Narasi

Cinta lah yang Merawat Keberagaman Nusantara

Indonesia, sebuah keberagaman yang nyata, tak henti-hentinya mengajarkan kita tentang hakikat perbedaan. Bukan untuk dipertentangkan, melainkan untuk dirawat, dipupuk, dan pada akhirnya, disyukuri sebagai rahmat. Konsep yang telah lama digaungkan oleh ulama salaf: “perbedaan adalah rahmat”, menemukan relevansinya yang abadi di bumi Nusantara. Ini bukan sekadar ujaran kosong, melainkan sebuah penanda bahwa keragaman adalah sunnatullah dalam kehidupan sosial, sebuah keniscayaan yang harus kita dekati dengan kearifan.

Namun, keragaman tak akan pernah berbuah rahmat jika tak disirami oleh nilai-nilai luhur seperti mahabbah (cinta), ta‘aruf (saling mengenal), dan tahabbu (saling mengasihi). Al-Qur’an sendiri dengan tegas menyerukan, “Waja‘alnākum syu‘ūban wa qabā’ila lita‘ārafū” (QS. al-Ḥujurāt: 13). Ayat ini bukan ajakan untuk menyatukan budaya dalam homogenitas, melainkan sebuah penegasan bahwa persatuan sejati lahir dari harmoni dalam keberagaman, dari proses saling mengenal yang melahirkan ikatan.

Sejarah Islam di Nusantara adalah bukti nyata bagaimana nilai mahabbah ini diterjemahkan secara gemilang dalam ruang budaya lokal. Walisongo, para perintis dakwah di tanah Jawa, bukan sekadar penyampai syariat formalistik. Mereka adalah arsitek sosial yang memahami betul prinsip menyebarkan makna universal Islam melalui idiom-idiom lokal. Tengoklah gotong royong, tepo seliro, atau Pela Gandong di Maluku. Ini adalah manifestasi konkret dari nilai-nilai keislaman yang menyerap dan beradaptasi dengan tradisi lokal tanpa kehilangan esensinya.

Dari perspektif teori sosial, fenomena ini bisa kita pahami melalui lensa memori kolektif Maurice Halbwachs. Nilai-nilai seperti gotong royong, yang dalam Islam tak lain “tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan”, bukanlah sekadar praktik, melainkan bagian dari memori sosial yang membentuk identitas kolektif kita. Ini adalah mahabbah ‘amaliyyah, cinta yang melampaui afeksi, menjelma menjadi kerja kolektif untuk kebaikan bersama. Begitu pula tepo seliro, sebuah cerminan lokal dari konsep ihsan (berbuat baik melampaui kewajiban) dan tahassun (kemampuan menahan diri dari menyakiti sesama), menunjukkan bagaimana nilai-nilai universal berakar dalam praktik keseharian, menjadi bagian tak terpisahkan dari apa yang Pierre Bourdieu sebut sebagai habitus: sistem disposisi yang membentuk cara kita berpikir, merasa, dan bertindak.

Di Maluku, falsafah Pela Gandong bukan hanya adat istiadat, melainkan sebuah sistem etik yang selaras dengan konsep ukhuwah insaniyah ( persaudaraan kemanusiaan ). Ikatan sosial yang dibangun atas dasar sejarah bersama, saling menghormati, dan komitmen kolektif ini adalah contoh nyata bagaimana nilai-nilai luhur keislaman telah lama terinternalisasi dalam tradisi-tradisi lokal, membentuk apa yang Durkheim sebut sebagai solidaritas organik dalam masyarakat modern yang majemuk.

Ironisnya, warisan budaya yang kaya ini kini justru dihadapkan pada gelombang puritanisme keagamaan yang sempit. Tafsir tekstual yang melepaskan diri dari konteks sosial budaya cenderung mudah menolak ekspresi lokal sebagai bentuk bid‘ah atau khurafat. Pendekatan seperti ini tidak hanya ahistoris, tetapi juga anti-dialogis. Ia menafikan realitas kebudayaan sebagai medium pewarisan nilai-nilai universal Islam, sekaligus mengancam memori kebudayaan yang telah terbangun berabad-abad.

Fenomena ini perlu dibaca dalam bingkai penafsiran sosial terhadap teks-teks keagamaan. Para pemikir kontemporer seperti Nasr Hamid Abu Zayd menekankan pentingnya mempertimbangkan realitas sosial dalam membaca wahyu. Teks tidak hadir dalam ruang hampa; ia menuntut keterlibatan akal, konteks, dan kearifan lokal agar maknanya terus hidup dan relevan bagi kehidupan. Mengabaikan konteks sosial dalam interpretasi agama, seperti yang disoroti oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann dalam Konstruksi Sosial Realitas, berarti mengabaikan bagaimana agama itu sendiri dikonstruksi dan dimaknai dalam interaksi sosial sehari-hari.

Merawat Sanad Kultural: Tugas Intelektual Muslim

Oleh karena itu, tantangan kita sebagai intelektual muslim bukan sekadar menjaga doktrin, tetapi juga menumbuhkan budaya dialog yang sehat. Islam bukan hanya pernyataan-pernyataan, tetapi juga relasi sosial yang penuh etika dan penghargaan terhadap sesama. Menolak tradisi lokal yang telah mengandung nilai-nilai Islam adalah bentuk pemutusan terhadap sanad kultural yang menghubungkan Islam dengan kehidupan nyata umatnya, sebuah tindakan yang berpotensi menciptakan alienasi dan fragmentasi sosial.

Dalam konteks kenegaraan, nilai mahabbah ini juga menjadi modal sosial yang krusial. Ia menjamin kohesi sosial, membangun rasa saling percaya, dan memperkuat ketahanan sipil terhadap ideologi-ideologi pemecah belah. Semua ini hanya bisa dicapai bila relasi antar-manusia dibangun atas dasar cinta, bukan kebencian.

Maka, refleksi nilai mahabbah di tengah keberagaman bukan sekadar romantisme budaya. Ia adalah bentuk upaya kreatif membangun peradaban melalui nilai-nilai kearifan lokal yang selaras dengan prinsip-prinsip Islam. Ini bukan sekadar tugas agamawan atau budayawan, melainkan amanah seluruh warga bangsa, terutama para cendekiawan muslim, untuk merumuskan ulang hubungan antara agama dan budaya dengan nalar yang inklusif dan berkeadilan.

Indonesia tidak membutuhkan pengafanan budaya atas nama kemurnian. Yang dibutuhkan adalah pemurnian sikap terhadap sesama: sikap welas asih, saling menghormati, dan membangun bersama. Inilah makna sejati dari mencintai tanah air sebagai bagian dari imanyang tidak berhenti pada slogan, tetapi diwujudkan dalam penguatan nilai kemanusiaan.

Syukron

Recent Posts

Genealogi Agama Cinta; Dari Era Yunani Klasik, Nusantara, Sampai Abad Digital

Agama cinta sebenarnya bukan gagasan baru, melainkan sebuah konsep lama yang terus-menerus diperbarui tafsirannya sesuai…

21 jam ago

Menggugat “Cinta Politis” Kaum Ekstremis dengan Kaca Mata Erich Fromm

Cinta, sebuah kata yang diklaim sebagai fitrah dan puncak aspirasi spiritual, ironisnya justru menjadi salah…

21 jam ago

Agama Lahir dari Cinta, Mengapa Umat Beragama Sering Menebar Luka?

Agama, dalam hakekat terdalamnya, lahir dari cinta. Cinta kepada Yang Maha Kuasa, cinta kepada sesama,…

21 jam ago

Polemik Bendera One Piece; Waspada Desakrasilasi Momen Hari Kemerdekaan

Belakangan ini, dalam beberapa hari media massa dan media sosial kita riuh ihwal polemik pengibaran…

2 hari ago

Mewarisi Agama Cinta dari Kearifan Nusantara

Indonesia, sebagai negeri yang kaya akan keanekaragaman budaya dan agama, memiliki akar-akar tradisi spiritual yang…

2 hari ago

Menghadirkan Agama Cinta di Tengah Krisis Empati Beragama

Rentetan kasus kekerasan atas nama agama menyiratkan satu fakta bahwa relasi antar pemeluk agama di…

2 hari ago