Faktual

Batik dan Pendidikan Toleransi Berbasis Kearifan Lokal

Batik adalah kain bergambar dengan menuliskan atau menerakan malam pada kain yang sudah dikenal dan diwariskan secara turun temurun di Indonesia. Sejarah batik di Indonesia bermula pada zaman kerajaan Hindu-Buddha di pulau Jawa, walaupun banyak versi sejarah tentang asal-usulnya dari pengaruh peradaban lain. Dalam literatur, teknik batik pertama kali diceritakan dalam buku Histroy of Java (1817) oleh Raffles. Batik telah menjadi identitas budaya yang kaya, menggambarkan keindahan dan keragaman budaya Indonesia.

Seiring berjalannya waktu, batik menjadi lebih dari sekadar kain berwarna-warni; ia adalah simbol kebanggaan dan identitas nasional. Batik digunakan dalam berbagai kesempatan penting, dari pernikahan hingga upacara nasional dan keagamaan. Proses pembuatan batik pun menjadi budaya tersendiri, dengan penerapan filosofi dan makna mendalam dalam setiap motifnya.

Kebanggaan nasional ini diwujudkan Indonesia dengan merayakan Hari Batik Nasional pada tanggal 2 Oktober. Tanggal ini dipilih untuk memperingati pengakuan UNESCO pada tahun 2009 yang menetapkan batik Indonesia sebagai Warisan Budaya Tak Benda Manusia. Peringatan ini bukan hanya sekadar merayakan keindahan dan keberagaman motif batik, tetapi juga untuk menghargai warisan budaya yang kaya dan pentingnya melestarikannya.

Peringatan Hari Batik Nasional mengundang partisipasi dari berbagai kalangan masyarakat. Pada hari ini, banyak orang mengenakan batik dengan bangga sebagai simbol nasionalisme dan cinta terhadap budaya Indonesia. Kegiatan seperti pameran batik, kompetisi desain, dan lokakarya batik sering diadakan untuk menghormati seni ini dan memperkenalkannya kepada generasi muda.

Filosofi Batik dalam Toleransi

Batik tidak hanya sekadar kain berwarna-warni; setiap motif batik memiliki makna dan filosofi tersendiri. Nilai-nilai ini mencerminkan kebijaksanaan dan kedalaman pemikiran masyarakat Indonesia. Batik adalah cerminan dari kearifan lokal yang telah ada selama berabad-abad, dan bisa menjadi sarana untuk mengajarkan toleransi pada generasi muda.

Contoh makna filosofi dalam batik yang bisa dihubungkan dengan toleransi adalah motif “parang.” Motif ini terdiri dari garis-garis diagonal yang saling bersilangan, menciptakan tampilan yang seimbang. “Parang” memiliki makna kesetaraan dan persatuan dalam perbedaan. Ini adalah pesan yang kuat tentang pentingnya menghormati dan menghargai perbedaan di antara kita. Dalam masyarakat yang beragam seperti Indonesia, pesan ini menjadi semakin relevan.

Toleransi adalah nilai yang sangat penting dalam masyarakat yang multikultural seperti Indonesia. Kearifan lokal, seperti yang tercermin dalam filosofi batik, dapat menjadi jalan efektif dalam pembudayaan dan pewarisan nilai-nilai toleransi kepada generasi muda. Kearifan lokal mengajarkan kita untuk menghargai dan merayakan keberagaman budaya, agama, dan tradisi. Ini membantu menciptakan atmosfer yang lebih inklusif dan toleran.

Kearifan lokal, melalui seperti filosofi batik, dapat dihubungkan dengan situasi dan pengalaman sehari-hari. Ini membuat pendidikan toleransi lebih relevan dan mudah dimengerti oleh generasi muda.

Tidak hanya perihal toleransi, batik juga memperkuat identitas nasional. Ketika generasi muda memahami dan menghargai warisan budaya mereka, mereka lebih cenderung merasa bangga menjadi bagian dari masyarakat yang beragam.

Rasa bangga ini yang harus terus ditanamkan kepada generasi muda di tengah situasi zaman yang terus berubah. Identitas dan jati diri mudah terkelupas dengan gempuran budaya dari luar yang menghantam generasi masa kini setiap hari.

Batik bukan hanya tentang barang berupa pakaian, tetapi kebanggaan dan warisan yang berisi nilai luhur bangsa. Dengan merayakan batik dan makna filosofinya, kita tidak hanya merayakan warisan budaya kita, tetapi juga mengingatkan diri sendiri akan pentingnya hidup bersama dalam toleransi dan keberagaman.

Selamat Hari Batik Nasional

This post was last modified on 2 Oktober 2023 12:07 PM

Farhah Sholihah

Recent Posts

How to Train Your Dragon dan Menjadi Viking yang Khoiru Ummah

Berkisah tentang Hiccup, remaja Viking yang tinggal di pulau Berk, tempat di mana bangsa Viking…

17 jam ago

Makna Hadis “Iman Kembali Ke Madinah”; Universalisme Kemanusiaan Sebagai Jawaban atas Krisis Global

Ada sebuah hadist yang cukup populer di kalangan umat Islam. Yakni hadist tentang kembali ke…

19 jam ago

Tradisi Suran dan Titik Terendah dari Hijrah

Apa yang tampak baik, dan secara sekilas seperti hal yang dianjurkan, terkadang adalah hal yang…

19 jam ago

Mereka yang Belum Berani Beda, Berani Damai : Refleksi Pembubaran Retreat Pelajar Kristen di Sukabumi

Kabar pembubaran secara paksa yang disertai perusakan terhadap kegiatan retreat pelajar Kristen di Cidahu, Sukabumi, mengoyak nurani…

2 hari ago

Muharam ala Nusantara; Merefleksikan Hijrah dengan Pendekatan Kearifan Lokal

Peringatan Tahun Baru Islam di Nusantara tidak kalah meriahnya dengan perayaan Tahun Baru Masehi. Berbagai…

2 hari ago

Hijrah Seharusnya Pendorong Sikap Inklusif, Bukan Sikap Ekslusif !

Tahun Baru Hijriyah seringkali dipandang sebagai sebuah peristiwa sakral yang menandai perjalanan panjang umat Islam,…

2 hari ago