Categories: Pustaka

Antara ISIS dan Atheis

Dukungan terhadap ISIS dan atheis adalah dua fenomena yang bertolak belakang namun semakin menguat di Negeri Saudi Arabia saat ini. Menurut laporan al-Hayat (21 Juli 2014), media massa milik Saudi, dalam sebuah survei oleh As-Sakinah terhadap media-media sosial di Saudi menunjukkan 92% responden berpendapat “ISIS sesuai dengan nilai-nilai dan syariat Islam”.

Demikian pula dalam survei yang dilakukan oleh Brooking Institute terhadap twitter, pada tahun 2015 dukungan kicauan (twit) yang mendukung ISIS mayoritas berasal dari Saudi Arabia. Hal ini menunjukkan dukungan terhadap radikalisme dan terorisme semakin menguat di Saudi, khususnya dari kalangan muda, kelas menengah dan terpelajar yang akrab dengan media sosial.

Namun atheisme juga menguat di Saudi bahkan tertinggi di negeri-negeri yang penduduknya mayoritas Islam berdasarkan polling dari WIN-Gallup International di Zurich Swiss, 27 Juli 2012 yang memberikan laporan seluruh penduduk dunia mengaku religius (59%), tidak religius (23%) dan atheis (13%). Atheis di Saudi (5%) sama dengan Amerika Serikat, Maldiv, Polandia, di atas India (3%) dan Pakistan, Libanon, Uzbekistan, Turki (masing-masing 2%), Nigeria (1%). Sedangkan untuk tingkat negara yang “religius” Saudi hanya 75%, di bawah Nigeria (93%), Iraq (88%), Pakistan (84%), Afghanistan (83%) dan Malaysia (81%).

Melihat laporan ini, Pemerintah Saudi buru-buru membuat lembaga baru Pusat Pemberantasan Atheisme (Markaz li Mukafahah Ilhad) di Universitas Islam Madinah, namun pada awal tahun 2015 justeru publik Saudi dikejutkan dengan adanya Perkumpulan Para Atheis Makkah(Multaqa Mulhidin Makkah). Laporan ini juga dilengkapi sebuah foto yang menunjukkan tulisan di atas secarik kertas putih “Proud to be Atheist” (Bangga menjadi Atheis)” yang di belakang kertas tampak Ka’bah dan Masjidil Haram. Angka atheis di Saudi berkisar 145-260 ribu orang dan lebih banyak daripada negeri-negeri yang disebut “sekular” seperti Tunisia, Libanon, Mesir, dan Turki.

Mengapa dukungan terhadap terorisme dan atheisme meningkat di Saudi Arabia? Inilah pertanyaan yang menjadi tema diskusi dalam tahun-tahun terakhir ini di media-media Arab, yang rata-rata memberikan jawaban pada satu masalah: fenomena ekstrimisme dalam pemikiran keagamaan (al-ghuluww fil fikr al-dini) yang berasal dari ideologi Wahabi. Bagaimana satu ideologi bisa menghasilkan dua hal yang bertentangan? Penjelasannya adalah, pihak yang mengamini ideologi Wahabi akan ekstrim, berhaluan garis keras, bersimpati hingga menjadi aktor terorisme. Sedangkan pihak yang menolak, atau menjadi korban ideologi garis keras ini akan melawan dengan bentuk ekstrim yang lain, menjadi atheis.

Tahun 2004, Syaikh Hasan bin Farhan al-Maliki seorang penulis dan pemikir di Riyadh, Saudi Arabia, menulis kitab Qira’aah fi Kitabit Tauhid(Pembacaan Ulang terhadap Kitab Tauhid Muhammad bin Abdul Wahhab) adalah catatan kritis terhadap ideologi Wahabi. Bagi dia, kitab Muhammad bin Abd Wahhab yang sangat tipis itu (hanya 122 halaman dan 65 bab) namun menyebabkan meningkatnya ekstrimisme (al-ghuluww) dan pengkafiran di Arab Saudi karena dipakai sebagai buku ajar di sekolah-sekolah.

Menurut Syaikh Hasan saat Muhammad bin Abd Wahhab menulis tentang syirik zaman Nabi merupakan kebenaran, namun yang tidak benar ketika kemusyrikan dituduhkan kepada orang Islam di zamannya. Menurutnya pula, Muhammad bin Abd Wahhab sangat pandai menyarikan ayat-ayat tentang mencegah syirik, namun sayangnya ia banyak lupa soal larangan membunuh manusia yang tidak bersalah. Sehingga saat itu Wahabi banyak membunuh orang Islam bahkan ketika mereka shalat di dalam masjid. Sayangnya pada tahun 2014, Syaikh Hasan bin Farhan pernah diinterogasi dan dijebloskan ke penjara, karena kritik-kritiknya terhadap pemikiran Ibn Taimiyah dan Muhammad bin Abd Wahhab. Ia dilepas setelah protes dari dunia internasional, khususnya organisasi HAM di Jenewa.

Sebelum dia, ada tokoh Wahabi yang menjadi atheis, bernama Abdullah Al-Qashimi (1907-1996) yang lahir Buraidah, di Saudi Arabia menulis kitab Ats-Tsaurah al-Wahabiyah (Revolusi Wahabi) yang memuj-muji ideologi Wahabi dan keberhasilan Dinasti Saudi. Namun akhirnya Abdullah Al-Qashimi menjadi seorang atheis, tinggal dan wafat di Cairo, Mesir.

Tokoh salafi lain yang menjadi atheis adalah Ahmad Husein al-Harqan dari Mesir yang pernah menjadi murid Syaikh Ahmad Al-Burhami, seorang tokoh salafi dan wakil pemimpin tertinggi Partai Nur, Salafi di Iskandaria, Mesir. Ahmad yang pernah menjadi imam di masjid salafi, pada tahun 2014 mendeklarasikan sebagai atheis karena kecewa dengan kekerasan dan pandangan sempit ideologi salafi di Mesir. Setelah sebelumnya dia dan istrinya menjadi korban kekerasan itu.

Tokoh lain, Ayaan Hirsi Ali, kelahiran Mongadisu Somalia yang hidup di tengah keluarga salafi wahabi dan menerima kekerasan, baik saat pindah ke Saudi Arabia, Etiopia dan Kenya. Ia pun akhirnya pindah ke Belanda dan terakhir di Amerika Serikat. Karena ia hanya mengenal Islam ala Wahabi dan menerima kekerasan yang bertubi-tubi dari kelompok ini, ia sangat kecewa dan keluar dari Islam, hingga sekarang aktif menulis buku-buku yang menyerang Islam.

Inilah dua fenomena yang berolak belakang sebagai dampak dari ideologi Wahabi, bersimpati dan bisa ikut ISIS, atau menjadi atheis. Oleh karena itu, kehadiran dan terjemahan buku KH Muhammad Faqih Maskumabang ini sangat penting. Buku ini setelah 93 tahun “hilang” terbit tahun 1922 di Mesir, sebelum NU berdiri, menjadi buku penting dalam menolak paham Wahabi. Buku yang ditahqiq dan diterjemahkan dengan sangat baik oleh KH Aziz Masyhuri ini mengenalkan pada kita tentang sekelumit pandangan dan tokoh-tokoh Wahabi. Pengantar dari KH Maimoen Zubair juga sangat penting, selain memberikan riwayat hidup KH Muhammad Faqih juga menekankan sikap tenggang rasa dan saling menghormati antara KH Muhammad Faqih dan KH Hasyim Asy’ari yang berbeda pendapat tentang pemakaian “kentongan” dan “bedug”.

  • Tulisan ini berasal dari makalah dalam acara Bedah Buku “Menolak Wahabi” karya KH Muhammad Faqih Maskumambang, penerbit: Sahifa, Agustus 2015 di Institut Agama Islam Bani Fattah (IAIBAFA), PP Bahrul Ulum Tambakberas, Jombang, Minggu, 2 Agustus 2015 dalam rangkaian Muktamar NU ke-33 1-5 Agustus 2015 di Jombang, Jawa Timur. Tulisan ini dimuat sudah memperoleh izin dari penulisnya.

Guntur Romlil

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

8 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

8 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

8 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago