Narasi

Antisipasi Kerawanan Sosial di Masa Transisi Pasca Pilpres

Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden telah usai digelar. Siapa pemenang Pilpres dan partai mana yang menjadi juara sudah tampak dalam hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei.

Pasangan capres-cawapres nomor urut 02, Prabowo-Gibran dipastikan memenangkan Pilpres dengan raihan suara di atas 55 persen. Sedangkan Pemilu Legislatif dimenangkan oleh PDIP dengan raihan suara sekitar 19-20 persen.

Setelah Pilpres dan Pemilu usai, tentu tidak lantas presiden dan wakilnya diganti. Setidaknya masih ada waktu delapan bulan sampai kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan wapres Maruf Amin  berakhir. Delapan bulan itu merupakan fase transisi alias pergantian dari pemimpin lama ke pemimpin baru yang dihasilkan dari Pilprew 2024.

Fase transisi kepemimpinan pasca Pemilu dan Pilpres selalu menghadirkan potensi kerawanan sosial dan politik yang patut diwaspadai. Bentuk kerawanan itu antara lain; pertama, ketidakpuasan pihak yang kalah Pilpres atau Pemilu sehingga menyulut gelombang protes massa yang rawan ditunggangi kelompok tertentu yang ingin memantik kericuhan sosial.

Gejala itu sebenenya sudah mulai tampak dengan munculnya narasi kecurangan Pemilu sampai seruan menolak hasil penghitungan suara KPU. Ada pula ajakan pengerahan massa untuk memprotes dan menolak hasil Pemilu 2024.

Kedua, munculnya narasi yang menyebutkan bahwa presiden, DPR, Kementerian, dan lembaga pemerintahan lainnya akan mengalami kondisi lame duck alias bebek lumpuh. Yakni kondisi ketika individu atau lembaga kehilangan kekuatannya salam mengambil kebijakan karena sudah ada di fase akhir jabatan atau segera diganti dengan sosok yang baru.

Narasi pemerintah dan lembaganya mengalami fase lame duck ini rawan dimanfaatkan kelompok tertentu untuk mendelegitimasi otoritas kenegaraan dan menebarkan rumor bahwa negara dalam kondisi kritis atau rawan. Narasi ini tentu berpotensi menimbulkan kecemasan bahkan kepanikan publik.

Ketiga, fase transisi juga pasti akan mendorong kelompok-kelompok ekstrem untuk mencuat ke permukaan dan menancapkan dominasinya di tengah masyarakat. Indikasinya sebenarnya mulai tampak belakangan ini. Salah satunya adalah digelarnya event bertajuk “Metamorfoshow; It’s Time to be One Ummah” yang diselenggarakan beberapa hari lalu.

Acara yang dihadiri seribu lebih peserta itu merupakan propaganda terselubung gerakan khilafah. Mereka, para eks-HTI dan simpatisan khilafah memanfaatkan momentum pasca Pemilu untuk menggelar propaganda massal tersebut. Mereka paham betul bahwa di masa sekarang, seluruh perhatian aparat keamanan, lembaga pemerintah, ormas keagamaan, dan masyarakat sedang tertuju pada Pemilu dan Pilpres. Mencegah Konflik Sosial di Masa Transis

Peran Tokoh Agama Menyebar Pesan Perdamaian Pasca Pilpres

Di tengah kondisi pasca Pilpres dan fase transisi yang rawan konflik ini, seluruh komponen bangsa diharapkan bersinergi menjaga situasi sosial dan politik tetap kondusif. Dimulai dari level elite, perlu ada rekonsiliasi simbolik yang menunjukkan bahwa para elite telah menerima hasil Pemilu dengan legawa.

Rekonsilasi tidak harus bergabung menjadi koalisi. Rekonsilasi adalah proses perdamaian antarberbagai kelompok yang terlibat langsung dalam kontestasi politik 2024. Kini, ketika kontestasi telah usai, maka saatnya merebut kembali ikatan sosial politik yang harmonis.

Tidak kalah pentingnya adalah para tokoh agama agar menyerukan pada umat beragama agar merekatkan kembali ikatan persaudaraan sesama anak bangsa. Tokoh agama adalah figur yang selama ini kerap menjadi panutan dan setiap nasihatnya potensial diikuti oleh umat.

Maka, mimbar khotbah Jumat, pengajian, dan acara keagamaan lainnya idealnya menjadi sarana untuk menyebarkan pesan perdamaian pasca Pilpres. Dengan begitu, narasi provokasi dan adu-domba pasca Polres dan di masa transisi ini bisa diredam.

Terkahir, masyarakat di level akar rumput harus membangun kewaspadaan dan kesiapsiagaan terhadap segala potensi konflik di masa transisi. Masyarakat harus mengenali dan melawan setiap narasi yang mengarah pada delegitimasi hasil Pemilu, apalagi ajakan untuk makar melawan pemerintahan yang sah.

Pemilu dan Pilpres adalah ajang lima tahunan yang akan terus berulang di masa depan. Alangkah bodohnya kita jika harus mempertaruhkan eksistensi bangsa demi event politik lima tahunan yang dinamis.

Siapa pun yang berkontestasi dalam demokrasi haruslah siap kalah. Mentalitas ksatria para elite politik diuji di tahapan ini. Yang memang diuji sejauh mana mereka bisa menahan diri dari sikap sombong dan arogan.

Sedangkan yang kalah diuji apakah mereka bisa legawa dan dengan berbesar hati mengakui kekalahan. Negarawan sejati adalah mereka yang mampu merangkul yang kalah untuk bersama-sama berbagi kekuasaan demi membangun bangsa negara.

This post was last modified on 23 Februari 2024 3:30 PM

Nurrochman

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

2 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

2 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

2 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

3 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

3 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

3 hari ago