Narasi

Refleksi Harlah NU ke-95; Komitmen Kebangsaan Merawat Generasi Milenial

Sudah mafhum diketahui oleh umum bahwasanya Nahdatul Ulama (NU) merupakan organisasi Islam terbesar di tanah air. Semenjak didirikan pada 1926 oleh KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Wahab Chasbullah hingga kini sudah lima puluh juta lebih pengikutnya. NU menyasar ke semua kalangan baik generasi tua maupun generasi muda, termasuk kaum milenial. Sejak itu pula, NU hadir dengan Islam toleran. Dan kini usia NU sudah memasuki tahun ke-95. Usia yang bisa dibilang matang untuk ukuran manusia. Tentu banyak sekali torehan prestasi dan perjuangan terhadap NKRI serta meneguhkan komitmen kebangsaan.

NU lebih mudah diterima di kalangan generasi milenial karena mengusung ahlu sunnah wal jama’ah, Islam moderat, dan terkenal dengan dakwahnya yang ramah penuh toleransi. Kita tentu tahu kaidah popular NU yaitu “al-muhafadzatu ‘ala al-qodim al-sholih wal akhudu bi al-jadid al-ashlah”, yang artinya “memelihara hal-hal atau hasanah yang bagus atau yang dianggap baik, dan mengambil yang baru yang dianggap baik”. Kaidah inilah yang membuat NU tetap menerima budaya lokal yang berkembang, serta anti bersikap takfirisme.

Kalau kita kuliti sejarah Islam di nusantara, Walisongo dalam dakwahnya menggunakan sarana wayang dan gamelan. Para wali juga menciptakan tembang. Satu contoh Sunan Kalijaga yang menciptakan tembang Lir-Ilir. Dan hal inilah diantar yang menyebabkan Islam mudah masuk ke Indonesia, karena dakwahnya yang unik dan membawa pesan toleransi serta cinta damai.

Organisasi NU juga mengajarkan pada umatnya untuk selalu mengingat kematian berziarah kepara wali, ulama, kyai, serta keluarga yang telah meninggal dunia dan mendoakan para leluhurnya supaya membantu meringankan beban mereka di alam kubur berkat doa-doa yang dipanjatkannya entah itu sehabis sholat fardhu ataupun melalui rangkaian tahlilan.

Kemudian, dalam kehidupan bermasyarakat dalam bingkai ahlu sunnah wal jama’ah, NU mempunyai beberapa sikap, yaitu pertama tawasuth dan i’tidal. Tawasuth yaitu sikap moderat yang berpijak pada prinsip menempatkan diri di tengah-tengah (moderat) antara dua ujung tatharruf (ekstremisme) dalam berbagai masalah dan keadaan, untuk mencapai kebenaran serta keterlanjuran kekiri atau kekanan secara berlebihan. Sementara, i’tidal berarti tegak lurus, berlaku secara adil, tidak berpihak kecuali kepada yang benar. Keadilan ini harus selalu dibela.

Kedua, tasamuh (toleransi) yaitu sikap toleran yang berarti penghargaan terhadap perbedaan pandangan dan kemajemukan identitas budaya masyarakat. Aneka pikiran yang muncul dan tumbuh di tengah masyarakat muslim adalah sebuah keniscayaan dan selayaknya mendapat pengakuan. Sikap terbuka yang demikian lebar untuk menerima segala jenis perbedaan pendapat.

Ketiga, tawazun (berimbang) yang mengandung maksud sikap seimbang dalam berhikmat demi terciptanya keserasian antara hubungan Allah SWT dengan manusia. Su’udin Azis (2019) menjelaskan bahwa maksud dari tawazun atau berimbang yaitu sebuah sikap berimbang atau harmonis dalam mengintegrasikan dan mensinergikan dalil-dalil untuk memproduk sebuah keputusan yang bijak dan maslahat bagi umat. Tawazun ini merupakan manifestasi dari sikap keberagaman yang anti terhadap sikap ekstrem (tidak menghargai perbedaan pendapat).

Keempat, amar ma’ruf nahi mungkar yaitu dua sendi yang mutlak diperlukan untuk menopang tata kehidupan yang diridhoi oleh Allah SWT. Amar ma’ruf memiliki arti mengajak dan mendorong perbuatan baik, baik bermanfaat bagi kehidupan duniawi dan ukhrowi. Sedangkan, nahi munkar adalah menolak dan mencegah segala hal yang dapat merugikan, menjerumuskan, merendahkan, melenceng dari norma kehidupan. Kedua hal tersebut harus senantiasa digemakan baik dalam kehidupan lahiriyah maupun bathiniyah.

Dalam rangka membumikan karakter Aswaja tersebut, tantangan NU kedepan ialah bagaimana mengelola generasi milenial ini secara lebih inovatif, sistematis, dan terintegrasi. Milenial yang identik dengan dunia digital (online) tentu ditntut bagaimana NU di dalam dakwahnya membumikan Aswaja juga perlu menggencarkan ke dunia digita (online). Mengingat banyak jaringan Islam radikal dewasa ini masif menyebarkan virus radikalisme melalui media online ini. Dan tak sedikit kaum milenial yang terpengaruh.

Selama ini NU telah banyak berkontribusi di dalam mengelola generasi milenial seperti melalui IPNU ataupun KMNU. Harapannya, kedepan tidak ada lagi generasi bangsa kita yang terjangkit virus radikalisme karena mendapat pemahaman agama Islam yang keliru dari kelompok jaringan Islam radikal.

This post was last modified on 1 Februari 2021 1:19 PM

Suwanto

Penulis merupakan Peneliti Multiple-Representation Learning di PPs Pend.Kimia UNY, Interdisciplinary Islamic Studies di Fak. Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga, dan Culture Studies di UGM

Recent Posts

Kultur yang Intoleran Didorong oleh Intoleransi Struktural

Dalam minggu terakhir saja, dua kasus intoleransi mencuat seperti yang terjadi di Pamulang dan di…

4 jam ago

Moderasi Beragama adalah Khittah Beragama dan Jalan Damai Berbangsa

Agama tidak bisa dipisahkan dari nilai kemanusiaan karena ia hadir untuk menunjukkan kepada manusia suatu…

4 jam ago

Melacak Fakta Teologis dan Historis Keberpihakan Islam pada Kaum Minoritas

Serangkaian kasus intoleransi dan persekusi yang dilakukan oknum umat Islam terhadap komunitas agama lain adalah…

5 jam ago

Mitos Kerukunan dan Pentingnya Pendekatan Kolaboratif dalam Mencegah Intoleransi

Menurut laporan Wahid Foundation tahun 2022, terdapat 190 insiden intoleransi yang dilaporkan, yang mencakup pelarangan…

5 jam ago

Jaminan Hukum Kebebasan Beragama bisa Menjamin Toleransi?

Indonesia, dengan kekayaan budaya, agama, dan kepercayaan yang beragam, seharusnya menjadi contoh harmoni antar umat…

1 hari ago

Mencegah Persekusi terhadap Kelompok Minoritas Terulang Lagi

Realitas kekayaan budaya, agama, dan kepercayaan di Indonesia seharusnya menjadi fondasi untuk memperkaya keberagaman, namun…

1 hari ago