Narasi

Amaliyah Istisyhad dan Bom Bunuh Diri: Membedah Konsep dan Konteksnya

Kekerasan atas nama agama, khususnya dalam bentuk bom bunuh diri, telah menjadi momok global yang mengancam kedamaian dan kemanusiaan. Fenomena ini seringkali dibenarkan dengan menggunakan terminologi keagamaan, salah satunya adalah Amaliyah Istisyhad, atau “operasi mencari kesyahidan”. Pemahaman yang keliru dan manipulatif terhadap konsep ini telah menjadi motor penggerak bagi aksi-aksi ekstremis.

Istisyhad secara harfiah berasal dari kata syahida, yang artinya “bersaksi” atau “melihat”. Dalam konteks Islam, syahid adalah seseorang yang gugur dalam membela kebenaran di jalan Allah. Kematian mereka tidak hanya dianggap sebagai akhir dari kehidupan, melainkan sebagai sebuah kesaksian yang agung, sebuah pengorbanan tertinggi demi tegaknya keadilan dan kebenaran. Al-Quran dan Hadits memuliakan posisi para syuhada, menjanjikan mereka ganjaran yang besar di sisi Tuhan.

Namun, pemahaman ini harus diletakkan dalam kerangka etika dan hukum Islam yang ketat. Konsep syahid dalam Islam klasik tidak pernah membenarkan tindakan bunuh diri. Bunuh diri, dalam pandangan Islam, adalah dosa besar. Al-Quran secara eksplisit melarang tindakan mencelakakan diri sendiri. Ayat-ayat seperti dalam Surah Al-Baqarah (2:195) yang memerintahkan untuk tidak menjatuhkan diri ke dalam kebinasaan, menjadi dasar kuat dalam menolak tindakan bunuh diri.

Lalu, bagaimana Amaliyah Istisyhad bisa disimpangkan menjadi bom bunuh diri? Jawabannya terletak pada kontekstualisasi yang keliru dan manipulasi ideologis. Para ekstremis seringkali mengutip kisah-kisah heroik dari masa lalu, seperti kematian dalam peperangan (ghazwah), dan menginterpretasikannya secara harfiah tanpa mempertimbangkan perubahan zaman dan konteks. Dalam perang-perang klasik, seorang prajurit yang berani maju ke medan pertempuran dan gugur di tangan musuh dianggap syahid. Namun, ini berbeda total dengan bom bunuh diri, di mana seseorang sengaja meledakkan dirinya sendiri di tengah-tengah masyarakat sipil yang tidak bersalah.

Dari sudut pandang sosiologi dan antropologi, fenomena ini tidak dapat hanya dijelaskan melalui doktrin agama semata. Ada faktor-faktor sosial, politik, dan ekonomi yang turut berperan. Kelompok ekstremis seringkali memanfaatkan rasa ketidakadilan, kemiskinan, dan marginalisasi yang dirasakan oleh individu-individu tertentu.

Mereka menawarkan “jalan keluar” yang instan dan mulia melalui ideologi yang menyimpang, menjanjikan status syahid dan surga sebagai imbalan. Ini adalah bentuk eksploitasi psikologis yang efektif. Individu yang merasa putus asa, kehilangan harapan, dan terasingkan dari masyarakatnya, menjadi sasaran empuk bagi propaganda ini. Mereka tidak hanya melihat bom bunuh diri sebagai sebuah kewajiban agama, tetapi juga sebagai cara untuk memperoleh identitas dan kehormatan yang selama ini tidak mereka dapatkan.

Aspek filsafat Islam juga memberikan pencerahan penting. Filsafat Islam mengajarkan pentingnya rasio (aql) dalam memahami agama. Menggunakan akal sehat adalah perintah agama itu sendiri. Tindakan bom bunuh diri, dengan segala akibatnya yang merusak dan mematikan, jelas tidak sejalan dengan akal sehat dan prinsip dasar Islam yang menjunjung tinggi maqashid asy-syari’ah (tujuan-tujuan syariat).

Tujuan utama syariat adalah hifdz al-nafs (memelihara jiwa), hifdz al-‘aql (memelihara akal), hifdz al-din (memelihara agama), hifdz al-nasl (memelihara keturunan), dan hifdz al-mal (memelihara harta). Bom bunuh diri melanggar semua tujuan ini. Ia menghancurkan jiwa, menumpulkan akal sehat, merusak citra agama, menghentikan keturunan (bagi pelaku), dan menghancurkan harta benda.

Kita harus dengan tegas menyatakan bahwa Amaliyah Istisyhad, ketika digunakan untuk membenarkan bom bunuh diri, adalah sebuah penyimpangan ideologi dan doktrin. Itu bukanlah bagian dari ajaran Islam yang murni. Tindakan tersebut adalah hasil dari manipulasi ideologis yang memanfaatkan ketidakadilan sosial, kekosongan spiritual, dan pemahaman agama yang sempit.

Tugas kita, sebagai akademisi, ulama, dan masyarakat sipil, adalah terus melakukan edukasi, meluruskan konsep, dan menumbuhkan pemahaman Islam yang komprehensif, toleran, dan berlandaskan pada akal sehat. Dengan demikian, kita dapat membentengi diri dari virus ekstremisme dan membangun masyarakat yang damai dan beradab, sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan dan ajaran Islam yang sejati.

Kita harus selalu ingat bahwa kematian syahid bukanlah sekadar kematian, melainkan sebuah saksi atas perjuangan yang benar dan mulia. Dan perjuangan yang benar dan mulia tidak pernah diawali dengan menghancurkan jiwa-jiwa tak berdosa, termasuk jiwa kita sendiri.

Samachatul Maula

Recent Posts

Kaum Muda Sebagai Game Changer; Masih Relevankah Sumpah Pemuda bagi Gen Z?

Di peringatan Hari Sumpah Pemuda, Alvara Institute merilis whitepaper hasil riset terhadap generasi Z. Riset…

2 jam ago

Sumpah Pemuda di Medan Juang Metaverse: Menjaga Kedaulatan Digital Menuju Indonesia Emas 2045

Dunia metaverse yang imersif, kecerdasan buatan (AI) yang kian intuitif, dan komunikasi interaktif real-time telah…

2 jam ago

Manusia Metaverse; Masihkah Gen Alpha Butuh Nasionalisme?

Beberapa tahun lalu, gambaran dunia virtual tiga dimensi seperti dalam film Ready Player One hanyalah…

2 jam ago

Penguatan Literasi Digital untuk Ketahanan Pemuda Masa Kini

Kita hidup di zaman yang oleh sosiolog Manuel Castells disebut sebagai Network Society, sebuah jejaring…

1 hari ago

Kontra-Terorisme dan Urgensi Mengembangkan Machine Learning Digital Bagi Pemuda

Di tengah pesatnya kemajuan teknologi informasi, ancaman radikalisme tidak lagi terbatas pada ruang fisik, tetapi…

1 hari ago

Dari Jong ke Jaringan: Aktualisasi Sumpah Pemuda dalam Membangun Ketahanan Digital

Sembilan puluh tujuh tahun silam, para pemuda dari berbagai penjuru Nusantara berkumpul, mengukir sejarah dengan…

1 hari ago