Narasi

Bukan karena Khilafah, Inilah 3 Makna Bencana dalam Islam

Bencana alam yang terjadi di Cianjur telah menjadi duka nasional. Saat artikel ini ditulis, tercatat sudah 318 orang meninggal dunia dengan puluhan ribu rumah dan fasilitas publik mengalami kerusakan: ringan, sedang, dan berat. Hanya saja, masih saja ada pihak-pihak tidak bertanggungjawab yang membangun narasi bahwa bencana alam merupakan hukuman karena tidak menegakkan khilafah Islam. Pendapat tersebut, tentu saja merupakan bentuk argumentasi yang tidak memiliki dasar yang kuat. Maka itu, diperlukan pemahaman komprehensif mengenai makna bencana dalam Islam.

Ihwal bencana alam yang terjadi di muka bumi, Quraish Shihab  menganalisa bencana dengan beberapa konsep seperti musibah, bala’, azab, iqob, dan fitnah dengan pengertian dan cakupan makna yang berbeda-beda sesuai yang ada dalam al-Qur’an. Hanya saja, secara garis besar, setidaknya kita bisa memetakan 3 makna bencana alam menurut Al-Qur’an.

Pertama, musibah. Kata musibah (arti: mengenai atau menimpa) secara keseluruhan disebutkan sebanyak 76 kali dengan kata yang seakar dengannya. Al-Qur’an menggunakan kata musibah yang berarti sesuatu yang tidak menyenangkan yang menimpa manusia. Hanya saja, yang perlu diingat, musibah tidak akan terjadi tanpa izin Allah (QS. At-Taghabun: 11). Meskipun, bisa jadi musibah terjadi karena ulah manusia (QS. An-Nisa’: 79 dan QS. Asy-Syuura’: 30). Dalam konteks tersebut, sikap kita ketika tertimpa musibah ialah tetap tidak boleh berputus asa. (QS. Al-Hadid: 22)

Kedua, bala’ atau ujian. Kata bala’ disebutkan sebanyak enam kali dalam al-Qur’an. Makna yang terkandung adalah ujian yang dapat menampakkan kualitas iman seseorang. Harus dipahami, ujian adalah keniscayaan bagi setiap makhluk hidup. Manusia yang hidup, pasti akan menerima ujian. Hanya saja, yang menentukan waktu dan bentuk ujian adalah Allah tanpa adanya keterlibatan yang diuji. (QS. al-Mulk: 2) Ujian tersebut, bisa jadi hal yang menyenangkan dan tidak  menyenangkan. Hal tersebut bergantung kualitas dan kemampuan manusia memaknai hal yang menimpa pada diri mereka  masing-masing. Ujian tersebut juga bisa jadi yang menimpa cara  Tuhan mengampuni dosa, menyucikan jiwa dan meninggikan derajatnya.

Ketiga, fitnah atau cobaan. Cobaan Allah ini bisa berupa kebaikan dan keburukan. Bisa juga berupa peringatan dari Allah. Apabila peringatan tidak diindahkan/diperhatikan, maka akan dijatuhkan cobaan yang lebih besar lagi. Hal tersebut sudah merupakan sistem yang ditetapkan-Nya. Namun demikia, cobaan bentu cobaan yang diberikan oleh Allah Swt., bisa juga menimpa orang-orang yang tidak bersalah.

Bencana alam, yang menimpa manusia, bisa jadi merupakan musibah, bala’ atau fitnah. Tergantung bagaimana manusia memaknai apa yang menimpa diri. Disinilah manusia semestinya memiliki sikap bijak (wise) agar dapat mengambil pelajaran berharga untuk diterapkan dalam kehidupan. Mengatakan bahwa bencana ini sebagai hukuman karena tidak menerapkan khilafah sungguh bentuk sikap tidak bijak. Hal ini karena hanya Allah-lah yang Maha Mengetahui setiap hal yang terjadi. Allah Swt. bisa menimpakan suatu bencana kepada manusia baik dengan alasan ataupun tanpa alasan. Membuat-buat alasan atas takdir yang terjadi, sama juga manusia sedang mengambil peran Tuhan yang Maha Kuasa.

Lagipula, melabeli bencana sebagai hukuman karena kesalahan yang dilakukan oleh manusia juga sesungguhnya merupakan bentuk perilaku prasangka buruk (su’udzon). Islam jelas melarang manusia untuk berprasangka buruk baik kepada manusia maupun kepada Tuhan (QS. Al-Hujurat: 22). Maka itu, ketika seseorang berprasangka buruk bahwa bencana terjadi sebagai hukuman tidak menegakkan khilafah, bukankah itu sama halnya mengatakan pemuja khilafah tidak sepenuhnya menerapkan ajaran Islam? Maka, ketika mereka mengatakan, akan membangun negara yang dapat menerapkan seluruh ajaran Islam untuk menciptakan kesejahteraan, itu merupakan hal utopis yang tidak pernah terwujud. Ini karena mereka sendiri mengingkari konsep yang mereka dengungkan.

Bencana, bagaimanapun, adalah kuasa Allah Swt. Sebagai hamba, manusia tidak akan pernah bisa melawan ketetapan Tuhan tentang bencana yang terjadi. Maka itu, sikap yang perlu diambil ialah tidak menempatkan bencana sebagai pembenaran atas opini yang dibangun tanpa argumentasi yang kokoh. Terlebih, menisbatkan bencana pada khilafah. Membuktikan khilafah sebagai ajaran yang harus ditegakkan dalam sistem kenegaraan saja tidak bisa, apalagi mengaitkan ajaran tersebut dengan bencana. Wallahu a’lam bish-shawaab.

This post was last modified on 28 November 2022 2:39 PM

Mohammad Sholihul Wafi

Alumni PP. Ishlahusy Syubban Kudus.

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

16 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

16 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

16 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

16 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago