Desember 2025 akan mencatat sejarah baru bagi Indonesia. Untuk pertama kalinya sejak kemerdekaan, Kementerian Agama (Kemenag) menggelar perayaan Natal bersama tingkat nasional secara resmi. Puncaknya dijadwalkan pada 29 Desember 2025 di Jakarta dengan tema “C-LIGHT: Christmas – Love in God, Harmony Together.”
Inisiatif tersebut disambut dengan kegaduhan. Narasi klasik tentang sinkretisme, pencampuradukan agama, hingga kristenisasi kembali mendominasi ruang diskusi publik. Sebagian pihak menuduh negara sedang memfasilitasi peleburan iman.
Padahal, jika kita mau menengok keluar jendela dan melihat dunia dengan kacamata yang lebih luas, apa yang dilakukan Kemenag bukanlah laku iman yang berbahaya. Justru, ini adalah praktik kenegaraan yang lumrah dilakukan oleh negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim lainnya.
Menteri Agama Nasaruddin Umar telah menegaskan garis demarkasi yang jelas, ibadah ritual tetap eksklusif, sementara perayaan sosial bersifat inklusif. Format acara yang dirancang sangat spesifik. Ibadah oikoumene yang menyatukan umat Protestan dan Katolik tetap menggunakan liturgi yang menghormati tradisi masing-masing tanpa intervensi agama lain. Baru setelah ritual usai, perayaan beralih ke seremoni kebangsaan yang dihadiri lintas iman.
Ini sejalan dengan pedoman Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang batasan area muamalah dan akidah. Kemenag memfasilitasi ruang jumpa kemanusiaan. Tema C-LIGHT yang diusung menekankan nilai universal seperti kasih sayang dan harmoni, bukan penyatuan teologi.
Kita Tidak Sendirian
Jika ada yang merasa perayaan Natal yang disponsori negara mayoritas Muslim adalah hal yang aneh, mari kita lihat tetangga global kita.
Di Pakistan, sebuah republik Islam yang konstitusinya sangat ketat, pemerintah justru terlibat aktif lewat Departemen Urusan Minoritas dan Hak Asasi Manusia. Pada Natal 2025 ini, pemerintah Punjab bahkan menggelontorkan dana hibah sebesar Rs 10.500 hingga Rs 15.000 (sekitar 600-800 ribu rupiah) per keluarga Kristen untuk membantu perayaan mereka.
Negara juga menyediakan pengamanan khusus dan dekorasi pohon Natal di institusi publik. Pakistan memilih pendekatan kesejahteraan ekonomi untuk menghormati minoritasnya.
Bergeser ke Mesir, Presiden Abdel Fattah El-Sisi telah mentradisikan kehadiran kepala negara dalam misa Natal Gereja Koptik Ortodoks setiap tahunnya. Pemerintah Mesir bahkan meresmikan gereja terbesar di Timur Tengah di Ibu Kota Administratif Baru. Ini adalah simbolisme tingkat tinggi bahwa Kristen Koptik adalah bagian tak terpisahkan dari tubuh bangsa Mesir.
Sementara itu, Turki di bawah Erdogan—yang sering dijadikan rujukan politik identitas di Indonesia—justru melakukan pengembalian aset properti yayasan Kristen yang dulu disita dan mempermudah izin aktivitas gereja. Bahkan di Lebanon, pluralisme dilembagakan secara konstitusional dengan mengakui Natal (25 Desember) dan Natal Armenia (6 Januari) sebagai hari libur resmi negara.
Dibandingkan negara-negara yang tadi disebut, pendekatan Indonesia terbilang unik dan progresif. Tidak seperti Singapura yang perayaannya berbasis inisiatif akar rumput atau civil society, di Indonesia, inisiatif ini datang langsung dari struktur negara.
Ini mengirimkan sinyal kuat bahwa urusan kerukunan bukan urusan sekunder, melainkan tugas pokok negara. Rangkaian acara yang dimulai sejak 23 November 2025, meliputi jalan sehat lintas iman, seminar teologi ekologis, hingga aksi sosial di Sorong dan Manado, menunjukkan bahwa ini bukan sekadar pesta seremonial satu malam, melainkan gerakan edukasi nilai.
Langkah ini mendobrak stigma lama. Kita tahu, pada 1981 pernah ada fatwa yang membatasi partisipasi Muslim dalam Natal demi memurnikan akidah. Namun, konteks zaman telah berubah. Kemenag di tahun 2025 berani mengambil posisi bahwa menjaga akidah tidak harus dilakukan dengan cara memusuhi atau menjauhi perayaan saudara sebangsa.
Tentu saja, seremoni di Jakarta tidak serta-merta menghapus diskriminasi di daerah. Seperti catatan Wahid Foundation, pekerjaan rumah terbesar kita adalah intoleransi sistemik, seperti sulitnya izin pendirian gereja dan pelarangan ibadah di level lokal.
Namun, justru di situlah letak urgensi inisiatif ini. Ketika pemerintah pusat memberikan teladan penghormatan yang begitu tinggi terhadap Natal, hal ini menjadi tamparan sekaligus teguran bagi pemerintah daerah yang masih mempersulit izin gereja.
Pada akhirnya, perayaan Natal bersama Kemenag bukanlah upaya pendangkalan akidah. Sebaliknya, ini adalah bukti kedewasaan beragama dan bernegara. Jika negara-negara Islam lain seperti Pakistan dan Mesir saja mampu memuliakan warganya yang merayakan Natal tanpa kehilangan identitas keislaman mereka, mengapa kita harus merasa terancam?
Setiap menjelang peringatan Natal, ruang publik digital kita riuh oleh perdebatan tentang boleh tidaknya umat…
Di tengah pluralitas agama yang menjadi ciri khas Indonesia, gagasan “agama cinta” sering terdengar sebagai…
Belakangan ini, lini masa media sosial ramai dengan perbincangan terkait keputusan Kementerian Agama untuk menggelar…
Desember selalu memiliki aroma yang khas. Ada bau tanah basah sisa hujan sore hari, aroma…
Agenda Natal Bersama Kementerian Agama 2025 menuai polemik di tengah masyarakat. Agenda itu dianggap sebagai…
Di era modern ini, kita sering terjebak dalam sebuah kerancuan berpikir yang cukup fatal mengenai…