Bentrokan yang pecah di Pemalang antara massa Rizieq Shihab (“FPI”) dan aliansi PWI LS lalu adalah potret nyata dari kerapuhan tatanan sosial kita. Benturan horizontal itu juga memvalidasi penyakit kita di tengah masyarakat yaitu “kerukunan simbolik” atau passive harmony.
Mari kita amati. Dua kubu sejatinya sama-sama mengusung niat yang tampak mulia. Satu pihak ingin menyelenggarakan dakwah, pihak lain merasa terpanggil untuk “menjaga kondusivitas” dan nilai Pancasila.
Namun, kedua niat ini bertemu di jalanan dalam bentuk lemparan batu dan amarah. Konflik ini menelanjangi sebuah fakta bahwa kerukunan di antara kita sering kali bukanlah buah dari kesadaran dan inisiatif sendiri (rukun), melainkan sebuah kondisi yang dipaksakan dari atas (dirukunkan).
Inilah inti dari argumen tentang “kerukunan simbolik”. Perdamaian baru terasa mendesak untuk diciptakan ketika konflik sudah di depan mata atau bahkan sudah meletus. Lembaga-lembaga seperti pemerintah daerah, Forkopimda, dan aparat keamanan segera turun tangan, melakukan mediasi, dan memaksa kedua pihak untuk berdamai.
Persis seperti yang terjadi di Pemalang, di mana aparat berupaya keras memisahkan kedua massa dan kemudian mengupayakan pendinginan situasi. Namun, perdamaian yang lahir dari intervensi reaktif ini sangat rapuh.
Ia tidak menyentuh akar masalah dan hanya menunda potensi ledakan berikutnya. Ketergantungan pada kecepatan respons aparat menunjukkan betapa absennya perdamaian organik dari akar rumput.
Dengan kondisi demikian, sulit rasanya membayangkan perdamaian yang tulus. Hulu dari konflik semacam ini, sebagaimana argumen yang ada, adalah intoleransi. Dalam kasus Pemalang, intoleransi ini mengenakan dua jubah yang berbeda. Di satu sisi, ada intoleransi terhadap kelompok yang dianggap mengancam harmoni lokal dan ulama “lokal”. Di sisi lain, ada sikap eksklusif yang merasa haknya untuk berekspresi dihalangi secara tidak adil.
Kedua sikap ini, baik yang berpayung “menjaga Pancasila” maupun “membela agama”, sama-sama menampilkan praktik yang keras, eksklusif, dan cenderung otoriter dalam memandang kebenaran. Masing-masing merasa paling berhak mendefinisikan ketertiban dan mengambil tindakan untuk menegakkannya.
Sikap inilah yang pada akhirnya memicu normalisasi praktik kekerasan sebagai jalan penyelesaian masalah, sebuah ancaman nyata bagi stabilitas kita.
Situasi ini menjadi sangat kontra-produktif. Alih-alih memperkuat komitmen kebangsaan, tragedi kekerasan ini justru mengoyaknya dengan mengusung identitas kelompok sebagai tameng.
Semua pihak mungkin sepakat bahwa Pancasila dan agama sama-sama membawa misi perdamaian, tetapi tidak semua sadar bahwa praktik di lapangan harus dilandasi sikap toleran dan moderat. Tanpa keduanya, komunitas mana pun akan terjebak pada sikap eksklusif dan intoleran yang menjadi bibit kekerasan.
Para kelompok intoleran, dari spektrum mana pun, akan selalu mengeksploitasi ruang-ruang konflik seperti ini agar gagasan mereka tersampaikan secara efektif. Bentrokan di Pemalang menciptakan narasi ideal bagi mereka: narasi tentang “kami yang terzalimi” dan “mereka yang menyerang”. Narasi ini kemudian disebar, diperkuat, dan mengkristal menjadi penyakit kebencian yang mengakar di masyarakat.
Apa yang terjadi di Pemalang adalah perang ego yang diperjuangkan dengan otot. Pancasila dan Agama, yang seharusnya menjadi sumber nilai dan etika bersama, telah salahgunakan menjadi tameng identitas yang kaku.
Pancasila tidak lagi diposisikan sebagai dasar negara yang didialogkan, melainkan sebagai “alat pukul” untuk membungkam kelompok yang dianggap berbeda. Demikian pula, kegiatan agama diklaim sebagai ruang sakral yang absolut dan kebal dari kritik sosial.
Ketika simbol-simbol luhur ini direduksi menjadi alat justifikasi untuk konfrontasi, maka ruang untuk diskusi rasional dan saling memahami menjadi lenyap. Inilah sebabnya mengapa “perdamaian organik” sulit tercapai; karena fondasinya, yaitu ruang publik yang sehat tempat warga bertemu sebagai sesama anak bangsa, telah digerogoti oleh politik identitas yang memecah belah.
Pada akhirnya, kita harus sadar bahwa intoleransi dan konflik bukanlah melekat pada identitas agama atau ideologi kebangsaan itu sendiri. Keduanya adalah produk rekayasa dari oknum-oknum yang berkepentingan dan mengancam keutuhan bangsa.
Kesadaran ini perlu dibangun secara kolektif, dari bawah, untuk membangun fondasi kehidupan damai yang sejati dari akar rumput. Insiden Pemalang adalah pengingat tegas bahwa perdamaian yang kita butuhkan bukanlah perdamaian seremonial di meja mediasi, melainkan perdamaian yang hidup dalam kesadaran dan tindakan kita sehari-hari.
“hancurkan semua, hancurkan semua, hancurkan semua”. Begitulah suara menggelegar besautan antara satu dengan lainnya. Di…
Fanatisme kelompok adalah salah satu tantangan serius yang dihadapi masyarakat Indonesia dalam menjaga harmoni sosial…
Pergesekan antar ormas (organisasi kemasyarakatan) yang terjadi di Pemalang, serta konflik senjata yang terjadi antara…
Di era digital yang dibanjiri informasi, sikap kehati-hatian dan bijak menjadi kebutuhan pokok. Bayangkan, setiap…
Wacana yang memisahkan ulama menjadi “pribumi” dan “impor” adalah konstruksi sosial yang lemah secara historis…
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengkonfirmasi adanya peningkatan penetrasi propaganda radikal yang menyasar kelompok rentan…