Narasi

Agama Lahir dari Cinta, Mengapa Umat Beragama Sering Menebar Luka?

Agama, dalam hakekat terdalamnya, lahir dari cinta. Cinta kepada Yang Maha Kuasa, cinta kepada sesama, cinta kepada kehidupan. Inti ajaran agama adalah cinta yang terpancar melalui berbagai aktivitas ritual yang beragam. Bukan orang beragama jika tidak memiliki cinta.

Semua agama besar dunia memancarkan ajaran tentang kasih, belas kasih, dan cinta yang tak bersyarat. Namun, dalam kenyataan sehari-hari, justru banyak umat beragama yang terjerat dalam lingkaran kebencian, permusuhan, bahkan saling menista dan menebar luka yang menyakiti yang berbeda.

Bukan hal mencengangkan jika ada segelintir umat beragama yang meneriakkan nama Agung Tuhan, tetapi menyakiti dan melukai yang lain. Bukan pemandangan yang dianggap anomali ketika ada segelintir umat beragama yang menebar luka dengan alasan sedang membela Tuhan.

Tuhan dipersepsikan sebagai dzat yang perlu bantuan umat beragama. Bahkan, ada juga mereka yang dangkal dalam beragama yang merusak rumah Tuhan dengan alasan ketertiban. Mereka berteriak lantang seolah sedang mewakili Tuhan untuk membungkam mereka yang berbeda.

Mengapa paradoks seperti ini terjadi ? Bagaimana agama yang sejatinya mengajarkan cinta bisa menjadi sumber konflik dan kebencian? Kenapa agama yang lahir dari cinta justru membesarkan manusia yang penuh dengan permusuhan?

Cinta dalam Inti Ajaran Agama

Dalam tradisi Kristen, cinta (agape) adalah inti dari ajaran Yesus Kristus: “Kasihilah Tuhan Allahmu… dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Matius 22:37–39). Dalam Islam, cinta kepada Allah (mahabbah) adalah ruh dari iman: “Tidak sempurna iman seseorang sampai ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri” (HR. Bukhari-Muslim).

Dalam Hindu, konsep prem dan bhakti—cinta suci kepada Tuhan dan semua ciptaan-Nya—menjadi jalan spiritual menuju moksha. Ajaran Buddha menekankan metta (kasih sayang universal) dan karuna (belas kasih), sebagai inti dari jalan menuju pencerahan. Bahkan dalam tradisi Yahudi, Hukum Taurat merangkum kasih sebagai prinsip utama: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Imamat 19:18).

Semua ini menunjukkan bahwa cinta bukan pelengkap, tapi inti dari spiritualitas. Ia bukan ajaran pinggiran, melainkan fondasi yang menopang seluruh bangunan agama. Cinta menjadi dasar dari setiap ajaran yang dimiliki oleh setiap agama.

Sayangnya, dalam praktik keagamaan sehari-hari, cinta sering terkubur oleh hasrat untuk menang sendiri, merasa paling benar, dan memonopoli kebenaran. Agama berubah menjadi identitas politik, menjadi pagar pembatas, bukan jembatan. Doktrin yang seharusnya membebaskan justru dijadikan alat pembenaran untuk menyingkirkan yang berbeda.

Banyak umat beragama memuja simbol, tetapi melupakan substansi. Mereka sibuk membela Tuhan, seolah Tuhan tidak mampu membela diri-Nya. Mereka merasa suci dengan mencaci, merasa mulia dengan menista. Inilah titik di mana cinta terkikis oleh ego, dan agama kehilangan ruhnya.

Ketika Spiritualitas Cinta Dikalahkan Arogansi Agama

Apa sebenarnya yang terjadi, kenapa agama telah dijadikan sumber bencana, bukan sumber cinta? Ada beberapa alasan kenapa hal ini terjadi. Pertama, cara pandang umat beragama dalam menafsirkan Tuhan. Tuhan sejatinya adalah dzat Mulia yang memiliki sifat Pengasih dan Penyayang. Berulangkali dalam Islam, predikat ini dicantumkan di kalimat basmalah yang setiap waktu dibaca umat Islam.

Sayangnya, pengertian tentang Tuhan Maha Pengasih dikalahkan dengan Tuhan Yang Agung, Maha Menyiksa dan Pemberi Siksa. Benar, Tuhan memberikan peringatan dan siksa, tetapi semua ujian dan bencana dilakukan karena keadilan Tuhan untuk memberikan jalan cinta bagi manusia.

Karena itulah, John D Caputo, filsuf post modern dan seorang teolog memberikan konsepsi menarik tentang Tuhan. Baginya, Tuhan bukan sosok tiran metafisis yang memaksakan kehendak, melainkan suara lembut yang mengundang untuk mencinta. Hubungan manusia dengan Tuhan adalah hubungan yang tanpa henti menjemput seruan cinta dari ilahi.

Kedua, ada perubahan wujud dari agama; dari spiritualitas yang membebaskan menjadi institusi yang kaku. Agama bukan sekedar institusi yang mengajarkan dogma dan doktrin final, tetapi media perjalanan pengalaman bagi orang yang penuh cinta. Caputo menolak agama yang keras, eksklusif, dan menghakimi.

Mengembalikan Agama sebagai Sumber Cinta

Apa yang perlu dilakukan? Pertama, kita harus memulihkan kembali agama sebagai sumber cinta, bukan alat kebencian. Pendidikan agama tidak cukup menghafal dogma, tetapi harus menyentuh jiwa—mengajarkan welas asih, empati, dan solidaritas.

Kedua, kita perlu membedakan antara iman yang tulus dan ideologi agama. Iman adalah relasi cinta antara manusia dan Tuhan. Sedangkan ideologi agama cenderung membungkus agama dalam proyek kekuasaan. Di sinilah para pemuka agama harus menjadi teladan, bukan justru memanaskan suasana.

Ketiga, kita perlu membangun common ground—ruang spiritual lintas iman yang didasari oleh nilai-nilai cinta, bukan debat tak berujung tentang siapa yang paling benar. Dalam cinta, kita tak merasa perlu menaklukkan orang lain; kita hanya ingin mengasihi.

Agama seharusnya menjadi cahaya, bukan api yang membakar. Ia semestinya membimbing, bukan menghakimi. Ia lahir dari cinta, dan harus dibawa kembali ke jalan cinta.

Saat umat beragama saling menista, saatnya kita bertanya: apakah kita benar-benar menghayati ajaran agama, atau hanya menjadikannya sebagai tameng ego? Jika agama lahir dari cinta, maka hanya cinta pula yang bisa menyelamatkannya.

Farhah Sholihah

Recent Posts

Menggugat “Cinta Politis” Kaum Ekstremis dengan Kaca Mata Erich Fromm

Cinta, sebuah kata yang diklaim sebagai fitrah dan puncak aspirasi spiritual, ironisnya justru menjadi salah…

45 detik ago

Polemik Bendera One Piece; Waspada Desakrasilasi Momen Hari Kemerdekaan

Belakangan ini, dalam beberapa hari media massa dan media sosial kita riuh ihwal polemik pengibaran…

1 hari ago

Mewarisi Agama Cinta dari Kearifan Nusantara

Indonesia, sebagai negeri yang kaya akan keanekaragaman budaya dan agama, memiliki akar-akar tradisi spiritual yang…

1 hari ago

Menghadirkan Agama Cinta di Tengah Krisis Empati Beragama

Rentetan kasus kekerasan atas nama agama menyiratkan satu fakta bahwa relasi antar pemeluk agama di…

1 hari ago

Cara Islam Menyelesaikan Konflik: Bukan dengan Persekusi, tapi dengan Cara Tabayun dan Musyawarah

Konflik adalah bagian yang tak terelakkan dari kehidupan manusia. Perbedaan pendapat, kepentingan, keyakinan, dan bahkan…

4 hari ago

Beragama dalam Ketakutan: Antara Narasi Kristenisasi dan Persekusi

Dua kasus ketegangan umat beragama baik yang terjadi di Rumah Doa di Padang Kota dan…

4 hari ago