Faktual

Hijrah Digital; Mempertebal Hubbul Wathan di Era Kecerdasan Buatan

Transformasi digital mengubah seluruh lanskap kehidupan manusia. Tidak terkecuali dalam konteks beragama. Bagi umat Islam, transformasi digital telah mengubah perilaku umat dalam belajar agama, berdakwah, bahkan beribadah.

Beragama platform media sosial menjadi ruang kelas baru bagi umat untuk belajar agama Islam. Media sosial juga menjadi panggung dakwah baru yang melahirkan generasi pendakwah digital. Di era digital ini, gairah keislaman umat meningkat drastis menuju titik euforia yang belum pernah terbayangkan sebelumnya.

Namun, ironisnya transformasi digital itu acapkali menimbulkan residu persoalan. Dakwah di platform digital acapkali dipenuhi oleh ujaran kebencian, fitnah, adu-domba, bahkan narasi-narasi yang menjurus pada radikalisme ekstremisme.

Media sosial juga menjadi corong baru bagi penyebaran paham anti kebangsaan yang merongrong Pancasila dan UUD 1945. Belum lagi, media sosial menjadi sarana indoktrinasi dan rekrutmen anggota jaringan teroris ekstremis.

Residu persoalan itu kian kompleks dengan munculnya teknologi kecerdasan buatan alias AI. Kehadiran AI membawa angin segar bagi kelompok radikal yang menangkap celah di tengah rendahnya literasi digital umat Islam.

Dalam beberapa tahun belakangan, kelompok radikal ekstrem seperti ISIS rutin merilis konten yang diproduksi dengan teknologi AI. Mereka menciptakan realitas buatan untuk memanipulasi alam bawah sadar umat Islam.

Terakhir, ISIS merilis video buatan AI yang menggambarkan dunia masa depan dibawah naungan Khilafah Islamiyyah. Dalam video itu digambarkan dunia yang serba canggih dan modern dimana umat Islam menjadi kelompok paling dominan. Video itu adalah bentuk paling banal dari romantisasi kejayaan Islam di masa lampau. Ironisnya, tidak sedikit umat Islam yang terpukau oleh realitas buatan yang semu tersebut.

Di tangan sengkarut dunia digital inilah, momen tahun baru hijriah idealnya menjadi titik awal umat Islam untuk melakukan hijra digital. Jika Rasulullah dulu hijrah fisik dan Mekkah ke Madinah untuk membangun dakwah dan peradaban baru, umat Islam hari ini harus melakukan hijrah digital. Apa itu hijrah digital?

Hijrah digital adalah upaya kita untuk menyelesaikan antara transformasi teknologi digital dengan maqasyid syariah alias tujuan pokok hukum Islam. Yaitu menjaga nyawa, agama, akal, keturunan, dan harta.

Artinya, teknologi digital idealnya digunakan untuk menjaga kelima tujuan pokok syariah tersebut. Bukan sebaliknya, transformasi digital justru menjadi ancaman bagi nyawa, agama, akal, keturunan, dan harta manusia. Hijrah digital dapat dirumuskan ke dalam sejumlah poin penting.

Pertama, membangun model dakwah digital yang bercorak moderat toleran. Panggung dakwah digital harus menjadi corong bagi kampanye moderasi beragama. Dakwah digital harus menyebarkan pesan damai dan nirkekerasan bagi umat Islam.

Sekilas ini persoalan mudah, padahal kenyataannya tidak. Harus diakui, panggung dakwah digital kita hari ini cenderung masih didominasi oleh narasi intoleran radikal yang disebar oleh para penceramah agama berkarakter konservatif.

Sedangkan, kelompok moderat cenderung menjadi silent majority yang bersikap pasif di tengah pertarungan wacana keagamaan ini. Maka, perlu semacam gerakan kolektif untuk mendorong para ustad dan penceramah atau pegiat moderasi beragama untuk aktif di ranah digital.

Moderasi beragama harus dihadirkan ke dalam bentuk narasi dan konten digital yang menarik terutama bagi kalangan generasi Z yang menjadi populasi terbesar di jagad medsos. Hijrah dalam konteks ini adalah meninggalkan budaya pasif dan beranjak ke sikap yang lebih aktif dalam mengkampanyekan moderasi beragama di ranah digital.

Kedua, memperkuat literasi digital di kalangan umat. Tujuannya agar umat lebih punya filter untuk menseleksi konten dan narasi yang beredar di media sosial. Penguatan literasi digital adalah semacam benteng umat dari infiltrasi virus radikalisme dan ekstremisme yang menyebar di kanal-kanal digital.

Terakhir, yang tidak kalah pentingnya adalah mengobarkan semangat cinta tanah air di ranah digital. Nasionalisme di era kecerdasan buatan harus ditafsirkan ulang. Bukan sekadar seremonial seperti upacara bendera atau perayaan hari besar nasional.

Lebih dari itu, nasionalisme harus mewujud pada komitmen penuh menjaga kedaulatan bangsa dan negara dari intevensi asing. Sebagai bangsa yang besar, Indonesia kerap menjadi sasaran empuk berbagai kepentingan asing. Mulai dari penguasaan sumber daya alam, perebutan wilayah geografis, serta infiltrasi politik.

Intervensi asing tidak selalu berbentuk ancaman agresi militer, namun juga psywar dan proxy  war dengan memakai narasi atau isu sensitif. Sebaran narasi propaganda yang kerap mengandung unsur misinformasi bahkan hoaks menjadi senjata intevensi asing di era kecerdasan buatan ini. Maka dari itu, ketahanan nasionalisme menjadi benteng terakhir menjaga kedaulatan bangsa.

Siti Nurul Hidayah

Recent Posts

Hijrah Perilaku Digital: Dari Kubangan Provokasi Menuju Kejernihan Literasi

Dalam konteks dunia modern yang serba digital, makna hijrah perlu dimaknai ulang secara lebih relevan.…

9 menit ago

Hijrah Menjadi Muslim Pancasilais

1445 tahun yang lalu, Nabi Muhammad berhijrah dari Mekkah ke Yatsrib yang kelak bernama Madinah.…

12 menit ago

Urgensi Asabiyyah Menurut Ibnu Khaldun

Eksistensi negara sangat dipengaruhi oleh soliditas dan solidaritas antar warga negara. Jika antar komunitas dalam…

1 hari ago

Hamemayu Hayung Bawana dan Perdamaian Global

Eskapisme kerapkali menjadi stigma dari sebuah spiritualitas, entah itu spiritualitas yang berbasiskan agama ataupun spiritualitas…

1 hari ago

Pancasila di Tengah Intevensi Asing; Mencari Titik Temu Nasionalisme dan Internasionalisme

Dalam banyak kesempatan, Presiden Prabowo Subianto selalu mewanti-wanti agar masyarakat waspada pada intevensi asing. Bentuk…

1 hari ago

Menjaga Komitmen Kebangsaan di Tengah Tatanan Global yang Rapuh

Dunia sedang berada dalam persimpangan yang genting. Eskalasi konflik geopolitik di berbagai belahan dunia—dari perang…

2 hari ago