Narasi

Era Disrupsi, Radikalisme, dan Kasunyatan

Terdapat sebuah kearifan lokal, dalam hal ini kejawen, tentang sebentuk dasar epistemologis yang disebut sebagai “penganggep” yang lazimnya diiringi oleh “pengarep-arep.”

Dalam jagat filsafat pernah terdapat sebuah perdebatan tentang status dari sebuah kenyataan, taruhlah apakah sebuah meja nyata ada, entah dalam bleger apapun (nyata maupun citra), terlepas dari adanya pancaindera yang kemudian bersambung pada “angen-angen” atau pikiran yang sedang intens kepadanya.

Dalam kejawen, problem epistemologis itulah yang dikenal sebagai relasi antara “sahir” dan “kabir” atau jagat manusia dan jagat di luar dirinya yang secara mental atau psikologis akan  seturut dengan yang sahir. Atau dengan kata lain, terdapat tiga macam jagat: jagat manusia, jagat di luar manusia, dan apa yang saya sebuat sebagai “jagat transformatif” yang merupakan hasil persinggungan jagat manusia dan jagat di luar manusia. Dan berdasarkan teori relativitas Einstein, “jagat transformatif” itulah yang sebenarnya dikaji oleh ilmu pengetahuan selama ini.

Dari kacamata postmodernisme, yang memang lekat dengan konstruktivisme, “jagat transformatif” itulah yang dikenal sebagai “jagat tafsir.” Jadi, bisa dikatakan, kejawen pada dasarnya sudah postmodern jauh sebelum postmodernisme sendiri lahir, meskipun terdapat perbedaan mengenai fase “lalu untuk apa kemudian.”

Dari kerangka nalar semacam itu, maka radikalisme dan terorisme memang benar bukan sebentuk fenomena yang objektif atau nyata ada. Atau dengan kata lain, sesuai dengan argumen yang selama ini meletakkan fenomena itu sebagai sebentuk “akal-akalan pemerintah” belaka, radikalisme dan terorisme bukanlah sesuatu yang given, namun constructed.

Celakanya, penyakit manusia ternyata adalah tak pernah konsisten dengan argumen ataupun logika yang dirakit sendiri. Ketika konsisten, jangankan fenomena radikalisme dan terorisme, ketika argumen semacam itu diikuti, maka “Tuhan” pun pada pasarnya adalah juga sekedar problem akal-akalan semata, entah akal-akalan walisongo, akal-akalan habaib, akal-akalan ormas-ormas keagamaan. dsb.

Dengan bahasa epistemologis, kalangan yang dapat disebut sebagai kalangan konstruksionis semacam itu—yang menyatakan bahwa radikalisme dan terorisme hanyalah akal-akalan pemerintah semata—adalah laiknya para sufi yang sudah mencapai kasunyatan tertinggi bahwa yang nyata ada hanyalah Tuhan sementara yang lainnya tak ada, terlepas entah yang menyatakan itu apakah juga menjadi bagian dari yang lainnya itu atau bukan.  

Pada wilayah epistemologis, beranjak dari kearifan Jawa atau kejawen, orang kerap lupa bahwa—dalam bahasa Kantian—noumena (urip sejati atau yang benar-benar nyata) adalah sama sekali tak dapat dilepaskan dari fenomenanya (uriping pancandriya atau angen-angen). Ketika kerangka semacam ini tak diperhatikan dalam menyatakan atau berkesimpulan, maka orang akan banyak terjebak pada ketakjelasan status dari yang menyatakan atau berkesimpulan itu. Dan ketika status dari yang menyatakan atau berkesimpulan itu tak jelas, otomatis argumennya akan rubuh.

Jadi, berdasarkan epistemologi kejawen, dimana noumena dan fenomenanya merupakan kedwitunggalan (tak bisa diceraikan, namun bisa dipilah), radikalisme dan terorisme bukanlah sekedar problem akal-akalan pemerintah semata atau kenyataannya sama sekali bisa berdiri sendiri tanpa memiliki akar.

Kebhinekaan atau kemajemukan Indonesia yang selama ini dianggap sebagai fakta sejarah, fakta geografis, fakta kebudayaan, dan fakta sosiologis, jelas tak akan mungkin terpahami tanpa orang menganggap (penganggep) bahwa radikalisme dan terorisme itu memanglah nyata ada. Di sinilah kemudian kejawen menyuguhkan pangerten (akal-budi) di samping pangrasa (rasa) sebagai kelengkapan dari seorang manusia yang arif.  

Heru harjo hutomo

Recent Posts

Ketika Sumpah Pemuda Diuji di Dunia Digital

“Persatuan hari ini tidak lagi diuji di medan perang, melainkan di ruang digital, tempat algoritma…

31 menit ago

Generasi Scroll Culture; Meng-Endorse Sumpah Pemuda di Jagat Maya

Hari ini, Sumpah Pemuda itu tinggal sejarah. Tertulis di banyak buku tapi jarang dijamah. Tergambar…

39 menit ago

Algoritma Terorisme: Jejak Radikalisasi di Media Baru-Jurnal Jalan Damai Vol. 1. No. 8 Oktober 2025

Salam Damai, Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas terbitnya Jurnal Jalan…

3 hari ago

Rekam Jejak Santri dalam Mozaik NKRI

Santri merupakan salah satu pilar penting dalam sejarah panjang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sedari…

3 hari ago

Tren Positif Kinerja Pemberantasan Terorisme dalam Satu Tahun Pemerintahan

Dalam satu tahun pertama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka (20…

3 hari ago

Jihad Santri dalam Menyebarkan Islam Rahmatan Lil ‘Alamin di Panggung Global

Dalam sejarah panjang perjalanan bangsa Indonesia, santri memiliki peran yang tak terpisahkan dari perjuangan kemerdekaan.…

3 hari ago