi meledakkan kesadaran anak-anak kita melalui layar ponsel dan komputer. Inilah poin atensi dan kewaspadaan kita bersama.

This post was last modified on 13 November 2025 4:17 PM

Abdul Malik

Redaktur pelaksana Pusat Media Damai BNPT

Recent Posts

Urgensi Sekolah Damai: Benteng Terakhir di Tengah Gelombang Intoleransi, Perundungan dan Kekerasan Pelajar

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), beberapa tahun terakhir aktif menyelenggarakan program “Sekolah Damai” di berbagai daerah. Meski…

5 jam ago

Bullying dan Kekesan di Sekolah : Bagaimana Menghadapinya?

Kekerasan dan bullying di lingkungan sekolah telah menjadi masalah yang semakin mendapat perhatian dalam beberapa…

7 jam ago

Membaca Anatomi Radikalisme; Dari Gawai ke Tragedi Ledakan di SMAN 72

Tragedi ledakan yang terjadi di SMAN 72 Jakut, Jumat lalu (7/11/2025), menyisakan kepedihan mendalam bagi…

7 jam ago

Xenophobia, Chauvinisme, dan Racun Nasionalisme

Nasionalisme, pada esensinya, adalah sebuah kekuatan pembebas. Paham ini pertama kali muncul di Eropa pada…

1 hari ago

Saat Bullying Bertemu Ideologi Kebencian; Bahaya Laten yang Harus Diwaspadai!

Ledakan bom rakitan yang mengguncang SMAN 72 Jakarta pada 7 November 2025 mengejutkan banyak pihak.…

1 hari ago

Ideologi Agnostik Media Sosial: Ketika Ideologi Ekstrem Bersembunyi di Balik Layar Gawai

Ledakan yang mengoyak ketenangan SMAN 72 pada 7 November lalu bukan sekadar berita kriminal. Ia…

1 hari ago