Gagasan vaksinasi ideologi yang dilontarkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) adalah hal yang patut diapresiasi dan didukung. Sebagai sebuah gagasan, vaksinasi ideologi yang dijabarkan ke dalam lima poin; transformasi wawasan kebangsaan, transformasi akar kebudayaan, transformasi moderasi beragama, revitalisasi Pancasila, dan transformasi pembangunan kesejahteran kiranya relevan dan urgen dengan kondisi bangsa saat ini.
Berbagai problem kebangsaan, mulai dari intoleransi, provokasi, bahkan kekerasan yang dilatari isu identitas dan keagamaan membuat bangsa ini berada dalam ambang krisis. Tidak hanya krisis moral, namun juga krisis ideologi. Kita kehilangan orientasi dan imajinasi kebangsaan. Kita lupa pada cita-cita luhur kemerdekaan yang tertuang dalam konstitusi.
Sebaliknya, sebagian dari kita justru terbuai oleh romantisisme dan glorifikasi sejarah bangsa lain. Ada pula yang gandrung pada ideologi luar, sembari mencap Pancasila sebagai usang atau bahkan tidak sesuai dengan agama. Di tengah kondisi yang demikian ini, munculnya gagasan vaksinasi ideologi kiranya bisa dipahami sebagai bagian dari sense of crisis. Yakni upaya merespons potensi krisis dengan sebuah tawaran solusi.
Pertanyaanya kemudian ialah bagaimana gagasan vaksinasi ideologi itu diimplementasikan? Sebaik apa pun sebuah gagasan, jika implementasinya lemah, maka hasilnya tidak akan maksimal. Sebaliknya, gagasan yang baik jika didukung dengan implementasi yang juga baik akan menghasilkan output yang maksimal.
Tiga Variabel Penting dalam Vaksinasi Ideologi
Layaknya program vaksinasi kesehatan, agenda vaksinasi ideologi juga harus memperhatikan setidaknya tiga variabel penting; yakni bagaimana vaksinasi itu diberikan, siapa saja sasaran vaksinasi, dan kapan waktu vaksinasi yang tepat. Jika ketiga hal itu tepat, maka dipastikan vaksinasi akan menghasilkan efek sesuai keinginan; yakni terciptanya imunitas bangsa dari virus radikalisme dan terorisme.
Variabel pertama, yakni bagaimana vaksinasi ideologi itu diberikan pada publik kiranya bisa dijawab dengan mempertimbangkan pola penyebaran virus radikal-terorisme selama beberapa tahun belakangan. Jika dilihat, virus radikalisme-terorisme saat ini lebih banyak disebar di dunia maya, melalui internet dan media sosial. Propaganda radikalisme tersebar luas di kanal-kanal media sosial dengan beragam kamuflase.
Tidak sampai di situ. Media sosial juga telah menjadi ajang indoktrinasi dan kaderisasi jaringan teroris. Melalui media sosial, seseorang bisa meradikalisasi dirinya (self-radicalization), berbaiat pada organisasi teroris, dan belajar merencanakan dan menyusun strategi aksi teror. Maka dari itu, vaksinasi ideologi idealnya juga diberikan melalui kanal-kanal maya.
Secara konkret, kita (pemerintah dan masyarakat) harus lebih masif dalam memproduksi dan mendistribusikan konten-konten positif sebagai bagian dari narasi kontra-radikalisme dan terorisme. Tidak ada jalan lain kecuali merebut kembali ruang publik digital kita lalu mendominasinya dengan narasi kebangsaan dan keagamaan yang konstruktif, bukan destruktif. Pendek kata, kita harus mampu menaklukkan algoritma media sosial dengan konten-konten yang menebar kesejukan, perdamaian, dan persatuan.
Selanjutnya variabel kedua yakni siap saja yang menjadi target vaksinasi ideologi ini tentu kita harus memakai skala prioritas. Sebenarnya, jika dihitung secara statistik-matematis, jumlah kelompok rentan terpapar ideologi radikal-ekstrem itu jumlahnya lebih sedikit. Setidaknya sampai saat ini, mayoritas masyarakat Indonesia umumnya masih berpandandan moderat-nasionalis. Sayangnya, kelompok ini cenderung pasif dalam menyuarakan pandangan dan opininya (silent majority).
Kepada kelompok mayoritas yang moderat ini kiranya kita tidak perlu memberikan vaksinasi ideologi dengan dosis tinggi. Sebaliknya, kelompok rentan inilah yang patut disuntikkan vaksinasi ideologi dengan dosis yang lebih banyak dan sering. Mengidentifikasi kelompok yang rentan terpapar ideologi radikal-ekstrem ini sebenarnya tidak sulit. Namun, diperlukan pemetaan yang valid agar tidak salah sasaran.
Disinilah pentingnya pemerintah atau dalam hal ini BNPT menggandeng stakeholder terkait seperti universitas, lembaga penelitian, ormas sipil, dan lembaga keagamaan untuk memetakan kelompok yang rentan terpapar ideologi radikal-ekstrem. Dengan begitu, agenda vaksinasi ideologi ini akan tepat sasaran dan mendapati hasil maksimal.
Agenda Jangka Panjang Vaksinasi Ideologi
Terakhir, terkair kapan waktu atau jadwal imuniasi yang tepat ini kiranya harus diklasifikasikan ke dalam dua periode yakni jangka pendek dan jangka panjang. Dalam jangka pendek, vaksinasi ideologi harus dilakukan mulai saat ini juga dan tidak boleh ditunda. Di fase jangka pendek ini, sasaran utamanya ialah mendekonstruksi paradigma berpikir kelompok-kelompok yang sudah atau rentan terpapar ideologi radikal-ekstrem. Model vaksinasi yang tepat ialah dengan pendekatan hukum yang tegas.
Penegakan hukum yang tegas atas perbuatan intoleransi dan kekerasan akan menjadi semacam terapi kejut yang memberikan efek jera bagi pelaku. Dengan begitu, spiral intoleransi dan kekerasan bisa diputus. Dalam konteks jangka panjang, vaksinasi ideologi harus menyasar seluruh kelompok masyarakat. Di fase ini, orientasi vaksinasi ideologi ialah membagun kesadaran dan komitmen kebangsaan yang kuat.
Dalam konteks jangka panjang, vaksinasi ideologi tentu tidak bisa dilakukan instan. Sebaliknya, vaksinasi ideologi jangka panjang harus dilakukan terus-menerus dan berkala. Ini dimaksudkan agar tidak terjadi kekosongan ideologi di tengah masyarakat yang memudahkan masuknya penetrasi ideologi asing yang berkarakter radikal-ekstrem.
This post was last modified on 3 Maret 2023 2:57 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…