Keagamaan

Dari Iman Memancar Nasionalisme : Spirit Hubbul Wathan Minal Iman di Tengah Krisis Kebangsaan

Ada istilah indah yang lahir dari rahim perjuangan bangsa dan pesantren nusantara: hubbul wathan minal iman — “Cinta tanah air adalah bagian dari iman.” Konsep yang digagas oleh KH. Wahab Chasbullah dan diperkuat oleh Resolusi Jihad KH. Hasyim Asy’ari mengajarkan bahwa mencintai Republik Indonesia bukan sekadar kewajiban nasional, tapi juga kewajiban keagamaan yang luhur.

Pertanyaannya, kenapa gagasan luhur yang sangat kuat ini menjadi luntur dan mudah dilupakan? Jawabannya, seringkali muncul dikotomi: nasionalisme milik yang sekuler, sedangkan yang religius hanya mencurahkan hati kepada Tuhan. Paham radikal kemudian membungkusnya dengan narasi ekstrem bahwa cinta tanah air adalah bentuk kesyirikan dan praktek ashabiyah yang dilarang Islam.

Ini tentu harus mendapatkan penjelasan yang memadai agar tidak mudah terpedaya dengan narasi kelompok radikal.

Nasionalisme Relijius Inklusif Khas Nusantara

Benedict Anderson pernah menjelaskan bangsa sebagai imagined community, komunitas imajiner yang disatukan oleh rasa kebersamaan meski anggotanya tidak saling mengenal. Namun Indonesia memiliki model yang lebih khas: nasionalisme religius inklusif. Identitas agama tidak diposisikan untuk menolak negara, tetapi menjadi landasan moral membela negara.

Konsep ini tidak lahir di ruang kosong. Di pesantren-pesantren, ajaran mencintai tanah air selalu dihubungkan dengan ibadah. Menghormati bendera, mengikuti upacara kemerdekaan, atau memperingati Hari Pahlawan dilakukan berdampingan dengan pengajian dan doa bersama. Di sini, nasionalisme tidak pernah “kering” dari nuansa spiritual.

Secara teoritis, religious nationalism menempatkan identitas agama dijadikan landasan moral untuk membela negara, bukan menolak atau menggantinya. Prakteknya ini sebenarnya bukan tanpa landasan.

Kecintaan Nabi Muhammad kepada Makkah menjadi teladan yang tak terbantahkan. Dalam sebuah hadis, ketika Nabi harus meninggalkan Makkah, beliau berkata: “Demi Allah, engkau (Makkah) adalah negeri Allah yang paling aku cintai, dan jika bukan karena kaummu mengusirku, aku tidak akan meninggalkanmu.” (HR. Tirmidzi).

Cinta tanah air bukanlah konsep sekuler yang bertentangan dengan agama, melainkan bagian dari fitrah manusia dan perintah moral agama. Al-Qur’an pun menegaskan pentingnya menjaga keamanan negeri: “(Negeri) yang aman dan tenteram, datang rezekinya melimpah dari segala tempat…” (QS. An-Nahl: 112).

Sayangnya, di sebagian kalangan, pandangan ini memudar. Sebagian kelompok justru menganggap nasionalisme sebagai ancaman terhadap kemurnian akidah. Ada pula yang terjebak dalam narasi transnasional yang memandang identitas keagamaan harus dilepaskan dari konteks kebangsaan lokal. Akibatnya, hubbul wathan minal iman kehilangan gaungnya di ruang publik.

Mati Membela Negara Bentuk Kesyahidan

Hubbul wathan minal iman bukanlah jargon kosong. Ia adalah warisan moral dan spiritual yang dibangun dengan keringat dan darah para ulama pejuang. Jika spirit ini padam, kita akan kehilangan kekuatan yang selama ini menjaga Indonesia tetap utuh.

Nabi Muhammad bersabda: “Barang siapa dibunuh demi membela hartanya, maka ia mati syahid; barang siapa dibunuh demi membela keluarganya, maka ia mati syahid; barang siapa dibunuh demi membela agamanya, maka ia mati syahid.” (HR. Abu Dawud).

Umat Islam yang mempertahankan harkat martabat dan kedaulatan negara melebihi dari pada menjaga harta dan keluarganya. Menjaga negara adalah menjaga lingkungan besar yang menjamin harta, jiwa dan agama terpelihara. Karena itulah, menjaga negara dan mati membela dan mempertahankan negara bentuk kesyahidan.

Di tengah krisis nasionalisme dan menguatnya politik identitas, menghidupkan kembali ajaran ini adalah tugas bersama. Bukan hanya untuk menjaga simbol kebangsaan, tetapi untuk memastikan bahwa cinta tanah air benar-benar lahir dari iman yang tulus.

Karena tanah air yang dicintai dengan iman tidak hanya akan dipertahankan, tetapi juga akan dirawat dengan kasih sayang. Dan bangsa yang merawat tanah airnya dengan kasih sayang, akan menjadi bangsa yang disegani—di mata Tuhan dan sesama manusia.

This post was last modified on 16 Agustus 2025 9:32 AM

Farhah Sholihah

Recent Posts

Membumikan Hubbul Wathan di Tengah Ancaman Ideologi Transnasional

Peringatan hari kemerdekaan Indonesia setiap 17 Agustus bukan hanya sekadar momen untuk mengenang sejarah perjuangan…

21 jam ago

Tafsir Kemerdekaan; Reimajinasi Keindonesiaan di Tengah Arus Transnasionalisasi Destruktif

Kemerdekaan itu lahir dari imajinasi. Ketika sekumpulan manusia terjajah membayangkan kebebasan, lahirlah gerakan revolusi. Ketika…

21 jam ago

Merayakan Kemerdekaan, Menghidupkan Memori, Merajut Dialog

Setiap Agustus, lanskap Indonesia berubah. Merah putih berkibar di setiap sudut, dari gang sempit perkotaan…

2 hari ago

Menghadapi Propaganda Trans-Nasional dalam Mewujudkan Indonesia Bersatu

Sebagai bangsa yang beragam, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan persatuan di tengah globalisasi dan…

2 hari ago

Penjajahan Mental dan Ideologis: Ujian dan Tantangan Kedaulatan dan Persatuan Indonesia

Indonesia, sebagai negara yang merdeka sejak 17 Agustus 1945, telah melalui perjalanan panjang penuh tantangan.…

2 hari ago

Bendera One Piece Menjelang HUT 80 RI: Antara Latah Digital dan Nasionalisme Statistik

Menjelang perayaan Kemerdekaan RI, viral sebuah fenomena pengibaran bendera One Piece (jolly roger)—simbol anime Jepang—di…

3 hari ago