Tantangan kebangsaan yang dihadapi saat ini semakin beragam. Bukan hanya dari infiltrasi budaya maupun ideologi asing, atau kebijakan dan pandangan yang mengobarkan konflik, tapi juga dari kemajuan teknologi digital.
Manifestasi dari kemajuan teknologi digital itu bernama kecerdasan buatan.
Bila tidak diwaspadai, karakter bangsa Indonesia bisa terkikis oleh kecerdasan buatan yang dimanfaatkan oleh ideologi transnasional seperti ekstremisme agama dan liberalisme.
Selama beberapa waktu terakhir, perusahaan seperti OpenAI, Google, dan Microsoft terus membangun sistem kecerdasan buatan. Efektivitas dan efisiensi kehidupan menjadi alasan dari dibangunnya inovasi tersebut, selain hasrat mengeruk keuntungan, tentunya.
Berbekal kemampuan mengidentifikasi perilaku dan preferensi individu, kecerdasan buatan dapat dengan mudah mengarahkan masyarakat pada ideologi yang bertentangan dengan Pancasila. Dengan begitu, perpecahan atau disintegrasi bangsa dapat dengan mudah terjadi.
Kecemasan akan kecerdasan buatan yang tanpa kontrol, sebenarnya telah disuarakan oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres. Pada tahun lalu, dalam sebuah pertemuan Dewan Keamanan PBB, Guterres menilai kecerdasan buatan merupakan bahaya baru yang mengancam perdamaian dunia.
Penilaian itulah yang membuat Sekjen PBB meluncurkan Badan Penasihat Tingkat Tinggi untuk Kecerdasan Buatan (High-Level Advisory Body on Artificial Intelligence) tepat setahun lalu.
Langkah itu diambil untuk menyempurnakan tata kelola global atas perangkat-perangkat yang mendukung kecerdasan buatan. Tujuannya, agar inovasi teknologi itu tak disalahgunakan untuk menyebarkan disinformasi dan kebencian kepada orang, kelompok atau bangsa tertentu.
Seharusnya, Indonesia pun segera merespon tantangan ini. Dan sejatinya, respon itu sudah ada meski belum komprehensif.
Pada tahun 2020, Indonesia merilis “Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial Indonesia” sebagai wujud antisipasi terhadap gerak langkah kecerdasan buatan.
Selanjutnya, dibutuhkan regulasi lebih spesifik terkait kecerdasan buatan guna memastikan teknologi ini selaras dengan nilai-nilai Pancasila.
Di samping itu, dibutuhkan kecerdasan sejati dari satu komponen bangsa dalam menangkal berbagai dampak negatif dari kecerdasan buatan. Komponen bangsa itu adalah kaum santri.
Pada 22 Oktober ini, bangsa Indonesia memperingati Hari Santri Nasional. Dengan tema ‘Menyambung Juang Merengkuh Masa Depan’, Hari Santri tahun 2024 diharapkan bisa mendorong para santri untuk melanjutkan semangat perjuangan para pendahulu mereka dalam menghadapi tantangan zaman.
Kecerdasan buatan, adalah salah satu tantangan zaman yang harus dihadapi para santri. Kaum santri sudah teruji dalam sejarah bangsa. Kolonialisme, komunisme, dan ekstremisme agama merupakan musuh-musuh bangsa yang pernah dilawan oleh kaum santri.
Kini, ketika musuh-musuh itu bermetamorfosa dalam kecerdasan buatan, tentu para santri tak boleh mundur dalam menghadapi mereka. Penguasaan akan teknologi digital penting dilakukan kaum santri, agar kelompok-kelompok yang ingin mengendalikan kecerdasan buatan untuk mengacaukan negara bisa dihalau.
Dengan demikian, para santri bisa turut membangun bangsa yang beradab, sejahtera, bermartabat serta yang terpenting, selaras dengan nilai-nilai Pancasila.
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…