Narasi

Di manakah Letak Kebenaran “Mati Syahid” Para Pelaku Bom Bunuh diri?

Ketika aksi bom bunuh diri kembali terjadi di Gereja katedral Makassar, Sulawesi Selatan, pada hari Minggu 28 Maret 2021 Kemarin. Saya seketika berpikir, di manakah letak otoritas kebenaran dari “Mati Syahid” yang dilakukan oleh para pelaku bom bunuh diri itu? Jika pelakunya kehilangan nyawa, saya jawab iya. Tetapi jika itu dinamakan “Mati Syahid” dan  dianggap sebagai jalan untuk kebenaran suci menuju surga-Nya. Saya rasa, praktik kebiadaban yang semacam itu jelas dan mutlak tidak bisa dibenarkan, menyimpang dan dilarang oleh agama mana-pun, termasuk Islam.

Karena apa-pun motif-nya, niatnya dan kesadaran-nya untuk melakukan bom bunuh diri dan mengatasnamakan “Jihad Mati Syahid di jalan Allah SWT”, itu sebetulnya berada dalam “Harapan yang kosong” dan sangat merugi. Dalam arti pemahaman, dia tidak lagi berada dalam wilayah “harapan transendental” yang meniscayakan jalan kepada-Nya dengan cara membunuh atau melakukan bom bunuh diri seperti yang terjadi di rumah ibadah non-muslim tadi.

Sebagaimanan yang telah dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW dalam salah satu hadis yang diriwayatkan oleh imam Bukhari dalam kitab Shahih Bukhari  bahawsanya “Man qatala dzimmiyan lam yarih ra’ihah al-jannah” bahwa jelas dan mutlak bagi orang yang membunuh seorang non-mulsim dalam kata (Dzimmi), sebagaimana non-muslim itu berada dalam (perjanjian keamanan) maka orang yang membunuh tersebut jelas tidak akan mendapatkan bau surga.

Bahkan Allah SWT sangat mengecam praktik pembunuhan semacam itu sebagai (dosa yang terus mengalir). Sebagaimana dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat-32 yang Artinya: “Barang Siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya” Dari potongan ayat ini sebetulnya kita semua mengerti dan memahami bahwa (membunuh) adalah perbuatan dilarang dan bahkan dinisbatkan sebagai “hukuman yang berantai”. Karena secara orientasi, orang yang membunuh orang lain, seperti membunuh seluruh manusia yang ada di muka bumi ini.

Kecaman Allah SWT di dalam Al-Qur’an tersebut agar tidak mudah untuk menghilangkan nyawa orang lain sejatinya sangatlah ditekankan sekali. Termasuk yang kita kenal hari ini dengan (pelaku bom bunuh diri). Praktik yang semacam itu sebetulnya jauh dari kategori (ibadah) atau bahkan (amaliah syahid) yang dikenal di dalam Islam. Bahkan ibadah dalam Islam saja selalu ditekankan untuk (penucian hati) agar kita tidak berbuat kerusakan di muka bumi.

Lantas, apakah bom bunuh diri ini masih dikategorikan sebagai ibadah? Bahkan anggapan amaliah syahid dengan cara melakukan kekerasan atau bom bunuh diri yang menghilangkan banyak nayawa itu sebetulnya Al-Qur’an selalu menyebutkan sebagai orang yang (Merusak dan melampaui batas) di muka bumi ini. Apakah pelaku bom bunuh diri masih pantas disebut sebagai “mati syahid”?

Karena kita harus paham, bahwa secara athensitas kebenaran syahid di dalam Al-Qur’an itu selalu memiliki koteks yang begitu jauh berbeda dengan kehiudpan kita saat ini. Konteks syahid itu selalu direalisasikan ke dalam wilaya yang meniscayakan sejarah panjang konflik, peperangan dan kecamuk sosial-keagamaan pada saat itu yang tidak pernah damai dan aman.

Nabi Muhammad SAW sendiri selalu menekankan bahwa peperangan itu dilakukan oleh umat Islam ketika mengalami situasi diperangi, diusir dari tanah airnya dan dilarang beribadah. Sehingga, ketika ada umat Islam yang (gugur) dalam arti pemhaman (mati syahid) dalam medan peperangan tersebut, di situlah dia disebut kemuliaan berperang dan gugur di jalan Allah SWT.

Karena secara tindakan: pertama, dia membela kemanusiaan (menjaga keamanan). Kedua, bukti kecintaan terhadap tanah air sehingga harus melaukan peperangan ketika diusir dari tanah airnya. Ketiga, karena dilarang beribadah, menjalankan agama atau bahkan mengalami intimidasi untuk bisa melakukan aktivitas keagamaan yang dilakukan.

Ketiga syarat itu jika tidak terpenuhi, artinya tidak sedang mengalami situasi sosial-keagamaan itu berada dalam kondisi aman, damai dan saling menghargai satu sama lain. Maka, dilarang melakukan peperangan atau bahkan melakukan pembunuhan. Termasuk yang kita kenal hari ini sebagai pelaku bom bunuh diri dan menganggap itu sebagai jalan jihad untuk “Mati syahid”. Karena tindakan yang semaca itu, mutlak sangat-sangat melanggar marwah kemanusiaan yang harus kita kecam, brantas dan basmi bersama.

This post was last modified on 29 Maret 2021 1:39 PM

Saiful Bahri

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

3 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

3 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

3 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

4 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

4 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

4 hari ago