Indonesia kembali digemparkan dengan ditangkapnya dua terduga terorisme di dua tempat yang berbeda dalam dua hari berturut-turut. Salah satu terduga teroris berinisial H.O.K. berusia 19 tahun dilaporkan berniat melakukan serangan di dua tempat ibadah di kota Malang dan mengakhirinya dengan bom bunuh diri.
Motif bom bunuh diri (suicide bombing) adalah doktrin yang lumrah diajarkan oleh kelompok ekstremis kepada para kader kombatan untuk menyerang orang ‘kafir’ dengan dalih menjemput bidadari Tuhan.
Di Indonesia, kasus bom bunuh diri bukanlah hal baru. Sebelumnya, kasus serupa sudah banyak terjadi, yaitu kasus bom Bali pada 12 Oktober tahun 2002, bom Bali 2005, bom hotel JW Mariott Jakarta 2003, bom Kalimalang 2010, bom Masjid Cirebon 2011, bom Sarinah 2016, hingga bom Kampung Melayu Jakarta 2017.
Entah bagaimana ceritanya, para tokoh-tokoh agama radikal ekstremis ini bisa sangat sukses melanggengkan doktrin yang sesat ini.
Jika H.O.K. tidak tertangkap, bom bunuh diri yang mungkin akan dilakukan tentu sangat merugikan, baik materiil dan moril, bagi jemaat di tempat ibadah itu sendiri dan masyarakat di sekitarnya.
Di sisi lain, kerugian moril tentu tidak hanya dirasakan oleh korban di kejadian, namun juga dirasakan oleh kelompok yang “direpresentasikan” oleh sang pelaku, sebut saja umat Muslim yang selalu menjadi pusat perhatian atas rentetan kejadian terorisme di Indonesia.
Pertanyaannya, mengapa umat Muslim bisa beribadah dengan nyaman dan tenang, bahkan pelantang masjid pun meraung secara keras yang pada derajat tertentu cenderung mengganggu orang lain, namun Islam tetap tidak mendapat tindakan teguran berarti terhadap hal ini?
Kontras dengan itu, ketika umat agama lain ingin melakukan ibadah, kenapa mereka harus berpikir dan meyakinkan diri ribuan kali supaya ibadah mereka aman?
Tidak usah berpikir jauh-jauh tentang ibadah yang nyaman, tenang, dan tentram, mereka bisa beribadah dengan aman saja sudah patut disyukuri. Umat Kristen seringkali kesulitan dalam membangun gereja, dan jikapun diizinkan, birokrasinya biasanya berbelit-belit.
Jika memang H.O.K. ini mengaku sebagai orang Islam, pertanyaannya, ajaran Islam macam apa yang melatarbelakangi motif bom bunuh diri ini?
Dalam Al-Qur’an, hanya sekitar 2,1% ayat yang berbicara mengenai perang. Perlu diingat bahwa ayat-ayat kekerasan tersebut bersifat kontekstual, artinya ia turun dengan konteks tertentu ketika umat Nabi Muhammad telah terdesak oleh ketidakadilan, dan meskipun begitu, umat Muslim tidak serta merta diizinkan untuk berperang.
Yang perlu dicatat juga, bahwa ayat-ayat perang yang muncul dalam Al-Qur’an adalah bersifat defensive (dalam rangka bertahan). Artinya umat Islam harus terlebih dahulu dalam posisi yang terintimidasi, baru perintah untuk melawan tersebut dikeluarkan.
Sebagai muslim, kita memang diajarkan untuk sangat mencintai agamanya. Tentu kita sangat familiar dengan frase “cinta Islam sampai mati, “la ilaha illallah muhammadurrasulullah”.
Doktrin ini adalah benar. Ia mengajarkan keteguhan hati dengan memeluk Islam secara kaffah. Akan tetapi, doktrin ini menjadi salah kaprah ketika cinta itu tidak diiringi dengan ilmu yang memadai.
Orang-orang yang terlalu cinta kepada agama tanpa ilmu yang memadai kemudian menjadi sangat mudah terombang-ambing oleh realitas sosial. Termasuk sangat mudahnya mereka terpancing dan terpapar oleh ideologi-ideologi radikal.
Para kelompok ekstremis ini menjanjikan doktrin yang mengakomodir kecintaan mereka terhadap Islam. Caranya, mereka menanamkan doktrin bahwa umat Islam adalah korban kezaliman dan tidak mempunyai banyak pilihan, pada akhirnya aksi terorisme menjadi satu-satunya upaya mereka untuk menyerang balik terhadap pihak yang mereka pikir menciptakan ketidakadilan itu.
Tetapi playing victim ini hanyalah sebuah pseudo yang ditanamkan pada korban-korbannya seperti H.O.K. Mengapa mereka sangat mudah dicekoki doktrin-doktrin palsu tersebut?
Jawabannya karena mereka memang tidak mempunyai kapasitas ilmu yang memadai tentang ke-Islaman, orang-orang ini sangat mudah dieksploitasi demi keinginan dan ambisi kelompok-kelompok tersebut.
Cinta terhadap Islam terejawantah dalam iman yang juga kuat terhadap Islam. Keterpaduan iman dan ilmu ini disinggung oleh Allah dalam QS. al-Mujadilah: 11,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا۟ فِى ٱلْمَجَٰلِسِ فَٱفْسَحُوا۟ يَفْسَحِ ٱللَّهُ لَكُمْ ۖ وَإِذَا قِيلَ ٱنشُزُوا۟ فَٱنشُزُوا۟ يَرْفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْعِلْمَ دَرَجَٰتٍ ۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Mengapa Allah menggandengkan antara iman dan ilmu? Karena kedua kata tersebut memiliki hubungan satu sama lain yang sangat erat, di mana jika orang bertambah imannya maka semestinya bertambah jugalah ilmunya.
Mirisnya, yang sedang banyak terjadi di zaman digital sekarang ini justru banyak orang yang terlalu beriman, terlalu cinta, tetapi tidak dilandasi dengan ilmu yang memadai, sehingga mereka hanya melakukan sesuatu yang seolah-olah membela imannya dan memanifestasikan cintanya dengan mengabaikan fakta bahwa manusia bukan hanya transenden, namun juga sosial.
Akhir kalam, cinta itu buta, kepada siapapun termasuk kepada agamanya sendiri. Cinta itu akan kosong karena tidak dituntun oleh ilmu dan kesadaran pemeluknya. Cinta tanpa diiringi dua hal tersebut akan menjadi cinta yang destruktif, karena ia tanpa pelita, ia berjalan tidak karuan mengikuti arah egonya berjalan.
Cinta bisa membawa pemeluknya ke surga jika dilakukan dengan benar, sebaliknya, cinta justru bisa menjerumuskan ke neraka karena dilandasi oleh kebodohan dan keegoisan.
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…