Narasi

Genealogi Agama Cinta; Dari Era Yunani Klasik, Nusantara, Sampai Abad Digital

Agama cinta sebenarnya bukan gagasan baru, melainkan sebuah konsep lama yang terus-menerus diperbarui tafsirannya sesuai perkembangan zaman. Di era Yunani Klasik agama cinta mengemuka melalui rumusan filosofis para filosof zaman itu.

Salah satunya Plato yang muncul dengan konsep cinta platonik. Konsep cinta yang melampaui kepuasan fisik, dan berorientasi pada pencapaian spiritual yang tinggi dan hakiki. Cinta platonik bukan sekadar ketergantungan pada hal-hal simbolik, seperti rupa, bentuk, atau wadah, melainkan cinta pada kebajikan dan kebaikan yang lebih tinggi.

Plato sendiri membagi cinta ke dalam dua kategori, yakni eros yang bertendensi pada daya tarik fisik dan agape yang berorientasi pada keindahan dan kebaikan jiwa. Agape adalah bentuk cinta tanpa pamrih atau dikenal juga dengan istilah altruisme. Altruisme menjadi salah satu prinsip dalam ajaran agama Ibrahim, mulai dari Yahudi, Kristen, maupun Islam. Agama cinta dalam perspektif platonik adalah dorongan untuk mencari kebaikan dan memburu tingkat spiritualitas yang lebih tinggi demi mendapat kehidupan yang lebih bermakna (meaningfull).

Sedangkan di era Nusantara, gagasan agama cinta mewujud pada corak spiritualitas yang dikembangkan oleh para penyebar Islam awal, terutama Walisongo. Walisongo mengenalkan Islam sebagai agama yang penuh cinta dan welas asih. Jargon islam rahmatan lil alamin tidak hanya dijadikan pemanis bibir (lip service), melainkan dihadirkan dalam sikap hidup.

Islam hadir untuk merangkul, bukan memukul. Islam datang dengan spirit memahami, bukan menghakimi. Maka, Nusantara kala itu yang sudah eksis dengan identitas budaya dan kearifannya tidak lantas diubah karakteristiknya menjadi Arab atau Timur Tengah sebagai muasal Islam. Sebaliknya, Walisongo justru membangun jembatan akulturatif untuk menyatukan dua kutub tersebut.

Maka, berbagai kearifan lokal Nusantara seperti kita lihat saat ini seperti tradisi Sekaten, Grebeg Suro, Tahlilan, Nyadran, sampai halal bi halal adalah manifestasi dari agama cinta yang disebarkan oleh Walisongo. Di era Nusantara, agama cinta hadir ke dalam proses akulturasi antara budaya lokal dengan ajaran Islam.

Sekarang, di era digital, ketika manusia mengalami krisis multidimensi (sosial, politik, agama, dan lingkungan hidup), gagasan agama cinta relevan untuk kembali digaungkan. Tantangan terberat di abad digital ini adalah resonansi kebencian di ruang publik digital yang sulit diredam. Di ruang publik digital, kebencian diproduksi dan didistribusikan secara masif melalui rekayasa algoritma dan memanfaarkan kecerdasan buatan.

Narasi kebencian menjadi the insivible monster alias monster tidak tampak namun memiliki daya rusak yang luar biasa. Kita melihat sendiri bagaimana narasi kebencian yang diamplifikasi di kanal-kanal maya berkontribusi pada meningkatnya angka intoleransi, persekusi, dan perilaku destruksi di dunia nyata. Maka, paradigma agama cinta harus hadir di ruang-ruang digital.

Agama cinta harus menjadi bahasa universal umat beragama di dunia maya. Bahasa yang akan mengubah kecurigaan menjadi kepercayaan dan mengubah kebencian menjadi penghormatan.

Hari ini, di abad digital, ketika manusia hidup di dunia dunia, yakni nyata dan maya, tantangan terberat kita adalah menggaungkan paradigma agama cinta di dunia virtual. Di era digital, narasi kebencian menjadi mudah diproduksi dan didistribusikan melalui kanal-kanal maya. Sebaran virus kebencian, berlatar identitas agama dan sebagainya menjadi kian masif dan seolah tidak terbendung.

Di media sosial, kebencian seolah telah menjadi bahasa keseharian kita (netizen). Labelisasi negatif, bahkan cacian dinormalisasi untuk meneguhkan sekat pembeda identitas. Label kafir, pelaku bidah, kaum murtad, dan sejenisnya begitu mudah dilekatkan pada kelompok yang berbeda agama atau pandangan keagamaan.

Seperti kita lihat belakangan ini, media sosial kita diwarnai oleh fenomena debat keagamaan yang coraknya bukan akademis-ilmiah. Melainkan debat kusir yang melibatkan sejumlah netizen awam yang kebanyakan tidak memiliki rekam jejak keilmuan yang mumpuni dalam dialog antar-agama. Mereka berdebat tanpa subtansi, apalagi empati. Tujuan debat itu adalah untuk mendeskreditkan agama lain dan meneguhkan klaim tunggal agama sendiri.

Di abad digital, tantangan keberagamaan adalah menghadirkan paradigma agama cinta sebagai bahasa universal di jagad maya. Yakni bagaimana relasi antar dan intra-agama di jagad maya bisa lebih mengedepankan sikap saling memahami dan menghormati. Dengan rekam jejak Nusantara di masa lalu, menghadirkan agama cinta di jagad maya sebenarnya bukan kemustahilan.

Peradaban Nusantara telah mewariskan berbagai falsafah hidup beragama, seperti tepo seliro, pela gandong, dan beragam kearifan lokal lainnya. Tugas kita adalah mengadaptasi falsafah Nusantara itu ke ranah digital kontemporer. Sekaligus menjadikannya sebagai bahasa universal yang menghubungkan setiap individu dan kelompok dengan perspektif kesetaraan.

Salwa Al Hani Hidayah

Recent Posts

Menggugat “Cinta Politis” Kaum Ekstremis dengan Kaca Mata Erich Fromm

Cinta, sebuah kata yang diklaim sebagai fitrah dan puncak aspirasi spiritual, ironisnya justru menjadi salah…

5 menit ago

Agama Lahir dari Cinta, Mengapa Umat Beragama Sering Menebar Luka?

Agama, dalam hakekat terdalamnya, lahir dari cinta. Cinta kepada Yang Maha Kuasa, cinta kepada sesama,…

6 menit ago

Polemik Bendera One Piece; Waspada Desakrasilasi Momen Hari Kemerdekaan

Belakangan ini, dalam beberapa hari media massa dan media sosial kita riuh ihwal polemik pengibaran…

1 hari ago

Mewarisi Agama Cinta dari Kearifan Nusantara

Indonesia, sebagai negeri yang kaya akan keanekaragaman budaya dan agama, memiliki akar-akar tradisi spiritual yang…

1 hari ago

Menghadirkan Agama Cinta di Tengah Krisis Empati Beragama

Rentetan kasus kekerasan atas nama agama menyiratkan satu fakta bahwa relasi antar pemeluk agama di…

1 hari ago

Cara Islam Menyelesaikan Konflik: Bukan dengan Persekusi, tapi dengan Cara Tabayun dan Musyawarah

Konflik adalah bagian yang tak terelakkan dari kehidupan manusia. Perbedaan pendapat, kepentingan, keyakinan, dan bahkan…

4 hari ago