Narasi

Abu Janda dan Fenomena Rasisme yang Berantai di Dunia Maya

Permadi Arya atau familiar dengan nama Abu Janda yang dikenal di ruang publik sebagai aktivis sosial media saat ini sedang dipolisikan karena “diduga” melakukan tindakan rasisme terhadap Natalius Pigai. Melalui sebuah twit sindiran di akun Twitter pribadinya yang mempertanyakan kapasitas Natalius Pigai. Lalu membuntuti sebuah pertanyaan dalam potongan twit tersebut  “Sudah selesai evolusi belom kau? Dari kata “evolusi” inilah Permadi Arya dilaporkan oleh DPP KNPI sebagai tindakan rasisme. Karena kita ketahui, rasisme dan intoleransi sejatinya akar rumput serta biang-kerok perpecahan dan dis-harmoni bangsa ini.

Tentu kita harus melihat lebih jauh di balik fenomena tindakan rasisme itu terjadi. Melihat sekaligus memahami kronologi awal penyebab di balik tindakan rasisme yang dilakukan Permadi Arya atau Abu Janda tersebut. Karena jika kita amati lebih dalam, tindakan rasisme tersebut sejatinya “berantai”. Berawal dari saling sindir-menyindir di dunia maya. Hingga berujung kepada kebencian dan berakhir ke dalam sebuah tindakan rasisme yang sangat disayangkan.

Tindakan rasisme yang dilakukan oleh Permadi Arya atau familiar dengan nama Abu Janda berawal dari sindiran Natalius Pigai kepada Badan Intelijen Negara (BIN) Jenderal TNI Hendropriyono  terkait pembubaran Front Pembela Islam (FPI) yang dianggap sebagai hadiah bagi bangsa ini. Karena organisasi tersebut sudah sejak lama bikin resah dan mengganggu ketenteraman serta kenyamanan masyarakat. Di sinilah Hendropriyono mengatakan “Organisasi Pelindung ex FPI dan Para Provokator tunggu giliran” beserta cuitannya yang panjang lebar mengenai kabar gembira bagi bangsa ini setelah FPI dibubarkan.  

Berangkat dari sinilah Natalius Pigai di salah satu akun pribadinya @nataliuspigai2 membuat  twit sindiran yang mengatakan “Ortu mau tanya. Kapasitas Bapak di Negeri ini sebagai apa ya, Penasehat Presiden, Pengamat? Aktivis?. Biarkan diurus generasi Abad ke 21 yang egalitarian, humanis, Demokrat. Kami tidak butuh hadirnya dedengkot tua”. Twit ini dikutip oleh VIVA.co.id 1 Januari 2021.

Sehingga, Permadi Arya atau Abu Janda tersebut me-repost ulang berita tersebut dalam sebuah akun Twitter pribadinya. Lalu membuat komentar “Kapasitas Jend. Hendropriyono: -Mantan Kepala BIN –Mantan Direktur BAIS –Mantan Menteri Transmigrasi –Profesor Ilmu Filsafat Intelijen –Berjasa di berbagai operasi militer. Kau @NataliusPigai2 apa kapasitas kau? Sudah selesai evolusi belom kau? @edo751945”. Permadi Arya atau Bau Janda mengklarifikasi bahwa twit ini dihapus 30 menit kemudian. Karena telah banyak akun-akun yang me-repost ulang dan melakukan body shamming kepada Natalius Pigai.

Apa yang dilakukan Permadi Arya atau Abu Janda yang berujung pada rasisme sejatinya tidak terlepas dari saling sindir-menyindir di dunia maya. Sehingga berujung pada kebencian dan seketika emosi memuncak lalu melakukan tindakan rasisme. Hal ini menjadi satu bukti bahwa hate speech di dunia maya sejatinya sering-kali berujung kepada tindakan rasisme. Menyerang secara fisik yang mengakibatkan kepada perpecahan dan keharmonisan bangsa dirobek.

Ujaran kebencian yang berkepanjangan di dunia maya diakibatkan oleh saling sindir-menyindir antar pejabat publik hingga berujung pada rasisme sejatinya menjadi satu pelajaran penting. Bahwa kita harus bijak di dalam menggunakan sosial media sebagai platform media yang membentuk silaturahmi dan menjaga hubungan erat satu sama lain. Bukan dijadikan tempat saling menyindir dan bablas kepada tindakan kebencian. Hingga berakhir kepada rasis.            

Kita semua wajib mengusut tuntas dan memutus rantai tindakan rasisme maupun intoleransi di negeri ini.  Karena sangat berdampak kepada disintegritas dan dis-harmoni sosial yang berujung pada kehancuran. Hal ini juga perlu mengusut dengan tuntas “akar rumput” yang memengaruhi intoleransi dan rasisme itu bisa terbentuk, berkembang biak dan menyebar ke berbagai aspek kehidupan masyarakat. Layaknya kasus rasisme yang dilakukan oleh Permadi Arya atau Abu Janda yang berawal dari saling sindir-menyindir di dunia maya. Berantai menjadi sebuah kebencian. Lalu berakhir ke dalam tindakan maupun sikap rasisme.

This post was last modified on 1 Februari 2021 1:20 PM

Saiful Bahri

Recent Posts

Riwayat Pendidikan Inklusif dalam Agama Islam

Indonesia adalah negara yang majemuk dengan keragaman agama, suku dan budaya. Heterogenitas sebagai kehendak dari…

19 jam ago

Hardiknas 2024: Memberangus Intoleransi dan Bullying di Sekolah

Hardiknas 2024 menjadi momentum penting bagi kita semua untuk merenungkan dan mengevaluasi kondisi pendidikan di…

19 jam ago

Sekolah sebagai Ruang Pendidikan Perdamaian: Belajar dari Paulo Freire dan Sekolah Mangunan Jogjakarta

Bila membicarakan pendidikan Paulo Freire, banyak ahli pendidikan dan publik luas selalu merujuk pada karya…

19 jam ago

Buku Al-Fatih 1453 di Kalangan Pelajar: Sebuah Kecolongan Besar di Intansi Pendidikan

Dunia pendidikan pernah gempar di akhir tahun 2020 lalu. Kepala Dinas Pendidikan Bangka Belitung, pada…

19 jam ago

4 Mekanisme Merdeka dari Intoleransi dan Kekerasan di Sekolah

Masa depan bangsa sangat ditentukan oleh mereka yang sedang duduk di bangku sekolah. Apa yang…

2 hari ago

Keterlibatan yang Silam Pada yang Kini dan yang Mendatang: Kearifan Ma-Hyang dan Pendidikan Kepribadian

Lamun kalbu wus tamtu Anungku mikani kang amengku Rumambating eneng ening awas eling Ngruwat serenging…

2 hari ago