Narasi

Butuh Kepemimpinan Agama yang Progresif : Menawarkan Solusi, Bukan Sensasi

Di era kemajuan teknologi informasi, umat beragama dihadapkan pada tantangan besar dalam menjaga esensi ajaran agama mereka sambil tetap relevan dengan konteks zaman. Konservatisme, yang sering kali berakar pada penafsiran tekstual yang kaku, dapat menghambat kemajuan dan meredam semangat inklusivitas dalam kehidupan beragama.

Agama seharusnya menawarkan solusi, bukan sensasi apalagi kontroversi di tengah tantangan zaman. Salah satu contoh misalnya tentang hubungan lintas agama. Agama bukan semakin meruncingkan dan memperkeruh hubungan antar agama, tetapi bagaimana memberikan solusi yang mencairkan hubungan antar agama.

Dalam praktek keragaman di Indonesia, hubungan antar agama adalah sebuah keniscayaan yang harus dijaga. Pemimpin dan umat beragama harus mampu membaca konteks ini sebagai sebuah tantangan dengan mengembangkan cara pandang beragama yang progresif, bukan regresif yang mundur ke belakang. Alih-alih menawarkan solusi, pandangan yang regresif justru hanya menimbulkan keriuhan yang kontra produktif.

Cara pandang beragama sangat penting. Kelompok regresif memiliki epistimologi beragama yang konservatif. Mereka cenderung menentang perubahan yang drastis yang dianggap mengganggu stabilitas atau identitas tradisional suatu masyarakat atau agama.

Konservatisme dalam konteks beragama merujuk pada kecenderungan untuk mempertahankan ajaran dan praktik agama secara ketat berdasarkan teks-teks suci tanpa mempertimbangkan perubahan sosial dan konteks zaman.

Mereka memahami ajaran agama secara literal dan menolak penafsiran yang lebih fleksibel. Pendekatan ini dapat menyebabkan stagnasi dalam perkembangan sosial dan budaya, serta menghalangi dialog antarumat beragama yang lebih inklusif. Kelompok konservatif berpegang teguh pada hukum-hukum yang telah ditetapkan dalam Al-Quran dan Hadist tanpa mempertimbangkan konteks sosial yang berubah.

Pada prakteknya, corak pemimpin agama yang seperti ini akan menimbulkan persoalan. Mereka cenderung mempertahankan tradisi lama dan menolak perubahan, yang dapat mengakibatkan interpretasi agama yang sempit dan kurang relevan dengan tantangan modern. Mereka selalu merasa dalam ancaman baik ancaman dari agama lain dan tantangan zaman yang terus bergulir.

Karena itulah, dibutuhkan pemimpin dan ormas keagamaan yang progresif dalam memahami teks suci yang terus berdialog dengan zaman. Corak keberagamaan ini membutuhkan cara pandang yang esensial dengan fokus pada inti dan tujuan utama ajaran agama, yaitu nilai-nilai universal seperti keadilan, kedamaian, kasih sayang, dan kemanusiaan. Pendekatan ini menekankan esensi moral dan etika agama yang tidak terbatas oleh waktu dan tempat. Dalam Islam, misalnya, nilai-nilai seperti “rahmatan lil ‘alamin” (rahmat bagi semesta alam) dan prinsip keadilan sosial adalah inti ajaran yang harus diutamakan.

Pendekatan esensial ini mengajak umat beragama untuk melihat melampaui praktik ritual dan hukum yang literal, menuju pemahaman yang lebih dalam tentang tujuan mulia dari ajaran agama. Pendekatan esensial dalam beragama mampu menciptakan harmoni dan keadilan sosial yang lebih luas, karena fokusnya pada nilai-nilai universal yang diterima oleh semua umat manusia, seperti keadilan, kedamaian, kasih sayang, dan kemanusiaan.

Pendekatan esensial dalam beragama sering kali sejalan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia, juga menekankan pentingnya mengatasi ketimpangan sosial dan ekonomi. Dengan mengedepankan nilai-nilai HAM, agama dapat memainkan peran penting dalam mendukung dan memperjuangkan hak asasi manusia dan juga dapat berkontribusi dalam upaya mengurangi kesenjangan sosial dan menciptakan masyarakat lebih adil dan sejahtera.

Beragama secara kontekstual melibatkan penyesuaian ajaran agama dengan perkembangan zaman dan perubahan sosial. Pendekatan ini mengakui bahwa teks-teks agama sering kali diturunkan dalam konteks historis tertentu yang mungkin berbeda dengan situasi kontemporer. Oleh karena itu, interpretasi agama harus mempertimbangkan realitas sosial dan kebutuhan umat saat ini.

Kepemimpinan agama yang progresif sangat dibutuhkan dalam mengembangkan pemahaman yang esensial dan inklusif. Pemimpin agama harus memainkan peran aktif dalam mengarahkan umat mereka menuju pemahaman agama yang lebih esensial dan kontekstual. Pemimpin agama yang progresif dapat memberikan interpretasi yang relevan dengan perkembangan zaman dan mendorong umat untuk mengamalkan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari.

Imam Santoso

Recent Posts

Prebunking vs Propaganda: Cara Efektif Membendung Radikalisme Digital

Di era digital, arus informasi bergerak begitu cepat hingga sulit dibedakan mana yang fakta dan…

2 jam ago

Tantangan Generasi Muda di Balik Kecanggihan AI

Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) telah membawa dampak signifikan dalam berbagai aspek kehidupan. Pengaruhnya…

5 jam ago

Belajar dari Tradisi Islam dalam Merawat Nalar Kritis terhadap AI

Tak ada yang dapat menyangkal bahwa kecerdasan buatan, atau AI, telah menjadi salah satu anugerah…

5 jam ago

Kepemimpinan Kedua Komjen (Purn) Eddy Hartono di BNPT dan Urgensi Reformulasi Pemberantasan Terorisme di Era AI

Presiden Prabowo Subianto kembali melantik Komjen (Purn) Eddy Hartono sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme…

1 hari ago

Hubungan Deepfake dan Radikalisasi: Alarm Bahaya bagi Kelompok Rentan

Dunia digital kita sedang menghadapi sebuah fenomena baru yang mengkhawatirkan: krisis kebenaran. Jika sebelumnya masyarakat disibukkan…

1 hari ago

Evolusi Terorisme Siber; Dari Darkweb ke Deepfake

Sebagai sebuah ideologi dan gerakan sosial-politik, terorisme harus diakui memiliki daya tahan alias resiliensi yang…

1 hari ago