Narasi

Kekerasan Performatif; Orkestrasi Propaganda Kebencian di Ruang Publik Digital

Dalam waktu yang nyaris bersamaan, terjadi aksi kekerasan berlatar isu agama. Di Sukabumi, kegiatan retret di sebuah rumah singgah diserang sekelompok massa. Meski tidak ada korban jiwa, namun massa kadung merusak fasilitas rumah singgah tersebut.

Di Padang, kegiatan sekolah Kristen untuk anak yang diadakan di sebuah Rumah Doa diserbu massa. Massa yang beringas merusak bangunan dan menyerang anak-anak. Dua anak dirawat dirumah sakit akibat luka-luka. Sementara di Pemalang, dua ormas Islam yang berseberangan terlibat bentrok fisik yang melukai belasan warga dan sejumlah aparat keamanan.

Massa Perjuangan Walisongo Indonesia Laskar Sabilillah yang berniat membubarkan pengajian Rizieq Shihab bentrok dengan massa Front Pembela Islam yang mengawal ceramah pemimpin mereka. Acara keagamaan memperingati bulan Muharam itu pun berubah menjadi kekacauan massa.

Rekaman video ketiga peristiwa kekerasan itu ramai beredar di media sosial. Suara teriakan beringas pelaku, ditambah jerintan kengerian korban bercampur menjadi satu. Menghadirkan perasaan tidak menyenangkan bagi yang melihatnya. Di media sosial, rekaman kekerasan menjadi konsumsi publik luas, termasuk anak-anak.

Jika dibaca dari perspektif sosiologi, kekerasan berlatar agama yang terjadi di Sukabumi, Padang, dan Pemalang tergolong sebagai ekspresi atau wujud kekerasan permormatif (performative violence). Yaitu jenis kekerasan yang dilakukan secara sengaja, terencana, dan terstruktur, dengan tujuan atau maksud tertentu.

Tujuan itu antara lain, membangun identitas kelompok, menyampaikan pesan pada kelompok lain atau publik, dan memobilisasi massa untuk melakukan tindakan serupa. Kekerasan performatif bukan muncul karena emosi sesaat atau pelampiasan perasaan secara acak, melainkan lebih sebagai tindakan yang dirancag cermat untuk mencapai tujuan tertentu. Entah itu tujuan politis, sosial, atau budaya.

Di era media sosial, kekerasan performatif, sesuai dengan namanya cenderung dikemas sebagai sebuah pertunjukan. Ada semacam pembagian peran di sana. Ada yang bertugas memprovokasi dengan teriakan, ada yang mengeksekusi korban, dan ada yang mendokumentasikan lalu menyebarkan di media sosial. Kekerasan diatur sedemikian rupa sehingga bisa sampai ke khalayak sebagai sebuah tontonan pertunjukan.

Tujuannya bermacam-macam. Dalam konteks kekerasan di Sukabumi dan Padang misalnya, pesan yang ingin disampaikan pun tidak jauh dari upaya membangun identitas, mengirimkan pesan, dan mempengaruhi massa. Tujuan membangun identitas itu tampak pada sasaran yang khas, yakni kelompok minoritas Kristen.

Penyerangan terhadap komunitas Kristen secara tersirat menunjukkan upaya menarik garis batas yang tebal antara umat Islam dan Kristen. Bahwa kedua kelompok ini memiliki identitas yang berbeda dan tidak akan pernah bisa menyatu.

Tujuan mengirimkan pesan juga tampak pada pola-pola persekusi yang khas, dimana massa datang bergerombol, membawa alat kekerasan, dan meneriakkan beragam ungkapan sektarian. Pola kekerasan yang seperti itu bertujuan mengirimkan pesan pada kelompok minoritas bahwa posisi mereka tengah terancam. Juga pesan bahwa penguasa ruang publik itu adalah kaum mayoritas.

Sedangkan tujuan mempengaruhi persepsi publik itu tampak pada ungkapan-ungkapan kebencian yang diteriakkan para pelaku kekerasan. Hal itu rawan dibacan sebaga sebuah ajakan bagi umat Islam untuk melakukan hal serupa.

Artinya, kekerasan performatif ini merupakan bagian dari skenario propaganda kebencian dan permusuhan yang sistematis dan terstruktur. Target mereka tidak acak, selalu kaum minoritas terutama Kristen yang dipandang sebagai musuh besar Islam. Pola mereka selalu sama, yakni pengerahan massa langsung saat kegiatan agama lain. Modus yang dipakai pun sama, merusak bangunan dengan brutal. Pertanyannya, siapa paling diuntungkan dari fenomena kekerasan performatif ini?

Siapa lagi jika bukan kaum radikal. Mereka lah yang paling berkepentingan mengadu-domba sesama anak bangsa melalui isu apa pun. Terlebih isu agama. Kekacauan sosial adalah situasi yang paling diinginkan oleh kelompok radikal. Tersebab, hanya dalam situasi chaos, ideologi kekerasan sebagai komoditas gerakan radikal akan menyebar secara organik.

Maka, kita harus mencegah ekspose kekerasan performatif yang membanjiri ruang publik digital kita hari ini. Cara paling mudah adalah tidak men-share segala konten kekerasan, apalagi video-video rekaman yang menggambarkan detik-detik persekusi keagamaan. Karena hal itu bisa memicu kelompok lain melakukan hal yang sama, atau pun dapat memunculkan gerakan balas dendam.

Semakin viral video kekerasan atau persekusi kelompok minoritas, maka kekerasan performatif sebagai agenda kelompok tertentu itu akan semakin mendekati tujuannya. Maka, membatasi penyebaran video dan konten kekerasan pada dasarnya adalah mencegah kekerasan performatif itu meluas dan mempengaruhi persepsi publik.

Di tengah viralnya video rekaman kekerasan berlatar agama, kita perlu mengarusutamakan narasi perdamaian dan persaudaraan di media sosial. Narasi perdamaian harus mampu mendominasi algoritma media sosial kita. Sehingga tidak ada lagi ruang bagi propaganda kebencian melalui kekerasan performatif.

Nurrochman

Recent Posts

Mengapa Ormas Radikal adalah Musuk Invisible Kebhinekaan?

Ormas radikal bisa menjadi faktor yang memperkeruh harmoni kehidupan berbangsa serta menggerogoti spirit kebhinekaan. Dan…

3 jam ago

Dari Teologi Hakimiyah ke Doktrin Istisyhad; Membongkar Propaganda Kekerasan Kaum Radikal

Propaganda kekerasan berbasis agama seolah tidak pernah surut mewarnai linimasa media sosial kita. Gejolak keamanan…

3 jam ago

Merawat Persatuan, Meredam Bara di Tengah Fanatisme Golongan

Peristiwa bentrokan antar kelompok yang terjadi di Pemalang, Jawa Tengah dan Depok, Jawa Barat beberapa…

3 jam ago

Apakah Ada Hadis yang Menyuruh Umat Muslim “Bunuh Diri”?

Jawabannya ada. Tetapi saya akan berikan konteks terlebih dahulu. Saya tergelitik oleh sebuah perdebatan liar…

1 hari ago

Persekusi Non-Muslim: Cerminan Sikap Memusuhi Nabi

Belum kering ingatan kita tentang kejadian pembubaran dengan kekerasan terhadap retreat pelajar di Sukabumi, beberapa…

1 hari ago

Tabayun, Disinformasi, dan Konsep Bom Bunuh Diri sebagai Doktrin Mati Syahid

Dalam era digital yang serba cepat dan terbuka ini, arus informasi mengalir begitu deras, baik…

1 hari ago