Keagamaan

Fikih Siyasah dan Pancasila, Membaca Ulang Negara yang Berketuhanan

Ketika berbicara tentang Pancasila sebagai dasar negara, sering kali kita mendengar diskusi seputar falsafah kebangsaan, pluralitas, hingga semangat persatuan. Ide Pancasila lahir sebagai anti-tesis paham politik yang eksklusif dan sektarian.

Namun, bagaimana negara Pancasila dipandang dalam perspektif fikih siyasah? Menurut sebagian kelompok Islam puritan, politik Islam adalah mutlak yang nilai-nilainya banyak tertuang dalam sebuah disiplin ilmu bernama fikih siyasah.

Fikih Siyasah, Sebuah Nilai Etis

Fikih siyasah secara sederhana adalah panduan Islam tentang bagaimana sebuah negara dikelola sesuai prinsip syariah. Dalam fikih siyasah, negara dipandang sebagai instrumen untuk mewujudkan kemaslahatan umat, baik secara spiritual maupun material.

Namun demikian, Islam tidak mengharuskan sistem tertentu seperti monarki, republik, atau khilafah. Yang penting, pemerintahan berlandaskan nilai keadilan, kesejahteraan, dan penjagaan hak asasi manusia.

Dalam fikih siyasah, perdebatan soal bentuk negara sering dianggap sebagai isu sekunder. Ulama klasik seperti Al-Mawardi (974-1058 M) dalam kitab Al-Ahkam Al-Sulthaniyah (2016) dan Ibnu Khaldun (1332–1406 M) dalam Muqaddimah (1983) lebih menekankan pada substansi pemerintahan yang menegakkan keadilan dan maslahat umat.

Dalam Muqaddimah, Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa stabilitas pemerintahan tidak ditentukan oleh bentuk politiknya, tetapi oleh kemampuannya menegakkan al-maṣlaḥah al-‘āmmah (kesejahteraan umum). Ia juga mengkritik rezim yang mengabaikan keadilan, karena menurutnya kezaliman adalah akar dari kehancuran peradaban.

Nabi Muhammad tidak menunjuk langsung siapa sebagai pengganti beliau selaku kepala negara. Urusan penting semacam ini diserahkan pada musyawarah umat. Begitu juga mengenai sistem pemerintahannya maupun aturan tata negara dan administrasi negara semua diserahkan pada kesepakatan umat.

Pun jika dikaji, tidak ada satupun ayat Al-Qur’an dan Hadis Nabi yang secara tegas memerintahkan untuk mendirikan negara Islam. Yang ada adalah kewajiban mengikuti ulil amri. Tapi bagaimana memilih, siapa yang dipilih, berapa lama ia berkuasa, apa bentuk kekuasaannya, dan bagaimana bentuk negara atau pemerintahannya, al-Qur’an tidak mengaturnya secara rinci.

Urgensi Re-orientasi Fikih Siyasah

Memang diakui, konsep yang ada dalam literatur fiqh siyasah klasik tidak jauh-jauh dari tarikhul muluk was salatin atau sejarah raja-raja dan sultan, di mana kemudian para ulama seperti Imam al-Mawardi merangkai serpihan sejarah dan petunjuk umum nash menjadi doktrin fiqih siyasah.

Di sisi lain, politik Islam terakhir berbasis kekhilafahan (sultanate) adalah Turki Utsmani. Pasca Utsmani runtuh, negara-negara Islam kini praktis berjalan dengan landasan nasionalisme Islam (qaumiyah Islamiyah) atau dalam bahasa Barat disebut teokrasi, yaitu negara nasional di mana Islam dijadikan sebagai agama resmi.

Saudi Arabia, Mesir dan Pakistan misalnya, adalah negara nasional yang menjadikan Islam sebagai agama resminya. Bentuk Kerajaan yang digunakan Saudi Arabia, berbeda dengan sistem yang dianut di Pakistan.

Malaysia yang menganut sistem parlementer dengan Perdana Menteri berbeda dengan Indonesia yang menganut sistem presidensil yang dipimpin oleh presiden. Beda sistem, tentu beda pula cara memilih pemimpinnya.

Alhasil, konstitusi dalam negara-negara Islam juga berbeda-beda isinya. Semua memilih bentuk kenegaraan yang paling maslahat untuk warga negaranya. Kenyataan demikian ini membawa kita kepada dinamika fikih siyasah yang amat dinamis.

Artinya, boleh jadi beberapa konsep kunci dalam fikih siyasah dapat menjadi substansi politik negara-negara dunia saat ini. Tetapi di beberapa aspek, perlu adanya pembaharuan (update) teks-teks literatur fikih siyasah agar sesuai dengan peta politik abad ke-21.

Literatur klasik masih bicara hal-hal seperti darul Islam, darul harbi, kafir dhimmi, kafir harbi, ba’iat, dan seterusnya padahal konsep khilafah telah berganti menjadi negara-bangsa, kategori kafir dhimmi berganti konsep kewarganegaraan, dan konsep ba’iat sudah diperluas dalam sistem pemilu yang berbeda-beda antara satu negara dengan lainnya.

Nilai Universal dalam Pancasila

Terlepas dari konsepsi politik Islam dalam literatur fikih siyasah klasik, substansi fikih siyasah yang ditegaskan Al-Mawardi dan Ibnu Khaldun sangat relevan dengan negeri Pancasila.

Dalam Al-Ahkam Al-Sulthaniyah, Al-Mawardi mengurai enam sendi utama politik, yaitu agama yang dihayati, pemimpin yang berwibawa, keadilan yang menyeluruh, keamanan yang merata, kesuburan tanah yang berkesinambungan, dan harapan kelangsungan hidup.

Jika kita telisik, lima sila dalam Pancasila memiliki makna universal yang tak bertentangan dengan prinsip syariah. Ketuhanan Yang Maha Esa, misalnya, adalah dasar yang mendukung tauhid dalam Islam. Sila ini menegaskan pentingnya agama dalam kehidupan bernegara, meskipun mengakomodasi keyakinan lain di luar Islam.

Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, sila kedua, menekankan pentingnya penghormatan terhadap hak-hak manusia. Prinsip ini selaras dengan maqashid syariah (tujuan syariah), yakni menjaga jiwa, akal, dan kehormatan manusia. Adapun sila Ketiga, Persatuan Indonesia, mencerminkan semangat ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan) yang sangat dianjurkan dalam Islam.

Keberpihakan pada keadilan sosial dalam sila kelima juga erat kaitannya dengan prinsip ta’awun (saling membantu) dalam Islam. Negara Pancasila berupaya mendistribusikan kesejahteraan secara adil, sebuah visi yang sesuai dengan fikih siyasah.

Dalam konteks ini, Pancasila sebagai dasar negara adalah wujud dari ijma’ (kesepakatan) seluruh elemen bangsa yang plural. Kesepakatan ini mirip dengan konsep ahd (perjanjian) dalam Islam, di mana masyarakat dan pemimpin bersepakat membangun pemerintahan untuk mencapai kesejahteraan bersama.

Sebagai warga negara yang berlandaskan Pancasila sekaligus Muslim, kita dapat menjadikan fikih siyasah sebagai panduan untuk memahami bahwa Pancasila bukan hanya kompatibel dengan nilai Islam, tetapi juga sarana untuk membangun negara yang lebih adil, damai, dan sejahtera.

Dengan demikian, negara Pancasila bukanlah sesuatu yang perlu dipertentangkan dalam Islam. Sebaliknya, ia adalah ruang besar yang memungkinkan umat Islam dan elemen bangsa lainnya bekerja sama dalam bingkai maslahat bersama.

Gatot Sebastian

Recent Posts

Perihal Fatwa Memilih Pemimpin Seakidah: Kemunduran Demokrasi dan Kemandulan Ijtihad

Jelang hari pencoblosan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Tengah mengeluarkan fatwa tentang memilih calon kepada…

22 menit ago

Mewaspadai Ancaman Radikalisme Politik Menjelang Pilkada 2024

Seluruh elemen masyarakat untuk terus waspada terhadap bahaya radikalisme dan terorisme yang dapat mencederai nilai-nilai…

1 hari ago

Memilih Pemimpin sebagai Tanggungjawab Kebangsaan dan Keagamaan

Pemilu atau Pilkada adalah fondasi bagi keberlangsungan demokrasi, sebuah sistem yang memberi kesempatan setiap warga…

1 hari ago

Pilkada Damai; Jangan Bermusuhan Hanya Karena Beda Pilihan!

Pesta demokrasi lima tahunan di Indonesia selalu menjadi momen penting untuk menentukan arah masa depan…

1 hari ago

Pilkada dan Urgensi Politik Santun untuk Mencegah Perpecahan

Pilkada serentak 2024 yang akan dilaksanakan pada 27 November 2024 merupakan momentum penting bagi masyarakat…

2 hari ago

Pilkada Damai Dimulai dari Ruang Publik yang Toleran

Dalam menghadapi Pilkada serentak, bangsa Indonesia kembali dihadapkan pada tantangan untuk menciptakan atmosfer damai yang…

2 hari ago