Narasi

Waspai Ideologi HTI: Bagaimana Perempuan Muslim Menjadi Komoditi Kelompok Radikal di Media Sosial?

Belum lama ini, saya membaca kembali buku The Death of Expertise karya Tom Nichols. Buku ini menggarisbawahi fenomena kaburnya otoritas kepakaran di era serba media. Di masa ini “sumber kebenaran” seolah-olah ada di mana-mana. Betapa tidak, teknologi komunikasi memicu ledakan sirkulasi informasi yang belum pernah sedahsyat sekarang. Masalah muncul ketika pengetahuan yang membutuhkan penalaran mendalam diringkas menjadi konten audio-visual kurang dari 60 detik. Di platform seperti TikTok, nalar kritis terancam tumpul oleh akselerasi informasi yang sering kali berupa misinformasi atau bahkan hoaks. Ini tentu menjadi tantangan besar, apalagi ketika misinformasi menyebar lebih cepat daripada klarifikasi.

Di tengah dinamika ini, perempuan Muslimah yang terjun ke dunia aktivisme menemukan ruang baru di media sosial. TikTok, Instagram, dan YouTube menjadi wadah ekspresi dan ajang berbagi gagasan. Namun, bersama dengan peluang itu, muncul bayang-bayang kelompok radikal yang menyusup lewat konten dengan selubung ideologi tertentu.

Menggunakan konten-konten audio-visual yang memikat, kelompok-kelompok ini tampaknya berhasil memanipulasi emosi melalui narasi “perjuangan” yang menyentuh hati, walau jika ditinjau dengan lebih kritis ia justru mendistorsi konsep jihad dan nilai-nilai religius lainnya. Dalam sejumlah video singkat yang sempat saya temukan di media sosial, mereka mengemas gagasan radikal dengan estetika visual dan bahasa sehari-hari yang menarik. Bahkan sering kali konten-kontennya disertai musik latar emosional—strategi efektif untuk menggugah minat tanpa memberi ruang bagi refleksi kritis. Pada gilirannya, banyak perempuan Muslimah muda yang merasa terdorong untuk berkontribusi dalam perubahan sosial dan keadilan melalui aktivisme digital, namun tanpa sadar justru berpeluang terjebak dalam narasi ekstrem.

Memang, platform media sosial efektif dalam menyederhanakan isu-isu berat, seperti solidaritas atau pembelaan terhadap kaum tertindas. Namun, isu-isu yang kompleks ini sering kali dipersempit ke dalam wacana sederhana yang dapat mengaburkan perbedaan antara aktivisme yang benar-benar memperjuangkan keadilan dengan ideologi radikal yang terselubung.

Akun Muslimah News ID di Instagram, misalnya, dapat menjadi contoh kasus tentang bagaimana narasi ideologis dibentuk di media sosial. Akun ini menyajikan beragam konten seputar isu keislaman dengan pendekatan emosional, mengangkat isu-isu seperti penderitaan umat Muslim atau kritik terhadap kebijakan politik. Meskipun konten ini dapat meningkatkan kesadaran sosial, penyederhanaan dan framing yang berlebihan bisa menjebak audiens dalam pemahaman yang kurang kritis.

Lihat saja unggahan konten Muslimah News ID. Akun ini seringkali memuat narasi “kita vs mereka” yang dapat menimbulkan pandangan eksklusif. Pola narasi ini umum dalam strategi propaganda digital, yang mengedepankan efek emosional dan memanfaatkan algoritma untuk memperluas jangkauan.

Kasus akun seperti Muslimah News ID sebetulnya mudah sekali ditemui di media sosial belakangan ini. Fenomena ini sedkitnya menunjukkan bahwa aktivisme digital bagi perempuan Muslimah adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, media sosial adalah kanal informasi alternatif bagi perempuan yang ingin memahami isu-isu Islam dan sosial. Namun, narasi yang tidak seimbang atau minim konteks bisa menumbuhkan persepsi yang tidak sejalan dengan prinsip Islam yang inklusif, rahmatan lil ‘alamin. Ketika narasi ekstrem berbaur dengan keprihatinan sosial yang tulus, keterlibatan perempuan Muslimah di media sosial berpotensi berbelok arah jika tidak dilengkapi dengan kemampuan berpikir kritis dan pengetahuan mendalam.

Untuk diketahui, kelompok radikal kerap menargetkan perempuan Muslimah karena mereka dianggap dapat berperan besar dalam penyebaran nilai-nilai. Selain itu, kelompok ini mahir menyesuaikan pesan agar sesuai dengan platform yang digunakan. Di TikTok misalnya, algoritma mempromosikan konten dengan tingkat interaksi tinggi, memungkinkan video radikal lebih sering muncul di layar pengguna yang tertarik pada isu Islam atau keadilan sosial. Strategi ini secara tidak langsung memengaruhi cara perempuan Muslimah mengkonsumsi dan menyebarkan informasi, serta menjadikan aktivisme mereka sebagai alat propaganda dalam lingkaran ekstremisme.

Namun, jerat ini bukan berarti perempuan Muslimah harus menjauh dari media sosial. Justru, ini adalah kesempatan untuk membangun pemahaman kritis dan keterampilan memilah informasi. Para aktivis digital dapat mengambil langkah proaktif dengan menyuarakan pandangan moderat yang berlandaskan nilai-nilai toleransi dan perdamaian. Mereka juga bisa bekerjasama dengan komunitas yang memiliki visi serupa untuk melawan penyebaran konten radikal. Beberapa komunitas perempuan Muslimah, misalnya, telah memulai program literasi digital yang membantu para perempuan muda mengidentifikasi dan menghindari konten manipulatif. Selain itu, komunitas Islam yang mempromosikan nilai rahmatan lil ‘alamin harus lebih proaktif dalam menyajikan konten yang menarik namun berbasis pada nilai damai dan persatuan.

Peningkatan literasi media menjadi sangat penting. Di tengah derasnya konten yang disajikan oleh akun setamsil Muslimah News ID, setiap individu perlu mengasah keterampilan untuk mempertimbangkan apakah suatu narasi memperkuat nilai keislaman yang damai atau malah berpotensi memperlebar segregasi. Dengan memahami sejarah, konteks, dan dampak dari ideologi yang disisipkan secara halus, perempuan Muslimah yang aktif di media sosial bisa menjadi filter bagi dirinya sendiri dan lingkungannya, serta menghindari jebakan kelompok radikal.

Wa ba’du, media sosial hanyalah alat; dampaknya tergantung pada bagaimana kita menggunakannya. Muslimah yang aktif di ruang digital memiliki peran penting dalam mengarahkan arus informasi ke arah yang benar. Melalui pemahaman kritis dan komitmen terhadap nilai-nilai universal, mereka dapat menjadi benteng dan inspirasi, melawan jerat kelompok radikal yang menyusup di media sosial.

Yasmeen Mumtaz

Recent Posts

Ketika Budaya Populer Dijadikan Media Radikalisasi; Bagaimana Mencegahnya?

Budaya populer merupakan bagian penting dari kehidupan sehari-hari yang mencakup film, musik, media sosial, fashion,…

24 jam ago

Menyelamatkan Indonesia dari Mistifikasi Agama

Banyak survei internasional mengakui bahwa Indonesia lekat nilai-nilai religius dalam setiap denyut nadi warganya. Hampir…

1 hari ago

Rebranding FPI dan HTI; Dari Gerilya Digital ke Budaya Populer

Sebagai sebuah ideologi dan gerakan, FPI dan HTI harus diakui memang punya tingkat resiliensi yang…

2 hari ago

Temu Muslimah Muda 2024; Aktivisme Perempuan dalam Pusaran Ideologi Transnasional

Temu Muda Muslimah 2024 yang digelar di Palembang kiranya dapat dibaca dari dua sisi. Di…

2 hari ago

Adaptasi Sub-Kultur Stand Up Comedy oleh Eks-HTI; Sebuah Pembacaan Kritis

Menarik membaca manuver eks-HTI pasca organisasi itu dibubarkan. Salah satu pentolan eks-HTI, Felix Shiaw mengatakan…

2 hari ago

Heroisme Digital: Kepahlawanan Melawan Ekstremisme Agama di Era Digital

Hari Pahlawan adalah momen untuk mengenang dan melanjutkan semangat juang para pahlawan bangsa dalam konteks…

5 hari ago