Peringatan Hari Kartini menjadi momentum yang tepat untuk membahas ihwal fenomena teroris perempuan. Seturut data BNPT, dalam beberapa tahun ini, keterlibatan perempuan dalam gerakan radikal terosisme mengalami transformasi. Bukan hanya dari segi jumlah, namun juga perannya.
Di masa lalu, keterlibatan perempuan dalam terorisme lebih banyak terjadi di belakang layar. Misalnya menjadi perantara bagi sel-sel jaringan terosisme dalam berkomunikasi atau merencanakan aksi teror.
Kini, keterlibatan perempuan dalam terosisme tidak hanya di balik layar, melakukan menjadi aktor dan eksekutor di lapangan. Maraknya aksi teror tunggal yang dilakukan perempuan adalah bukti bahwa perempuan mengalami transformasi peran dalam gerakan terorisme.
Cilakanya, hal itu kerap diklaim sebagai wujud emansipasi perempuan. Teroris perempuan kerap diglorifikasi sedemikian rupa sebagai cocok ideal muslimah sejati. Klaim dan glorifikasi ini tentu salah kaprah.
Keterlibatan perempuan dalam terosisme bukanlah wujud emansipasi. Sebaliknya, keterlibatan perempuan secara langsung pada aksi teror adalah hasil dari manipulasi kaum radikal.
Keterlibatan perempuan sebagai pelaku teror adalah bentuk emansipasi semu kaum radikal. Ada sejumlah alasan mengapa hal keterlibatan perempuan sebagai pelaku teror merupakan emansipasi semu khas kaum radikal.
Pertama, teroris perempuan pada dasarnya melakukan aksinya bukan atas keputusan individu yang otonom. Sebaliknya, aksi teror yang dilakukannya merupakan hasil dari cuci otak, indoktrinasi, dan manipulasi yang aktor utamanya adalah laki-laki.
Jadi, posisi perempuan dalam fenomena terorisme perempuan hanyalah sebagai obyek, bukan subyek. Bahkan, bisa dibilang perempuan hanyalah korban dari propaganda radikalisme yang aktor utamanya adalah laki-laki.
Kedua, teroris perempuan umumnya tidak lahir secara alami, melainkan hasil konstruksi sosial di sekelilingnya. Fakta menunjukkan bahwa mayoritas teroris perempuan itu hanya disuruh atau sekedar mengikuti perintah laki-laki. Entah itu ayahnya, suami, saudara laki-laki, dan sebagainya. Dengan kata lain, aksi teror dan kekerasan yang dilakukan perempuan itu tidak murni atas kesadaran personalnya.
Ketiga, meskipun perempuan melakukan aksi teror, pada akhirnya yang mengklaimnya sebagai keberhasilan adalah laki-laki. Seorang ayah radikal yang menjerumuskan anak perempuannya menjadi pelaku teror akan dicap sebagai ayah yang berhasil.
Begitu juga, seorang suami teroris yang mengajak istrinya terlibat ke dalam gerakannya akan dianggap sebagai suami terhormat. Perempuan, lagi-lagi hanya diposisikan sebagai kaum subordinat dan bergantung pada otoritas laki-laki.
Keempat, dalam gerakan atau jejaring radikal terorisme, sikap diskriminatif terhadap perempuan masih berlaku. Bahkan, dalam banyak hal, kaum radikal cenderung berpandangan misoginis terhadap perempuan. Perempuan, bagi kaum radikal masih kerap dianggap sebagai aib yang wajib dikurung di ruang domestik.
Kerancuan memahami konsep emansipasi oleh kaum radikal ini tentu harus dikoreksi. Kerancuan itu rawan mendistorsi gagasan R. A. Kartini. Emansipasi yang digagas oleh Kartini tidak bisa dijadikan pembenaran bagi fenomena teroris perempuan. Emansipasi yang digagas Kartini adalah spirit pembebasan perempuan dari segala bentuk ketidakadilan, penindasan, dan diskriminasi.
Dalam konteks keninian, emansipasi kiranya juga harus diartikan sebagai upaya membebaskan perempuan dari jebakan paradigma dan perilaku keagamaan yang mengarah pada konservatisme dan radikalisme. Dalam konteks beragama, emansipasi idealnya mewujudkan pada terbukanya kesempatan bagi perempuan untuk mengembangkan perilaku keagamaan moderat, toleran, dan anti kekerasan.
Dalam konteks beragama, perempuan harus tampil menjadi subyek, bukan lagi obyek. Lebih spesifik dalam konteks memahami teks keislaman misalnya, perempuan harus tampil sebagai produsen tafsir, bukan melulu konsumen tafsir. Hal ini penting agar produk tafsir yang diabaikan memiliki perspektif keadilan gender dan berpihak pada hak perempuan.
Munculnya fenoamana mufassir perempuan dengan pendekatan feminisme tentu patut kita apresiasi. Hasil pembacaan atas teks keislaman dengan pendekatan feminisme itu tentu juga akan memperkaya khazanah dan gerakan moderasi beragama dalam Islam. Moderasi beragama, seperti kita tahu, merupakan elemen utama dalam membendung radikalisasi, termasuk pada perempuan.
Jika dilacak dari sisi keagamaan, Kartini bisa dikatakan sebagai seorang muslimah progresif. Dalam surat untuk sahabat penanya, Kartini mencurahkan kegelisahannya bagaimana ia diwajibkan bisa membaca Alquran namun tidak diajarkan arti apalagi maknanya. Ia menggugat ortodoksi keislaman tersebut. Dalam bahasa kekinian, Kartini pada dasarnya telah mendobrak monopoli tafsir yang saat itu hanya dipegang oleh para elite agama.
Arkian, di era digital, ketika semua kelompok masyarakat rawan terpapar ideologi ekstrem dan propaganda kekerasan, fenomena teroris perempuan patut menjadi kekhawatiran bersama. Seperti kita lihat belakangan ini di media sosial, muncul propaganda yang mengajak perempuan untuk berjihad ke Palestina. Propaganda itu dibumbui dengan narasi bahwa hal itu seolah-olah adalah wujud emansipasi perempuan.
Sekali lagi, ajakan jihad ke Palestina bagi perempuan adalah bentuk emansipasi semu kaum radikal. Emansipasi palsu yang tidak membebaskan perempuan dari ketidakadilan, melainkan justru menjebak perempuan dalam eksploitasi kekerasan yang tidak ada ujungnya.
Di tengah dinamika global dan regional yang semakin kompleks, fenomena lone wolf terrorism—aksi teror individu…
Sejarah peradaban manusia dipenuhi dengan kisah-kisah epik dan legenda yang menggambarkan perjuangan dan peran sentral…
“Hijrah mestinya menjadi jalan pencerahan, bukan pembatasan. Hijrah seharus membuka jalan lebih partisipatif, bukan memilih…
Serial drama thriller asal Inggris, berjudul Adolescence tengah menjadi perbincangan hangat di seantero dunia. Sejak…
R.A. Kartini, seorang perempuan yang lahir pada akhir abad ke-19, dikenal sebagai pelopor dalam perjuangan…
Setiap kali Hari Kartini diperingati, selalu muncul narasi-narasi yang berusaha mendistorsi kepahlawanan Kartini. Upaya mendistorsi…