Narasi

Beda Pilihan, Tetap Toleran : Tips Menghindari Pemilu dari Segregasi dan Intoleransi

Dalam segala hal, manusia itu tidak bisa lepas dari perbedaan. Baik dalam segi entitas fisik kita, keyakinan agama yang kita miliki dan bahkan kita cenderung memiliki orientasi berpikir yang berbeda-beda. Sebab, perbedaan adalah fitrah kita sebagai manusia yang tidak boleh dikebiri.

Sebagaimana, fitrah demokrasi dalam konteks pemilu, meniscayakan (kebebasan ekspresi) untuk memilih. Pastinya, perbedaan pilihan di antara kita akan selalu ada. Karena fitrah kita sebagai manusia memiliki cara pandang yang berbeda-beda.

Fitrah demokrasi itu tidak pernah meniscayakan segregasi dan intoleransi. Sebab, perbedaan pilihan bukan sebagai jalan untuk kita terpisah, bermusuhan dan bukan sebagai alasan untuk kita bersikap intolerant. Tetapi, sebagai bagian dari (tukar ide/gagasan) secara kolaboratif yang kokoh ke dalam prinsip musyawarah yang harus berkualitas, bermartabat dan beradab.

Berbeda pilihan itu boleh. Karena itu sebagai bagian dari penerimaan fitrah kita. Jadi, perilaku segregasi dan intoleransi adalah bagian dari tindakan yang menyalahi fitrah yang harus kita hindari. Sebagaimana, ada 3 tips bagi kita dalam menghindari segregasi dan intoleransi.

3 Tips Menghindari Segrigasi dan Intoleransi

Pertama, kita boleh berbeda pilihan, tetapi sikapi secara moderat, karena tidak ada satu-pun pilihan di antara kita yang mewakili identitas keagamaan tertentu. Ini sebagai satu jalan menghindari segregasi politik agama pemecah belah. Dengan menjauhi segala klaim eksklusif keagamaan yang dibangun untuk membawa potensi permusuhan. Jadi, hindarilah hilirisasi klaim politik yang eksklusif semacam itu.

Sikapi bahwa semua calon pemimpin sama-sama ingin berjuang untuk bangsa ini. Semua mengikuti ajaran-ajaran agama yang menuntun kepada keadilan, kemakmuran, kebaikan dan kemaslahatan bangsa. Jadi, sikapi perbedaan pilihan itu sebagai bagian dari cara kita (bersama) untuk saling berkompetisi secara sehat demi Indonesia kuat.

Kita harus menghindari bentuk klaim jika pilihan kita tidak jadi maka Indonesia dianggap akan hancur dan tidak sesuai ajaran agama. Klaim-klaim semacam ini kita jauhi dan menyikapi persaingan politik dan perbedaan pilihan ke dalam satu kesadaran bahwa kita sama-sama memiliki tujuan yang terbaik untuk bangsa ini dan kontestasi pemilu adalah cara kita menyepakati berdasarkan suara mayoritas, bukan politik kebencian/klaim identitas.

Kedua, perbedaan pilihan dalam pemilu bukan disikapi layaknya perbedaan agama. Perbedaan pilihan politik sama halnya perbedaan “ijtihad”. Setiap kita tidak berhak menuduh ijtihad politik kita paling baik. Jadi, perbedaan ijtihad politik adalah cara paradigmatis menuju pemilihan pemimpin yang berkualitas dan membawa masa depan bangsa yang lebih baik.

Jadi, menghargai perbedaan pilihan yang kita miliki sama-halnya kita menghargai esensi kemajemukan. Bagaimana setiap kita tidak hanya berbeda secara bentuk fisik, warna kulit dan agama. Tetapi Tuhan juga meniscayakan kita sebuah perbedaan cara pandang, secara argumentasi dan idealisme/sikap politik yang kita miliki.

Maka, di sinilah secara orientasi, bahwa deradikalisasi lewat pemilu meniscayakan kesadaran bersama. Bahwa kita memiliki hak yang sama sebagai manusia dalam berkontribusi untuk kebaikan bangsanya sendiri. Jadi, berbeda pilihan bukan sebagai jalan untuk kita bersikap intolerant.

Ketiga,hindari sentiment politik berbungkus agama. Ini sebagai bagian dari menghindari segregasi politik agama pemecah-belah. Demi menghentikan “akar konflik” dalam pemilu dengan menjadikan agama sebagai alasan utama untuk berpecah-belah. Jadi, siapa-pun pilihan kita, jangan sampai perbedaan pilihan itu dikaitkan dengan perbedaan “pilihan agama”.

Sentiment keagamaan cenderung membuat kita mudah dikuasai kelompok radikal. Seperti yang disampaikan oleh Ibnu Rusyd, bahwa “Untuk menguasai orang bodoh, bungkus-lah sesuatu yang batil dengan agama”. Kebatilan politik kerap membawa permusuhan antar identitas keagamaan.            

Jadi, menjauhi sentiment politik keagamaan sebagai jalan penting bagi kita dalam menghindari segregasi politik agama pemecah-belah. Tanamkan komitmen, bahwa perbedaan pilihan harus disikapi secara sehat, bermartabat, berkualitas dan beradab. Karena perbedaan adalah fitrah dan fitrah demokrasi tidak meniscayakan segregasi dan intoleransi yang harus kita hindari.

This post was last modified on 26 Januari 2024 11:19 AM

Nur Samsi

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

5 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

5 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

5 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago