Narasi

Hijrah Sejati Tak Pernah Melahirkan Takfirisme

Setiap tahun baru hijriah datang membawa pesan sunyi dari masa lalu: sebuah perjalanan agung yang bukan sekadar perpindahan geografis, melainkan transformasi sejarah dan jiwa. Hijrah adalah tentang keberanian meninggalkan zona nyaman demi menjemput visi peradaban. Maka, hijrah bukan hanya milik masa lalu. Ia adalah panggilan lintas zaman untuk siapa saja yang ingin beranjak dari kegelapan menuju cahaya, dari stagnasi menuju kebangkitan, dari kebencian menuju perdamaian.

Hijrah adalah panggilan untuk berubah. Berubah ke arah yang lebih baik, ke arah yang Allah ridhoi. Karena hidup ini terlalu berharga jika hanya diisi dengan rutinitas tanpa makna. Kita butuh hijrah dalam cara berpikir, cara bersikap, dan cara memaknai hidup.

Hijrah bukan sekadar perpindahan tempat, tapi perubahan arah hidup menuju yang lebih baik. Rasulullah telah mencontohkannya dengan niat yang tulus, hijrah menjadi jalan menuju kemuliaan.

Lihatlah bagaimana seorang petani memindahkan bibit dari semaian ke lahan yang lebih luas. Bila bibit itu tetap dibiarkan di tempat sempit, ia akan saling berebut nutrisi dan tak tumbuh sempurna. Tapi ketika dipindahkan ke ladang subur, ia menjulang kuat dan memberi hasil.

Begitu pula manusia. Hijrah secara fisik maupun batin membuka ruang baru untuk berkembang. Di tanah perantauan, seseorang belajar mandiri, menghadapi tantangan, dan perlahan menjadi pribadi yang tangguh. Tak jarang, dari keterasingan lahirlah keberhasilan. Itulah sunnatullah, barangsiapa yang berhijrah karena Allah, maka Allah bukakan jalan dan keberkahan yang tak disangka-sangka.

Dengan makna dan spirit yang sangat luas ini, maka hijrah tidak boleh diartikan dengan perubahan sempit seperti tampilan fisik semata dan menjadikan merasa lebih baik dari orang lain. Hijrah adalah upaya lahir batin untuk berubah lebih baik menuju niatan yang telah ditanamkan di awal sebelum berhijrah.

Hijrah sejati lebih dalam dari itu. Hijrah adalah revolusi hati, perubahan cara pandang, dan tekad untuk meninggalkan gelap menuju cahaya, dari kebiasaan lama menuju hidup yang lebih bermakna. Jangan sampai kita terjebak pada tampilan, lalu merasa lebih baik dari orang lain. Sebab hijrah sejati tak pernah melahirkan takfirisme, merasa kelompoknya paling benar dan yang berbeda adalah kafir. Hijrah yang sejati akan memunculkan rasa kasih sayang dan saling menghargai atas keberagaman. Hijrah adalah perjalanan lahir dan batin yang dimulai dari niat yang jernih. Maka selama niat itu masih menyala, selama hati kita masih merindukan kebaikan, kita semua sedang berhijrah.

Di era digital, bentuk hijrah kita bisa berupa meninggalkan narasi-narasi kebencian dan mulai menyebarkan pesan damai, toleransi, dan persatuan. Pemuda-pemudi hari ini bisa menjadi pejuang hijrah digital yang memutus mata rantai provokasi, hoaks, dan ajakan ekstremisme yang menjalar di ruang maya.

Hijrah sejati adalah revolusi hati, perubahan cara pandang, dan tekad untuk meninggalkan gelap menuju cahaya, dari kebiasaan lama menuju hidup yang lebih bermakna. Jangan sampai kita terjebak pada tampilan, lalu merasa lebih baik dari orang lain. Sebab hijrah sejati tak pernah melahirkan kesombongan, melainkan kerendahan hati dan kehausan akan perbaikan diri.

Hijrah adalah perjalanan lahir dan batin yang dimulai dari niat yang jernih. Maka selama niat itu masih menyala, selama hati kita masih merindukan kebaikan, kita semua sedang berhijrah. Dan kita memohon kepada Allah, agar langkah-langkah kecil kita ini dikuatkan, agar setiap jatuh dibangkitkan-Nya, dan agar setiap niat yang tulus dibimbing menuju ridho-Nya.

Kini saatnya kita menjadikan semangat hijrah sebagai inspirasi kolektif untuk membangun Indonesia yang damai, toleran, dan bebas dari bayang-bayang radikalisme. Sebab bangsa ini tidak butuh fanatisme buta, melainkan ketulusan hati yang terus berhijrah dari ego menuju empati.

Suwanto

Penulis merupakan Peneliti Multiple-Representation Learning di PPs Pend.Kimia UNY, Interdisciplinary Islamic Studies di Fak. Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga, dan Culture Studies di UGM

Recent Posts

Selebrasi Kemerdekaan Sebagai Resiliensi Kultural di Tengah Ancaman Ideologi Transnasional

Peringatan HUT RI ke-80 tahun berlangsung meriah sekaligus khidmat di seluruh penjuru negeri. Di tengah…

19 jam ago

Mengapa Kita Masih Lomba Makan Kerupuk? : Ritual Kemerdekaan dan Persatuan

Setiap Agustus tiba, ada sensasi déjà vu yang unik. Jalanan tiba-tiba dipenuhi bendera, gapura dicat ulang, dan…

19 jam ago

Pesta Rakyat dan Perlawanan Terhadap Perpecahan

Pada tahun 2025, Indonesia merayakan usia kemerdekaannya yang ke-80. Pesta Rakyat yang digelar setiap tahunnya…

19 jam ago

Membumikan Hubbul Wathan di Tengah Ancaman Ideologi Transnasional

Peringatan hari kemerdekaan Indonesia setiap 17 Agustus bukan hanya sekadar momen untuk mengenang sejarah perjuangan…

5 hari ago

Tafsir Kemerdekaan; Reimajinasi Keindonesiaan di Tengah Arus Transnasionalisasi Destruktif

Kemerdekaan itu lahir dari imajinasi. Ketika sekumpulan manusia terjajah membayangkan kebebasan, lahirlah gerakan revolusi. Ketika…

5 hari ago

Dari Iman Memancar Nasionalisme : Spirit Hubbul Wathan Minal Iman di Tengah Krisis Kebangsaan

Ada istilah indah yang lahir dari rahim perjuangan bangsa dan pesantren nusantara: hubbul wathan minal iman —…

5 hari ago