Indonesia bisa dikatakan sebagai negara yang unik. Kita bukan negara agama, sekaligus juga bukan negara sekuler. Relasi agama dan negara dalam konteks Indonesia didesain dengan spirit yang moderat. Indonesia tidak didasari oleh hukum satu agama. Namun, sistem hukum kita tidak meminggirkan agama dari ruang publik.
Maka, relasi agama dan negara di Indonesia cenderung lebih cair, luwes, dan moderat. Hal ini tampak pada perayaan Hari Besar Keagamaan yang selalu difasilitasi oleh negara. Bahkan, negara membentuk Kementerian Agama yang khusus mengurusi kegiatan keagamaan dan problem terkait urusan umat beragama. Eksistensi Kementerian Agama adalah untuk menaungi seluruh komunitas agama resmi yang diakui oleh pemerintah.
Sayangnya, di era disrupsi saat ini, relasi agama dan negara mendapat gugatan dari sejumlah kalangan. Kelompok konservatif yang sejak awal menghendaki berdirinya pemerintahan dan negara berbasis hukum agama membuka lagi debat klasik terkait relasi agama dan negara di ruang publik.
Di era disrupsi, ketika diskursus sosial lebih banyak terjadi di dunia maya, isu keagamaan pun kerap menjadi trending topic. Termasuk isu terkait rencana Kementerian Agama menggelar acara Natal Bersama.
Netizen terpecah ke dalam dua pandangan yang berbeda. Di satu sisi, banyak masyarakat mendukung kegiatan ini sebagai wujud kehadiran pemerintah atau negara dalam kehidupan beragama. Di sisi lain, ada pula yang menganggap kegiatan itu sebagai sinkretisme yang mengancam akidah Islam.
Setidaknya ada tiga perspektif untuk memahami polemik Natal Bersama ini. Pertama, penting untuk memahami apa Natal Bersama yang digagas Kemenag tersebut. Tanpanya masih banyak umat Islam salah paham terkait kegiatan ini. Sebagian umat menganggap Natal Bersama adalah perayaan Natal yang melibatkan umat Islam. Padahal, jika merujuk pada keterangan Menteri Agama Nasaruddin Umar, Natal Bersama itu diadakan untuk umat Kristen Katolik dan Protestan serta aliran-aliran yang ada di dalamnya.
Jadi, Natal Bersama bukan perayaan Natal umat Kristen dan umat Islam. Di titik ini, argumen Natal Bersama sebagai sinkretisme itu tidak tepat. Natal Bersama tidak ada unsur mencampuradukkan ajaran agama yang berbeda-beda.
Melainkan sebuah upaya merajut kerukunan beragama di internal Kristen. Natal Bersama 2025 ini berbeda dengan kegiatan Natal Bersama yang diadakan pemerintah di zaman Orde Baru. Kala itu, Natal dan Idul Fitri diperingati bersamaan oleh sejumlah instansi pemerintah karena harinya berdekatan.
Kedua, acara Natal Bersama lebih dipahami sebagai ritus kebangsaan ketimbang semata sebagai ritus keagamanan. Artinya, fungsi Kementerian Agama dalam acara tersebut adalah sebagai representasi dari negara. Kehadiran negara dalam kehidupan beragama adalah amanat konstitusi. Jadi, acara Natal Bersama Kemenag tidak lain merupakan bentuk tanggung jawab negara atas kehidupan beragama warganya.
Ketiga, umat Islam harus bisa membedakan mana ranah akidah dan muamalah. Ucapan selamat Natal dari seorang muslim ke umat Kristen bukanlah bentuk pengakuan atas keimanan Nasrani. Ucapan Selamat Natal adalah komunikasi publik di tengah masyarakat multikultural dan multireliji.
Ucapan selamat Natal tidak menodai kesucian tauhid seorang muslim. Hal ini telah banyak dibahas dan dipraktikkan oleh para ulama. Misalnya, Grand Syekh Al Azhar, Mesir yang selalu mengucapkan selamat Natal secara khusus pada Paus sebagai pemimpin tertinggi gereja Vatikan.
Agenda Natal Bersama yang digagas Kementerian Agama patut diapresiasi sebagai penegas bahwa relasi agama dan negara dalam bingkai NKRI itu bersifat mutualistik alias saling membutuhkan. Agama membutuhkan negara sebagai pelindung. Sedangkan negara membutuhkan agama sebagai sumber moral dan etika berbangsa. Relasi mutualistik ini memungkinkan negara hadir dalam kehidupan beragama warganegara tanpa mengintervensi apalagi membatasi.
Itulah model relasi ideal agama dan negara dalam konteks era modern disruptif. Di era disrupsi, agama telah menjadi bagian dari diskursus publik. Agama mewarnai bahkan mendominasi kehidupan masyarakat di ranah publik. Simbol agama selalu hadir di ruang publik dan mewarnai seluruh sisi kehidupan baik dari sisi politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya.
Di era disrupsi, ketika isu agama rawan dimanipulasi dan dipelintir ke dalam berbagai narasi, kegiatan seperti Natal Bersama adalah sebuah inisiatif yang patut diapresiasi. Natal Bersama kiranya mampu meluruhkan sentimen kecurigaan atau kebencian antaragama atau aliran keagamaan.
Dengan Natal Bersama, wajah Indonesia sebagai negara relijius moderat akan kembali pulih setalah dicabik-cabik oleh radikalisme dan ekstremisme selama bertahun-tahun. Natal Bersama yang dipahami sebagai seremoni kebangsaan akan menjadi jembatan lintas agama dan lintas aliran.
Maka, umat Islam kiranya tidak perlu reaksioner dengan agenda Natal Bersama. Justru ini harus menjadi momentum untuk membuktikan bahwa Islam adalah agama rahmatan lil alamin. Agama yang membawa keselamatan bagi seluruh umat manusia dan alam semesta. Agama yang mampu melindungi kaum minoritas dan memenuhi hak-hak mereka sebagai warganegara yang setara.
Desember selalu memiliki aroma yang khas. Ada bau tanah basah sisa hujan sore hari, aroma…
Agenda Natal Bersama Kementerian Agama 2025 menuai polemik di tengah masyarakat. Agenda itu dianggap sebagai…
Di era modern ini, kita sering terjebak dalam sebuah kerancuan berpikir yang cukup fatal mengenai…
Ketahanan nasional bukan hanya soal kekuatan fisik atau militer, tetapi juga mencakup stabilitas sosial, harmoni…
Dzating manungsa luwih tuwa tinimbang sifating Allah —Ronggawarsita. Syahdan, di wilayah Magetan dan Madiun,…
Semakin ke sini, agama semakin hadir dengan wajah yang sangat visual. Mulai dari gaya busana,…