Narasi

Zakat Fitrah; Jihad Harta demi Membangun Jembatan Toleransi Beragama

Ramadan 1445 H akan segera berlalu. Umat Islam bersikap menyambut Idul Fitri, hari kemenangan. Salah satu ritual jelang Idul Fitri adalah membayar zakat fitrah. Zakat fitrah disyariatkan sejak tahun kedua Hijriah, berbarengan dengan diwajibkannya puasa bukan Ramadan.

Zakat fitrah adalah kewajiban bagi setiap individu muslim yang mampu sebagai manifestasi ketundukan pada Allah dan sikap empati pada sesama. Zakat fitrah adalah sarana penyucian bisa. Setelah sebulan penuh berpuasa, melainkan amal kebaikan, lantas dipungkasi dengan membayar fitrah, maka seorang muslim telah siap kembali ke kondisi fitri alias suci.

Secara sosiologis, praktik zakat baik mal dan fitrah merupakan manifestasi dari toleransi yang sesungguhnya. Dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat, toleransi itu bukan sekadar diteorikan atau diwacanakan saja, namun dipraktikkan secara nyata melalui komitmen untuk peduli terhadap orang lain. Toleransi tanpa komitmen kepedulian sama saja dengan toleransi palsu.

Hakikat zakat pada dasarnya bukan mengurangi harta kita atas dasar berbelas kasihan pada orang lain. Bukan! Zakat yang kita keluarkan itu memanglah hak para penerima zakat. Jika tidak dikeluarkan, maka ia akan mengotori harta kita. Jika harta kita kotor, niscaya nurani dan jiwa kita pun akan menjadi keruh dan gagal menangkap cahaya keilahian.

Maka, zakat fitrah yang kita keluarkan itu hakikatnya adalah hak para fakir miskin dan mustahiq lainnya. Jika merujuk pada pendlat Madjid Khadduri, zakat adalah manifestasi jihad tanpa kekerasan, yakni jihad dengan harta benda untuk kemaslahatan umat manusia.

Di era ketika umat Islam hidup damai tanpa ada peperangan jihad fisik tentu tidak relevan. Saat ini, musuh atau ancaman umat Islam bukanlah kolonialisme atau penjajahan, melainkan kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan.

Semua problem itu kiranya bisa diurai dengan mengelola potensi penerimaan zakat yang sangat besar. Jika dikelola secara profesional, zakat sangat potensial menjadi modal finansial untuk menyelesaikan problem keumatan tersebut.

Zakat Sebagai Sarana Transformasi Sosial

Selain itu, zakat fitrah juga bisa menjadi sarana memperkuat kerukunan umat. Salah satu keutamaan zakat fitrah adalah membayarkannya pada mustahiq yang sewilayah atau selingkungan tempat tinggal.

Paling utama kita mengeluarkan zakat fitrah adalah ke orang yang kita kenal seperti keluarga, kerabat, atau tetangga yang berhak.Hal ini akan menguarkan persaudaraan sesama muslim di lingkungan atau wilayah tersebut. Selain itu, jika suatu saat seluruh umat Islam sudah sejahtera dan tidak berhak menerima zakat, maka zakat fitrah atau mal bisa disalurkan ke golongan non muslim.

Dalam Mazhab Syafi,i memang ada larangan menyalurkan zakat ke golongan selain Islam. Namun, mazhab lain seperti Hanafi dan Hambali memperbolehkan zakat fitrah dan mal disalurkan ke umat agama lain. Sepanjang tidak ada umat Islam di wilayah tersebut yang masih berhak menerima zakat.

Penyaluran zakat ke golongan non muslim kiranya bisa menjadi jembatan toleransi antaragama. Seperti dijelaskan di atas, toleransi idealnya selalu berbanding lurus dengan kepedulian. Bangunan toleransi yang dibangun di atas komitmen kepedulian sosial akan kuat dan bertahan lama. Sebaliknya, toleransi yang dilandasi keterpaksaan akan rapuh dari dalam.

Sebagai negara muslim terbesar kedua di dunia setelah Pakistan, Indonesia tentu punya potensi zakat yang sangat besar. Jika dikelola dengan baik, zakat bisa menjadi katalisator transformasi sosial. Zakat bisa menjadi sarana distribusi kesejahteraan satu golongan ke golongan lain.

Data menunjukkan bahwa potensi zakat fitrah di Indonesia mencapai —-. Belum lagi menghitung jumlah zakat mal, atau pun sedekah, infaq, hibah, dan sebagainya yang jika dikalkulasi jumlahnya bisa sangat fantastis. Sekali lagi, jika dikelola dengan baik zakat, infaqz dan sedekah kiranya bisa menjadi katalisator transformasi sosial.

Transformasi sosial melalui mekanisme distribusi kesejahteraan inilah yang akan menggukriakn perubahan dengan jalan damai alias non kekerasan. Islam adalah agama yang mendorong terjadinya perubahan atau transformasi. Namun, Islam sangat anti pada perubahan yang mengadaptasi praktik kekerasan. Di dalam Islam, perubahan sosial harus berjalan beriringan dengan terjaganya perdamaian.

Arkian, di penghujung sisa Ramadan ini, mari kita tunaikan zakat sebagai bentuk penyucian jiwa sekaligus bagian dari membangun jembatan toleransi. Zakat harus dipahami sebagai jihad harta benda untuk mewujudkan kehidupan bersama yang lebih adil, sejahtera, dan damai.

Nurrochman

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

9 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

9 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

9 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

9 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

1 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

1 hari ago